Senin, 11 Agustus 2014

Untuk Jadi Besar, Perusahaan Harus Berpikir Besar

Untuk menjadi perusahaan besar, perusahaan itu harus mengawalinya dari berpikir besar pula. Perusahaan itu harus berpikir secara mega (mega thinking). Mengacu pada  pemikiran Roger Kaufman, seorang pakar managemen strategik, Profesor Emeritus di Florida State University dan Distinguished Profesor di Sonora Institute of Technology, perencanaan perusahaan seharusnya tak dimulai dan diakhiri dengan indikator internal atau kinerja perusahaan semata. Tapi, harus mempertimbangkan nilai-nilai yang diberikat kepada komunitas atau masyarakat.
Berpikir mega ini analoginya adalah seorang ibu yang senantiasa memikirkan masa depan anak-anak dan bahkan cucu-cucunya. Dunia seperti apa yang ibu inginkan untuk anak-anak tersebut? – demikian pikiran seorang ibu yang baik. Sebab itu, tak heran “mega planning” ini sering disebut sebagai “mother’s rule”.  Biasanya, mother’s rule ini tidak bicara soal means (credentials of teacher, money spent) tapi lebih pada survival, kesehatan, maupun kebahagiaan untuk anak-anaknya.
Kaufman mengatakan cara berpikir dan bertindak benar adalah berpikirlah mulai dari level mega, lalu makro, dan terakhir mikro. Sementara, dalam bertindak, orang sebaiknya memulai dari level company, lalu customer, dan terakhir community.
Berpikir mega menurut Kaufman merupakan berpikir untuk tingkat kebutuhan masyarakat atau komunitas (societal needs) yang akan memberikan outcomes.  Pada level ini,  perusahaan berpikir untuk kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia atau lebih luas lagi untuk masyarakat dunia alias dalam khasanah Islam disebut sebagai rahmatan lil alamin. Dalam berpikir mega, dibutuhkan pemikiran yang strategik.
Sementara, berpikir  makro artinya berpikir untuk tingkat kebutuhan industri (industrial needs), yakni customer yang akan mendapatkan outputs dan untuk hal ini, perusahaan membutuhkan perencanaan taktikal.
Berpikir mikro menurut Kaufman adalah berpikir untuk tingkat kebutuhan profesional (professional needs), yakni perusahaan yang akan menghasilkan produk dan memerlukan  perencanaan yang sifatnya operasional.
Bila perusahaan berpikir mega,  maka perusahaan itu bisa merengkuh apa yang dicapai di tingkat makro dan mikro. Ketika perusahaan memikirkan inovasi bisnis demi kepentingan masyarakat luas, dengan sendirinya di tingkat makro perusahaan itu akan mendapatkan customer dan pada tingkat mikro, perusahaan itu bisa mendapatkan keuntungan dari loyalitas customer tersebut.
Google dan Apple merupakan contoh konkret perusahaan yang memiliki pemikiran mega tersebut.  Sejak awal bisnisnya, Google memikirkan bagaimana masyarakat dunia ini bisa terhubung dalam sebuah konektivitas dan memeroleh berbagai manfaat di sana. Sebagai raksasa mesin pencari di ranah internet, Google mendapatkan secara otomatis mendapatkan customernya.
Di tingkat  mega, masyarakat dunia bisa memanfaatkan produk dan layanannya secara gratis – tentunya juga memberi dampak  kemajuan bagi kehidupan masyarakat luas. Di tingkat makro, Google menjadi perusahaan terpercaya bagi para pemasang iklan yang tak lain adalah  real customer-nya.  Sebagai perusahaan pun, Google terbilang sebagai salah satu perusahaan paling jaya di dunia saat ini di mana para CEO dan pendirinya masuk jajaran orang paling kaya sedunia.
Demikian juga dengan Apple. Mendiang Steve Jobs adalah sosok inovator dan pebisnis yang memilik cara berpikir mega. Produk-produk besutannya selalu ia orientasikan bukan sekadar laku di pasar, tapi bagaimana produk itu memberi manfaat bagi seluruh umat manusia. Apple senantiasa memikirkan kehidupan yang lebih baik bagi umat manusia. Dengan cara berpikir inilah, Apple gemar melakukan inovasi.
Produk iPad, misalnya, menurut pengakuan Steve Wozniak, co-founder Apple, sengaja diciptakan agar umat manusia bisa lebih memanfaatkan pancaindera yang dimilikinya. Dalam konteks ini adalah indera peraba. Selain itu, dengan perangkat “ajaib” berupa tablet, tersebut umat manusia bisa terbantu memudahkan segala urusan dan aktivitasnya.
Setelah proses panjang, terbukti bahwa Google dan Apple berhasil mendapatkan tiga hal tadi, yakni company, customer, dan community.  Ini berkat penerapan cara berpikir mega. Dalam hal inilah, Telkom juga sedang menjalankan langkah-langkah serupa seperti yang dilakukan oleh dua raksasa digital yang cukup memberi warna dalam kehidupan kita. 
Bagaimana perusahaan bisa berpikir mega?  Modal utamanya tak lain adalah perusahaan itu harus memiliki spiritualitas memberi– spirit of giving. Semangatnya, semakin kita memberi banyak, semakin kita menerima banyak (the more you give, the more you get). Semangat inilah yang juga dihidupi oleh seorang ibu untuk anak-anaknya. 
Ada dua alasan yang digagas oleh Kaufman mengapa perusahaan di era sekarang wajib memiliki pemikiran mega. Pertama, keberlanjutan perusahaan itu sendiri (sustainability). Perusahaan yang ingin memiliki masa depan harus mampu berpikir melampaui dirinya sendiri dengan memikirkan kemaslahatan umat manusia. Perusahaan tidak serta melulu memikirkan profit untuk dirinya sendiri, tapi juga memikirkan pemberdayaan masyarakat luas dan lingkungan hidup di masa depan.
Kedua, people engagement.  Perusahaan yang memiliki keutamaan  demi umat manusia secara lebih luas biasanya dipandang sebagai perusahaan yang memiliki karakter. Perusahaan yang memiliki karakter biasanya menjadi perusahaan yang dicintai oleh banyak orang. Kenapa dicintai karena masyarakat percaya perusahaan itu tidak akan merugikan kehidupan mereka.  Demikian juga dengan karyawan perusahaan tersebut.  Karyawan yang mengetahui perusahaan tempat mereka bekerja berkomitmen untuk melakukan kebaikan bagi masyarakat  biasanya akan bekerja lebih antusias dan memiliki ketertarikan yang lebih baik pada perusahaan.  Dengan demikian, secara otomatis, perusahaan ini bisa menjalankan bisnisnya dengan baik dengan pendapatan yang baik pula. 
Referensi: Paradox Marketing (2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar