Rabu, 13 Agustus 2014

Ini Bukan Marketing, Tapi Market-ing!

Krisis senantiasa menghantui praktik bisnis—tak hanya dalam skala lokal tapi global. Krisis sudah menjadi risiko yang melekat dalam bisnis modern. Sebelum krisis finansial menghantam negara-negara di Asia pada tahun 1998, Indonesia sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Saat itu, Indonesia mendapat julukan The Next Asian Tiger bersama Filipina, Thailand, dan Malaysia.
Saat itu, marketing sudah digunakan oleh banyak perusahaan dan organisasi modern. Namun, banyak juga yang belum. Banyak organisasi di Indonesia saat itu sudah tidak efisien, tapi mendapatkan perlakukan spesial dari penguasa saat itu, Soeharto. Saat Soeharto lengser, perusahaan kakap yang ditopang kekuasaannya, juga turut kelimpungan.  Bagi pakar Marketing Hermawan Kartajaya, sebuah perusahaan yang berkelanjutan harus memiliki pijakan yang kuat. Hermawan menawarkan konsep Sustainable Market-ing Enterprise (SME).

Konsep SME yang digulirkan Hermawan ini sebenarnya merupakan redefinisi dari konsep pemasaran yang dilihat sekadar konsep fungsional. Yang menarik, marketing yang selama ini ditulis dalam kata benda “marketing” diubah menjadi kata yang bersifat kata kerja “market-ing.”

Paradigma melihat marketing sebagai kata kerja ini  memberikan sense of urgency yang diinterpretasikan sebagai cara dalam dealing with the market. Marketing merupakan sebuah konsep bisnis yang strategis untuk mencapai kepuasan yang berkelanjutan yang menyangkut tiga stakeholder, yakni pelanggan, orang dalam organisasi, dan pemegang saham. Hermawan menandaskan market-ing adalah jiwa dan bukan sekadar bagian dari tubuh bernama perusahaan maupun organisasi. Sebab itu, setiap orang dalam organisasi kudu menjadi marketer.

Secara umum, SME terdiri dari tiga model, yakni Sustainable, Market-ing, dan Enterprise. Di antara ketiganya, market-ing menjadi bagian inti dari SME.  Hermawan menggambarkan ketiga komponen ini dengan model roket di mana bagian tengah adalah market-ing dan bagian sayapnya adalah sustainable dan enterprise.

Untuk sustainable, perusahaan kudu bisa tanggap dengan zaman yang senantiasa menyuguhkan aneka perubahan.  Biasanya, perusahaan yang merasa sukses mempunyai hambatan besar untuk berubah karena merasa sudah masuk dalam zona nyaman.  Padahal salah satu kunci untuk berkelanjutan di era yang sarat perubahan ini tak lain adalah perubahan itu sendiri. Perubahan ini bisa menyangkut perubahan dalam bidang politik, teknik, dan budaya. Sustainability bukan buah dari upaya semalam—tapi sebuah proses panjang yang merupakan hasil komulatif dari proses tersebut.

Ada tiga komponen dari model enterprise ini, yakni inspirasi, kultur, dan institusi.  Inspirasi di sini menyangkut cita-cita perusahaan. Kultur mengacu pada personalitas di mana perusahaan kudu mempunyai karakter yang kuat. Institusi mengacu pada aktivitas di mana perusahaan kudu bisa mengelola aktivitasnya secara efisien dan efektif untuk mewujudkan visi dan cita-citanya.

*Ilustrasi dari http://www.fotolia.com/id/6691979

Tidak ada komentar:

Posting Komentar