Selasa, 12 Agustus 2014

10 Prinsip Next Management



Complexity adalah salah satu penemuan paling menarik yang diperbincangkan oleh para ilmuwan di abad ke-20. Hal ini diungkapkan oleh seorang sosiolog keturunan Inggris-Jerman, Dirk Baeker. Dalam teori dan praktik manajemen, complexity juga merupakan masalah yang diperhitungkan. Apa sebenarnya complexity? Bagaimana cara mendefinisikannya?
Penggunaan kata complex seringkali diidentikkan dengan kata complicated. Seorang ahli masih bisa melacak fenomena dari sebuah entitas yang complicated dengan menganalisis hubungan-hubungan yang logis yang terjadi antarelemen pembentuknya. Namun, complexity benar-benar tidak transparan. Cara mengukurnya adalah dengan menerjemahkan elemen-elemen penyusunnya, hubungan yang mungkin terjadi antar-elemennya, dan variasi dari hubungan-hubungan yang terus berubah sesuai konteks dan waktu. Sungguh bukan hal yang mudah melakukan perhitungan rumit seperti ini.

Kita ambil contoh permainan catur. Tidak diragukan lagi catur adalah suatu permainan yang complex. Memindahkan sebuah posisi bidak (prajurit, raja, kuda, dsb) ada aturannya. Biasanya cukup 40 move sampai ada lawan main yang kalah. Complexity permainan catur diperlihatkan dari angka Shannon-nya, yaitu jumlah batas bawah dari berapa banyak permainan yang mungkin terjadi. Ada 10120 kombinasi yang diidentifikasi oleh Claude E. Shannon dalam paper-nya yang berjudul “Programming a Computer for Playing Chess” pada tahun 1950. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan jumlah atom yang ada di alam semesta, yaitu 1080.2. Dengan fakta seperti ini, kira-kira strategi apa yang ada di kepala seorang grand master catur? Apakah dia menghitung setiap kemungkinan dari lawan mainnya? Ternyata tidak. Eric Leifer, seorang sosiolog asal Amerika, melakukan wawancara kepada seorang grand master catur tentang hal ini. Dia mendapatkan strategi kuncinya adalah merancang permainan dalam situasi yang sedemikian rupa yang justru membiarkan sebanyak-banyaknya complexity terjadi. Alasannya adalah dengan membiarkan begitu banyak kemungkinan yang terjadi, akan lebih mudah untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi di awal-awal permainan.

Cara klasik dalam berurusan dengan complexity adalah analisis, prekalkulasi, dan pemahaman keterkaitan antarelemen. Apa yang bisa kita pelajari dari grand master catur yang tadi adalah bukan strategi para pemainnya yag menentukan arahnya permainan, melainkan evolusi dari permainan itu sendiri.

Grand master catur adalah manajer bagi permainannya sendiri. Lalu, bagaimana seorang manajer dalam sebuah organisasi menghadapi complexity? Pada dasarnya, suatu organisasi sama complex-nya dengan permainan catur karena terdiri dari elemen-elemen sosial yang berperilaku di lingkungan yang tidak dapat diprediksikan. Organisasi menjadi semakin complex ketika jumlah dan ukurannya semakin besar. Menurut Peter F. Drucker, “manajemen semakin diperlukan ketika sebuah organisasi telah mencapai ukuran dan tingkat complexity tertentu.” Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana kita dapat menemukan keseimbangan antara ekspektasi dari klien, pemegang saham, dan karyawan? Apa yang harus kita lakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi next society?
Di dalam suatu organisasi terdapat dua golongan pekerja. Yang pertama adalah mereka yang kreatif dan memiliki keahlian khusus, seperti ilmuwan, arsitek, dan engineer. Yang kedua adalah mereka yang biasa-biasa saja yang mengerjakan aktivitas rutin setiap harinya, seperti resepsionis dan buruh. Golongan pertama ini kerap diperlakukan spesial dan dianggap aset perusahaan yang penting; secara umum disebut knowledge worker. Namun ada juga yang berpendapat golongan kedua ini juga disebut knowledge worker. Hal ini dikarenakan meskipun bukan pekerjaaan yang kreatif, namun pengalaman dan pengetahuan kognitif seperti resepsionis menerima telepon, merupakan pengetahuan tacit yang jika dikelola dengan baik dapat menjadi keuntungan bagi perusahaan. Knowledge worker sendiri mengacu kepada individu yang memiliki karakter tidak puas akan pekerjaan yang rutin dan tanpa perkembangan. Mereka menganggap bahwa pengetahuan adalah dasar pencapaian target (Martin Feregrino, 1959).

Tujuan utama dari next management adalah menghubungkan dua elemen yang tidak mudah dilakukan. Yang pertama adalah “mengoptimasikan” organisasi dimana terdapat orang-orang yang membuat keputusan secara rasional sehingga mampu membuat organisasi berkembang efektif dan efisien. Dan yang kedua adalah “memotivasi” setiap anggota organisasi dengan memberikan ruang yang cukup untuk melakukan pengembangan diri. Next society seperti inilah yang harus dihadapi oleh para manajer di era complexity. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana membangun knowledge worker yang akan mampu secara bersama-sama menghadapi era complexity.

Peter F. Drucker, seorang pemikir manajemen modern, mengemukakan 10 prinsip next management untuk menghadapi era complexity.

1. Management is about human beings. Its task is to make people capable of joint performance.
Manajemen untuk mencapai kinerja bersama adalah dengan menjadikan kelangsungan hidup perusahaan sebagai cita-cita utama setiap karyawan. Keuntungan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan ini. Tantangannya adalah menuntun orang biasa melakukan hal yang luar biasa.

2. Management means communicating.
Manajer yang baik adalah manajer yang selalu berkomunikasi. Ia melakukan apa yang bisa dilakukan untuk memastikan karyawan merasa didengar atas saran dan solusi mereka dalam diskusi yang terbuka. Manajer harus mampu mengurangi interval hierarki dalam organisasi. Semua komunikasi yang terjadi harus bertujuan untuk menciptakan pelanggan baru. Pada ketenagakerjaan tradisional, karyawanlah yang melayani sistem, namun di era ketenagakerjaan yang bernuansa pengetahuan, sistemlah yang harus melayani karyawan. Jika seseorang berkata tentang “masalah”, tidak ada yang lebih penting dari menyampaikan masalah tersebut sehingga semua jadi tahu dan tidak berpura-pura acuh.

3. Organise things, so that knowledge becomes productive.
Di abad 21 ini, orang yang sukses adalah orang yang bisa menerapkan pengetahuan secara sistematis. Drucker menegaskan bahwa nantinya tidak akan ada lagi yang disebut negara miskin, yang ada hanyalah negara yang bodoh. Sama halnya yang terjadi dengan suatu organisasi, perusahaan, dan industri. Mengelola pengetahuan berarti setiap orang akan bertanggung jawab untuk menjelaskan apa yang bisa dilakukan untuk berkontribusi kepada organisasi. Dengan demikian, organisasi dapat berkinerja dengan baik dimana semua orang secara terus-menerus membiarkan orang lain tahu tentang wawasan, pengalaman, dan lompatan pengetahuan yang telah diperoleh.

4. Eliminate waste.
Sebuah perusahaan harus mampu menyingkirkan pemborosan. Tubuh manusia melakukan itu secara otomatis, namun organisasi selalu memiliki resistensi yang hebat. Kebiasan-kebiasan lama, kelemahan yang selalu dapat ditoleransi, atau rutinititas yang sangat melekat dapat mengancam kelangsungan hidup organisasi. Membuang hal-hal seperti itulah yang menjadi tugas setiap orang. Bagi Drucker, pengabaian (abandonment) adalah titik awal suatu perubahan untuk menciptakan solusi-solusi yang inovatif. Meninggalkan segala sesuatu memang sulit. Ada pepatah mengatakan “Rebirth can begin once the dead are buried. Mungkin saja tiap orang nantinya akan bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa tidak dari dulu saya melakukan ini?” Pernah Drucker bertanya kepada Jack Welch, “Seandaianya sekarang Anda tidak berada dalam bisnis ini, akankah Anda berani memulainya hari ini?”

5. Observe organisations’ environment.
Pelanggan seperti apa yang tidak bisa kita jangkau? Kegagalan apa yang harus kita ingat? Bagaimana kesuksesan besar bisa terwujud? Pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab dengan mulai mempelajari lingkungan atau suasana organisasi. Untuk memperoleh keuntungan dari kondisi yang ada, manajemen harus berhati-hati untuk tidak melakukan perencanaan yang berlebihan yang dapat menutup peluang yang mungkin menguntungkan.

6. See in contradictions chances to enhance your own organisations’ performance.
Seorang manajer yang inovatif selalu memposisikan dirinya sampai ke batas yang mungkin bertentangan dengan dirinya. Dengan begitu, ia dapat terus-menerus memperbaiki, memperluas, dan memperkuat organisasi yang ia pimpin. Organisasi yang terbiasa terhadap segala sesuatu yang kontradiktif, akan dengan mudah berinovasi dan menghadapi era yang penuh dengan complexity.

7. Network with competent colleagues from non-profit, for profit and public organizations and take on social responsibilities.
Apa yang memotivasi knowledge worker tidak hanya tergantung pada kepuasan dalam meyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya saja. Berkomitmen untuk melayani publik dan melakukan tanggung jawab sosial merupakan faktor yang menentukan manajemen mencapai suatu kedewasaan pribadi. Mereka memang menikmati pekerjaannya, tetapi mereka juga ingin melakukan sesuatu yang membawa perbedaan. Apa yang bisa dipelajari dari organisasi sosial adalah kemampuan mereka untuk menarik dan memelihara anggotanya. Kita harus menerima kenyataan bahwa kita harus memperlakukan setiap orang layaknya seorang sukarelawan. Mereka adalah orang-orang yang secara bebas dan sukarela memberikan ide yang ada di kepala mereka tanpa merasa terbatasi dengan aturan-aturan.

8. Identify your personal strengths, use the strengths of your team, and make strengths effective and weakness irrelevant.
Manajer yang sukses adalah manajer yang mau bekerja bersama-sama dengan individu yang berada di dalam organisasi. Hubungan atasan-anak buah memang sudah ditentukan dan tidak mungkin diubah, tetapi hubungan antarmanusialah yang dapat membuat perbedaan. Mengelola knowledge worker berarti mau mencurahkan waktu untuk mereka, mengerti apa yang mereka kerjakan dan apa yang dapat membangun hubungan personal dengan mereka, membimbing dan mendengarkan mereka, dan berani menantang serta memberikan semangat kepada mereka. Seorang Jack Welch saja mampu mengingat seribu orang dalam timnya dengan nama dan tugas mereka.

9. Integrate entrepreneurship and innovation into what you do every day.
Aktivitas kewirausahaan mampu menciptakan hal-hal baru melalui prosedur yang sistematis. Yang pertama adalah ketika seorang wirausaha mengadakan sebuah meeting, selalu terdapat perbedaan yang jelas antara hal yang wajib didiskusikan, masalah yang membutuhkan solusi, dan peluang yang tidak boleh dilewatkan. Yang kedua adalah orang-orang yang berada di lingkungan yang bernuansa kewirausahaan selalu memperhatikan siapapun yang berhasil melakukan lebih baik dan bertanya “Bagaimana caramu melakukannya?” Dan yang ketiga adalah seorang wirausaha selalu memikirkan regenerasi.

10. Come to an agreement with your colleagues about a minimal code of ethics for the management profession.
Jika kita ingin terus melihat kesuksesan dari suatu fungsi dalam organisasi, maka sangat diperlukan untuk mengembangkan kode etik dalam profesi manajemen.

Individu-individu dalam next society akan selalu tertarik dan tertantang dengan complexity. Pada akhirnya, seperti seorang grand master catur, seorang next manager tidak akan takut terhadap complexity dan akan terus berkembang untuk mengelolanya menjadi peluang yang menguntungkan bagi organisasi. Ia adalah innovator dalam menemukan dan menjembatani gap yang ada, dimana orang lain melihatnya sebagai labirin tanpa penyelesaian. Tingkatkan variasi pilihan dan “Build up the game!

Sumber: Peter F.Drucker’s Next Management (Winfrey W. Weber, Gladius Kulothungan)

*Diterbitkan lagi dari Majalah Marketeers edisi Juni 2012 dengan judul yang sudah diedit. Penulis: Iwan Setiawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar