Selasa, 12 Agustus 2014

Media Sosial dan Strategi Marketing Integral









Media sosial cukup mengambil peran dalam aktivitas marketing kontemporer. Maklum, teknologi telah mengubah pola komunikasi merek dengan pelanggannya. Problemnya yakni tidak mudah mengubah cara pandang perusahaan menanggapi kehadiran media anyar ini. Apalagi ketika perusahaan itu masih mempunyai struktur lawas sementara pasar sudah cukup horisontal di era New Wave Marketing ini.
Patrick Spanner mengupas persoalan di atas di Harvard Business Review (HBR) dalam artikel berjudul “Why You Need a New-Media “Ringmaster”. Problemnya terletak pada struktur fungsi-fungsi dalam perusahaan yang ketinggalan zaman dan terpecah-pecah. Banyak perusahaan yang memisahkan peran komunikasi dan pembangna brand dalam berbagai fungsi berbeda. Marketing communication, misalnya, terpisah dengan corporate communication. Belum lagi dengan bagian customer service dan sebagainya. Ketepecahan ini, kata Spanner, tidak cocok lagi di era konsumen yang hyperconnected.

Marketer di era sekarang kudu bisa mempunyai multitasking—kemampuan untuk mengelola berbagai aktivitas marketing secara integral. Spanner mengibaratkan seperti pemimpin sirkus. Ada tiga karakter utama dari analog pemimpin sirkus ini. Pertama, integrative thinking. Marketer kudu bisa memahami teknologi (media sosial) sekaligus merek dan komunikasinya. Bahkan, dia bisa mengkombinasikan yang lama dengan yang baru untuk pencapaian merek. Kedua, mengkolaborasikan semua kemampuan yang ada. Ketiga, bertindak cepat dan tidak terjebak pada birokrasi yang bertele-tele.

Menurut saya, strategi marketing di era New Wave ini memang kudu dibarengi dengan perubahan perangkat perusahaan—alias kudu New Wave juga. Kalau cara pandangnya baru, tapi strukturnya lama, hal ini tidak akan jalan. Ini ibarat anggur baru dimasukkan kantong lama. Yang terjadi adalah anggur itu akan mengoyak kantong itu dan tumpahlah anggur sia-sia. Sebab itu, anggur baru kudu masuk di kantong baru. Strategi marketing New Wave juga perlu didukung dengan sistem dan perangkat yang New Wave pula. Termasuk ketika medianya sudah New Wave tapi cara pandangnya justru masih lawas alias legacy.

Ada beberapa contoh. Ada sebuah merek, misalnya, yang sudah nyemplung di media sosial. Ia mencoba berkomunikasi dengan pelanggan maupun simpatisan merek. Tapi, cara komunikasinya masih satu arah dan berpola atas bawah. Sementara, komunikasi di media sosial itu lebih horisontal, mengusung percapakan dua arah, berdiskusi, dan sebagainya. Bisa juga program-program marketingnya cukup New Wave, tapi tidak didukung perangkat perusahaan yang New Wave juga. Pelanggan yang ingin dilayani secara cepat dan efektif, misalnya, tapi kenyataannya masih berbelit-belit dan birokratis. Hal ini tentu tidak akan berkelanjutan di era seperti ini.

Sebab itu, strategi marketingnya harus integral mengingat pelanggan bisa ada di mana-mana, berbincang-bincang di berbagai media sosial, saling memengaruhi, saling ngerumpi soal merek dan produk, saling mencari rekomendasi, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar