Minggu, 10 Agustus 2014

Learning Co-Creation



Seperti apa training terbaik dalam bayangan Anda? Training dengan pembicara yang kata-katanya mampu menyihir ratusan, atau bahkan ribuan pendengar yang ada di hadapannya? Training dengan materi yang breakthrough dan benar-benar baru? Atau training dengan dukungan visual effect yang mampu menggetarkan seisi ruangan?

Tidak salah jika kriteria-kriteria di atas selalu masuk dalam hitungan saat menyusun sebuah program pelatihan.

Tanpa trainer dengan kemampuan komunikasi yang mumpuni, materi terbaik sekalipun tidak akan efektif tersampaikan melalui pelatihan. Demikian juga sebaliknya, materi yang biasa-biasa saja juga bisa menjadikan trainer yang istimewa kehilangan “aura” di depan peserta. Fasilitas multimedia pun tidak bisa dianggap remeh, karena dengan ini pesan pelatihan bisa disampaikan melalui cara yang lebih menarik bagi peserta.

Jadi cukup itukah elemen-elemen yang wajib ada di dalam sebuah pelatihan?

Jika pelatihan hanya dianggap semata-mata sebagai sebuah produk/jasa (product), bisa jadi jawabannya “ya”. Namun di era new wave yang ditandai dengan horisontalisasi di berbagai lini, ada perubahan paradigma yang menjadikan proses pembelajaran (learning process) menuntut adanya pembagian peran yang berbeda.

Dulu, saat akses terhadap ilmu masih menjadi hak ekslusif bagi orang-orang tertentu, proses pembelajaran masih mungkin dilakukan secara vertikal. Knowledge transfer cukup dilakukan dengan komunikasi searah plus tanya-jawab seperlunya. Singkatnya, peran terbesar ada di tangan para pengajar.

Saat ini, dengan adanya connector yang bersifat mobile, experiential dan social, akses terhadap pundi-pundi ilmu menjadi semakin bebas. Akibatnya, akumulasi pengetahuan bisa terjadi dengan lebih cepat pada setiap orang. Konsekuensinya, pihak pengajar tak selalu lebih pintar dari yang diajar dalam segala hal.

Dalam kondisi semacam inilah pembagian peran yang baru perlu dilakukan. Pembelajaran harus dilakukan melalui kolaborasi bersama antara pendidik dan peserta didik. Inilah yang kami namakan learning co-creation.


Dari Product ke Co-Creation
Dalam konsep new wave marketing, kata “product” sudah tergantikan dengan “co-creation”. Setidaknya ada dua hal pokok yang membedakan konsep product tradisional dengan co-creation.


Pertama adalah tentang value creation. Dalam konsep tradisional, value suatu product dibuat oleh perusahaan sendiri untuk kemudian di-deliver kepada pelanggan dalam bentuk barang jadi yang siap dikonsumsi. Sedangkan dalam konsep co-creation, value diciptakan bersama-sama antara perusahaan dengan pelanggan.

Kedua adalah tentang value basis. Dalam konsep tradisional, product adalah basis value yang utama, artinya kepuasan pelanggan ditentukan dari berbagai feature yang ada di produk tersebut. Sedangkan dalam co-creation, basis value yang utama justru berasal dari proses interaksi antara perusahaan dengan pelanggannya.

Demikian kesimpulan yang bisa kita dapatkan dari uraian C.K Prahalad dan Venkat Ramaswamy (2004) dalam buku The Future of Competition: Co-Creating Unique Values with Customers.


Dalam konteks pembelajaran (learning), paradigma lama hanya akan fokus pada ”feature” pelatihan sebagaimana disinggung di awal (trainer/facilitator, materi, serta fasilitas pendukung lainnya). Sedangkan dalam konsep learning co-creation, selain faktor-faktor dasar tadi, proses interaksi antara pengajar dan pembelajar harus mendapat perhatian besar.

Bagaimana praktek riil dari learning co-creation? Melalui tulisan ini saya coba memberikan contoh di level taktis dan strategis.

Learning Co-Creation: Dari Taktis hingga Strategis
Di level taktis, learning co-creation diwujudkan melalui program pelatihan yang menempatkan peserta sebagai aktor aktif, dan bukan sekedar penerima pasif. Desain pelatihan harus lebih banyak menggunakan metode yang interaktif (studi kasus, role play, simulasi, dsb), dan meminimalkan proses pengajaran klasik yang cenderung searah. Inilah yang kami sebut participant-centered learning.

Di level taktis, value tercipta melalui keaktifan peserta didik selama berinteraksi dengan pengajar serta peserta lainnya. Sehebat apapun trainer atau pengajar, jika learning process tetap dilakukan secara vertikal maka efektifitasnya akan menjadi tidak optimal.

We learn 10% of what we read, 20% of what we hear, 30% of what we see, 50% of what we see and hear, 70% of what we say, 90% of what we say and do”, demikian temuan Vernon A. Magnessen yang kemudian dipopulerkan oleh Bobbi DePorter dalam buku Quantum Teaching-nya.

Lalu bagaimana implementasi learning co-creation di level strategis?

Di level ini, value tercipta melalui interaksi antara institusi penyedia program pelatihan (biasa disebut training provider) dengan perusahaan pemakai jasa pelatihan (lazimnya bagian learning center).

Dalam paradigma tradisional, learning center biasanya hanya mengirimkan request topik, plus mungkin sedikit persyaratan mengenai tipe trainer yang diinginkan. Interaksi dengan training provider pun umumnya hanya terjadi di awal (saat proses bidding) dan akhir (saat pembayaran). Selebihnya learning center “pasrah total” dengan apa yang diberikan training provider.


Co-creation terjadi ketika learning center dan training provider duduk bersama untuk merumuskan program pelatihan yang benar-benar customized bagi perusahaan. Customization di sini bukan hanya dari sisi materi, namun juga metode pelatihan yang mampu mengoptimalkan efektifitas proses pembelajaran.
Bahkan jika perlu, training provider dan learning center bersama-sama merumuskan proses transformasi yang perlu dilakukan untuk mendukung implementasi participant-centered learning di dalam perusahaan. Kesiapan infrastruktur dan SDM perusahaan adalah dua hal yang umumnya perlu menjadi sorotan.

Learning co-creation memang membutuhkan partisipasi aktif di antara kedua belah pihak. Namun yang terkadang mengejutkan, melalui proses ini tak hanya para peserta didik yang merasakan sensasi baru dalam proses belajar, para pengajar pun seringkali mendapatkan banyak hal baru yang selama ini belum diketahuinya. Eureka!
Artikel ini ditulis oleh Ardhi Ridwansyah Program Consultant, Coordinator of Knowledge Management and Development MarkPlus Institute of Marketing dan dimuat di Majalah Marketeers edisi Maret 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar