Rabu, 13 Agustus 2014

Di Balik Jaringan Distribusi HM Sampoerna



Era kepemimpinan generasi ketiga di bawah Putera Sampoerna merupakan milestone yang penting dalam sejarah Sampoerna, karena di era inilah transformasi organisasi besar-besaran dan sangat cepat dilakukan untuk membawa Sampoerna menjadi sustainable company—”everlasting” company.

Selama kurun waktu ini Sampoerna memasuki ”hypergrowth era” dengan pertumbuhan usaha yang sangat tinggi. Selama kurun waktu 1990-2000—kurun waktu di mana langkah-langkah transformasi yang dijalankan Putera mencapai hasil maksimalnya—Sampoerna menikmati peningkatan pendapatan (net sales) mencapai hampir 38 kali lipat, sebuah kinerja yang sangat luar biasa. Jadi, size dari perusahaan ini membengkak hampir 38 kali lipat hanya dalam kurun waktu sepuluh tahun. Menariknya kinerja fantastis ini adalah organic growth, yaitu hasil aktivitas operasi bukan dari merjer atau akuisisi.

Langkah pertama yang dijalankan Putera adalah menata dan menyempurnakan rantai proses (process-chain) perusahaan. Sebelumnya Sampoerna berada di ”tengah-tengah” di dalam rantai proses ini—Sampoerna membeli tembakau dari pedagang tembakau (supplier) kemudian mengolahnya menjadi rokok, dan selanjutnya mendistribusikan ke para agen serta para pengecer (retailer) untuk akhirnya produk rokok tersebut sampai ke konsumen akhir (end-customers).

Sejak awal Putera menyadari bahwa sistem pembelian tembakau ke pedagang bermasalah, karena dalam banyak kasus Sampoerna terlalu bergantung kepada para pedagang tembakau. Sementara itu, di sisi lain ia juga sadar bahwa penjualan produk rokok kepada konsumen melalui para agen dan distributor juga membawa masalah lain karena mereka sulit dikendalikan. Dengan tergantung kepada para pedagang tembakau di sisi hulu, dan kepada para agen di sisi hilir, Putera merasa bahwa perusahaan tak memiliki kontrol penuh terhadap rantai proses perusahaan. Itu sebabnya perusahaan tak mampu berkembang secara penuh seperti yang diharapkan.

Menyadari dua permasalahan krusial tersebut, Putera kemudian mencoba untuk memecahkannya secara bersamaan. Pertama adalah membereskan rantai proses di hulu yaitu di tingkat pedagang tembakau. Dan kedua di sisi hilir yaitu di tingkat agen dan distributor. Tujuannya adalah memperbaiki QCD (quality, cost, delivery) : memperbaiki kualitas dengan melakukan kontrol kualitas tembakau langsung ke petani; meurunkan biaya dengan melancarkan (streamline) rantai proses; dan memperpendek waktu proses dari pembelian bahan baku hingga penjualan produk ke konsumen akhir.

Untuk mengatasi ketergantungan kepada para pedagang tembakau, Putera bersama sepupunya Boedi Sampoerna memutuskan untuk membeli tembakau langsung ke petani dan mendirikan stasiun pembelian tembakau milik sendiri. Dengan langkah ini Sampoerna juga mampu mengawasi kualitas tembakau lebih baik, karena pengawasan langsung ke petani.

Langkah ini rupanya berjalan sangat baik melebihi harapan semua orang. Dalam waktu yang cukup singkat Sampoerna mampu mengembangkan sistem pematang tembakau (tobacco aging system) di enam lokasi di Jawa Timur dengan nilai persediaan melebihi US$ 140 juta pada tahun 1994.

Untuk membenahi sisi hilirnya, Putera membangun sendiri saluran distribusinya dan tak tergantung lagi kepada agen. Upaya untuk merombak sistem distribusi lama Sampoerna—sistem distribusi keagenan (agency distribution system)—sesungguhnya sudah dipikirkan Putera sejak awal tahun 1980-an. Pada tahun 1984, dalam sebuah rapat strategis disimpulkan bahwa Dji Sam Soe tak akan mungkin lagi mengembangkan market share dan volumenya melalui sistem distribusi keagenan yang diterapkan waktu itu

Putera juga menyimpulkan bahwa dengan sistem tersebut Sampoerna kurang mendapat sukses seperti yang diharapkan saat meluncurkan merek-merek rokok baru yang dikembangkan waktu itu. Sebab utamanya karena perusahaan tak mampu mengontrol sepenuhnya pemasaran merek-merek tersebut. ”We were a company no fully in control of our own desiny,” ujar Putera waktu itu. Pada waktu

Pada tahun 1984, seiring dengan penjualan yang semakin meningkat dan cash flow yang semakin membaik Sampoerna mulai memperoleh izin untuk mengelola perusahaan transportasi secara komersial. Pada tahun 1981, PT Sampoerna Transport Nusantara (STN) didirikan dengan Sampoerna sebagai pelanggan terbesarnya.

Pendirian STN ini merupakan cikal bakal dari upaya Putera untuk membangun sistem distribusi. Sebelumnya, untuk aktivitas pengantaran produk, Sampoerna menyewa perusahaan transportasi luar, namun dengan munculnya beragam masalah (mulai dari keterlambatan pengiriman hingga produk rusak) dirasakan perlu memiliki perusahaan transporatsi sendiri sehingga Sampoerna dapat mengelola dan mengontrol pengantaran produk secara lebih baik.

Persoalan keterlambatan pengiriman dan produk rusak yang mendorong pembentukan STN bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi perusahaan berkaitan dengan sistem distribusi lama. Terdapat persoalan lain yang tak kalah krusialnya, yaitu para agen yang tak hanya enggan memasarkan merek-merek baru, lebih jauh lagi mereka juga tidak berminat berinvestasi untuk mendukung kegiatan-kegiatan pemasaran dalam rangka meningkatkan market share dan mendongkrak harga.

Akhirnya pada tahun 1989 Sampoerna telah membangun salah satu sistem distribusi paling ekstensif di Indonesia dengan distribusi fisik dijalankan oleh perusahaan distribusi baru milik perusahaan, yaitu PT Panamas, sementara STN menyediakan seluruh armada pengangkutan dengan truk.

Operasi Panamas diperkuat dengan penambahan wholesaler rokok terbesar di Indonesia pada tahun 1990 untuk membentuk PT Sumber Alfaria Trijaya (SAT). Harap diketahui, volume gabungan dari SAT dan Panamas merupakan kekuatan yang maha besar dalam bisnis tembakau di Indonesia. SAT memberi Sampoerna sebuah elemen penting distribusi yang dulunya merupakan ”missing link” dalam jaringan perdagangan tembakau.

Menanggapi keberhasilan Sampoerna dalam menata sistem distribusinya ini, Putera mengatakan dalam Laporan Tahunan 1993 sebagai berikut: ”In order to control our brands and our destiny, Sampoerna eliminated the agent distribution system by 1987. Sampoerna now distributes more than 93 percent of the Company’s products directly to the retail and wholesale trade. We now fully control our own trucking, distribution, and marketing efforts, providing not only better inventory control but also a more responsive regionally-oriented marketing system which reaches all the way down to the almost 500.000 retail outlets in Indonesia.”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar