Jumat, 18 Juli 2014

We First



Simon Mainwaring adalah seorang konsultan branding, pengarang buku best seller, blogger, dan pembicara internasional. Merupakan pendiri dari We First, perusahaan konsultan social branding ynag berperan membantu brand, membangun komunitas dengan memanfaatkan teknologi sosial. Simon juga adalah kontributor dari beberapa media seperti Fast Company, Forbes, Mashable, Good Magazine, dan Huffington Post.

Buku karangan Simon Mainwaring ini membahas tentang bagaimana perusahaan media sosial dapat membuat perusahaan terus berkembang sekaligus memperhatikan kondisi lingkungan yang sustainable (berkelanjutan). Gagasan utama yang diangkat adalah bagaimana perusahaan merubah paradigmanya dari yang hanya berfokus pada perusahaan semata (me first) menjadi perusahaan  yang juga memperhatikan dirinya dan sekitarnya (we first). Perusahaan dapat memanfaatkan media sosial untuk membangun dunia yang lebih baik sekaligus mendapatkan loyalitas dari konsumen.

Dalam buku ini diangkat beberapa studi kasus seperti P&G, Walmart, Starbucks, Pepsi, Coca Cola, Toyota, Nike, Nestle, dan perusahaan lain beberapa perusahaan terkemuka lainnya. Perusahaan-perusahaan tersebut menjawab isu yang sulit dalam dunia bisnis dimana perusahaan dapat menghasilkan profit sekaligus memperhatikan isu lingkungan.

We First akan mengajak pembacanya berpikir dan membentuk opini mengenai bagaimana cara perusahaan seharusnya menjalankan bisnis dengan baik. Setelah memaparkan studi kasus seputar sustainability, Simon Mainwaring memberikan usulan bagaimana perusahaan merangkul dan berkolaborasi dengan konsumennya untuk membangun dunia menjadi lebih baik. We First menyediakan insight tentang bagaimana konsumen memandang dunia dan melakukan pemilihan pembelian berdasarkan values yang dimiliki.

Langkah Penting Yang Harus Anda Ambil Dalam Pola Pemasaran Anda


1. Anda harus berfokus pada pasar dan perusahaan Anda harus digerakkan oleh konsumen pada tingkat yang memadai. Mulai melihat peluang dalam need setiap konsumen anda.

2. Mulailah untuk sepenuhnya memahami konsumen target Anda. Melakukan survey dengan berbincang atau sedikit kuisioner akan membantu anda untuk mengenal konsumen anda. Dan anda akan diuntungkan karena anda akan mulai bukan hanya mengenal tetapi juga memahami.

3. Definisikan dan monitor pesaing-pesaing Anda dengan lebih baik. Kenali baik-baik “medan pertempuran” dan anda akan mulai melakukan inovasi.

4. Kelola hubungan dengan para stakeholder secara benar.

5. Temukan  peluang-peluang baru. Ini satu hal yang penting dan sudah saya singgung diatas, bahwa anda dapat menemukan peluang dalam need konsumen atau pasar anda.

6. Buat Rencana pemasaran dan proses perencanaan pemasaran Anda secara matang,


7. Anda harus mulai memperhatikan Kebijakan-kebijakan produk dan jasa Anda .

8. Anda harus mengejar Keahlian-keahlian brand-building dan komunikasi.

9. Anda harus bisa mengorganisir dengan cukup baik untuk menjalankan pemasaran secara efisien dan efektif.

10. Maksimalkan  pemanfaatan Teknologi, Media Pemasaran yang sekarang makin maju dan berkembang. ( Atlas Christian – Crown Graha Investama )

Perusahaan yang Paling Dikagumi di Dunia



Fortune telah mengeluarkan daftar 50 perusahaan yang paling dikagumi di seluruh dunia. Untuk menentukan daftar ini, Fortune bekerja sama dengan Hay Group melibatkan 1.400 perusahaan dimana 1.000 di antaranya adalah perusahaan asal Amerika yang juga dinilai berdasarkan pendapatan, dan sisanya adalah perusahaan di luar Amerika yang memiliki pendapatan lebih dari 10 miliar dollar Amerika.

Perusahaan-perusahaan kemudian dibagi menjadi 12 industri besar yang dipecah kembali menjadi 58 kategori yang lebih spesifik. Perusahaan-perusahaan ini kemudian melalui tahap seleksi berikutnya berdasarkan kinerja dan ukuran perusahaan. Tim analisa ini kemudian melakukan penilaian berdasarkan 9 kriteria mulai dari nilai investasi sampai dengan tanggung jawab sosial perusahaan. Penilaian ini hanya melibatkan perusahaan-perusahaan terbaik dalam industri.

Tahap selanjutnya adalah pemilihan 50 perusahaan yang paling dikagumi. Hay Group melibatkan lebih dari 3.855 responden dengan beragam latar belakang seperti direktur dan peran analyst. Setiap orang dapat memilih perusahaan mana saja di berbagai industri jika memang menurut responden perusahaan tersebut memang pantas.

Pada tahun ini tiga perusahaan di bidang IT memuncaki daftar dengan urutan: Apple, Google, dan Amazon. Bila ditelaah secara lebih menyeluruh, industri otomotif cukup menempatkan banyak perusahaan dalam daftar yang disusul oleh industri komputer dan telekomunikasi, kemudian dari kategori consumer products.

Urutan    Nama Perusahaan
1                 Apple
2                 Google
3                 Amazon.com
4                 Coca-Cola
5                 IBM
6                 FedEx
7                 Berkshire Hathaway
8                 Starbucks
9                 Procter & Gamble
10               Southwest Airlines
11               McDonald's
12              Johnson & Johnson
13              Walt Disney
14              BMW
15              General Electric
16              American Express
17             Microsoft
18             3M
19             Caterpillar
20            Costco Wholesale
21             Nordstrom
22             J.P. Morgan Chase
23             Singapore Airlines
24            Wal-Mart Stores
25            Target
26            Nike
27            Exxon Mobil
28            Whole Foods Market
29            UPS
30            Boeing
31            NestlĂ©
32            PepsiCo
33           Toyota Motor
34           Samsung Electronics
35           Volkswagen
36           Intel
37          DuPont
38          Deere
39          Goldman Sachs Group
40          Marriott International
41           eBay
42          Cisco Systems
43          Accenture
44           Daimler
45           Wells Fargo
46           AT&T
47          Ralph Lauren
48           St. Jude Medical
49          Oracle
50*       General Mills
50*       Honda Motor
50*       Unilever

Artikel ini diadaptasi dari Majalah Fortune edisi Maret 2012

Rabu, 16 Juli 2014

Belajar Sales Dari Prudential: Jadikan Nasabah Sebagai Saudara

Kelihaian agen dalam meraup nasabah potensial menjadi ujung tombak bagi Prudential Indonesia. Kerja keras, prinsip kuat, dan menjadikan nasabah sebagai teman adalah jurus yang diandalkan oleh Audityaningrum. Berawal dari agen, perempuan ini pun berhasil menempati posisi puncak sebagai Agency Manager.
Menjadi pegawai bank ternyata tidak memuaskan hasrat perempuan bernama Audityaningrum. Alhasil ia banting setir menjadi seorang agen finansial Asuransi Prudential Indonesia karena berpikir untuk bagaimana caranya memiliki banyak pegawai dengan bisnis besar, namun tetap punya pemasukan karena ada andil sebagai investor. Perempuan yang akrab dipanggil Audy ini percaya, jika itu tercapai, maka uanglah yang bekerja dan akan datang dengan sendirinya. "Mungkin sudah jalannya untuk kemudian saya bergabung di Prudential," ujar Audi.
Di sini ia benar-benar menekuni dunia baru. Maklum, Audy sebelumnya berprofesi sebagai akuntan. Audy merasa menemukan passion-nya pada karier barunya itu. Pada tahun pertamanya sebagai agen Prudential di tahun 2002, ia bisa menghasilkan pendapatan Rp10 juta per bulan, belum termasuk bonus tahunan sebesar Rp 80 juta.
Seperti agen lainnya, Audy menawarkan produk-produk asuransi Prudential kepada calon nasabah, namun dengan pendekatan yang berbeda. Yang ditawarkan bukan produknya langsung, tetapi bagaimana mendekatkan diri kepada calon nasabah dengan mendengarkan apa yang diinginkannya di masa mendatang.  "Jadi saya memosisikan diri bukan sebagai sales, tetapi financial planner. Saya dengarkan dulu apa yang diinginkan calon nasabah untuk masa depannya, apakah ingin membeli rumah, punya mobil, atau dana pendidikan untuk anak-anaknya. Dari situ saya tawarkan solusi bagaimana cita-cita mereka dapat tercapai dengan berbagai perencanaan finansial," sambung Audy.
Audy tidak memperlakukan nasabah sebatas konsumen, melainkan selayaknya teman. Dari situ, Audy menjadi referensi sebagai konsultan keuangan yang dicari. Para nasabah merekomendasikannya kepada rekan-rekannya yang lain. Dus, ia bisa memperluas jaringan dan mendapatkan nasabah baru dari waktu ke waktu. "Awalnya saya tawarkan kepada rekan terdekat, yaitu keluarga dan teman. Kemudian mereka mulai merekomendasikan kepada rekan-rekannya. Nilai tabungannya bermacam-macam, mulai dari Rp 300.000, Rp 500.000, hingga dapat big fish, sebuah keluarga yang mau menabung dengan nilai di atas Rp 1 miliar," kenang Audy.
Di kisah berikutnya Audi akan membagi seperti apa cara efektif mendatangi calon nasabah hingga berhasil membangun agensi tersendiri. Simak terus The-Marketeers.com.

Belajar Sales Dari Prudential: Jadikan Nasabah Sebagai Saudara (Bagian III)

Dalam kisah sebelumnya, Audi berhasil mencapai impian semua orang dengan penghasilan raksasa per bulannya sehingga ia punya hak membuka agensi sendiri. Di sini Audi membagi pengalamannya dulu kepada junior-junior di bawahnya dengan tujuan tidak hanya finansial semata tapi juga berbagi kebaikan.
"Yang saya lakukan adalah tidak melatih mereka untuk menjadi seorang agen asuransi, tetapi ingin mencetak business owner melalui mekanisme asuransi," tegasnya. Konsep pendekatan nasabah sebagai teman diturunkannya kepada agen lainnya agar mereka tidak asal kejar target.  Yang ditekankan adalah bagaimana caranya agar calon nasabah tidak mendapatkan paksaan, melainkan mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana cara mengelola keuangan sesuai kebutuhan masing-masing. Ujungnya, ada kesadaran betapa pentingnya menabung dari awal serta proteksi dalam kehidupannya sehingga nasabah tahu betul produk yang dibelinya.
Di sisi lain, dia juga menekankan kepada para agen bahwa tidak semua orang mau menjadi nasabah. Sehingga, tenaga penjual harus siap ketika ditolak, bahkan dimaki orang lain. Mindset alias cara berpikir para agen ini diubah agar tidak mengejar target komisi. Pasalnya, Audi yakin dengan mindset komisi, tenaga penjual tidak akan tulus ketika mendatangi calon nasabahnya, lain halnya jika sebagai financial planner.
Sedangkan ketika berjualan, Audy meminta agar agen bercerita dan melakukan sharing. Disyukuri jika diterima —apalagi jika menjadi nasabah—, dan menerima jika ternyata ditolak. Audi menganggap, dengan bercerita kepada 10 calon nasabah, artinya 10 kebaikan sudah dilakukan dalam satu hari. Dengan dididik seperti itu, agen memiliki mentalitas kuat.
"Saya tidak menekankan target karena hanya membuat mereka pusing. Sebagai contoh, ketika bertemu dengan nasabah berusia 25 tahun, anggaplah mereka sebagai sahabat. Umur lebih tua anggap sebagai kakak. Di atas 50 tahun, anggap seperti orang tua, cium tangan mereka, sesekali dibelikan makanan. Tidak mahal, namun justru bisa mendatangkan big fish," ujarnya.
Nah, untuk merekrut agen yang mumpuni, Audy pun tidaklah sembarangan. Perlu proses wawancara untuk mengetahui seperti apa latar belakang calon agen, mulai dari ibu rumah tangga, pensiunan, hingga mahasiswa yang baru lulus. Selanjutnya, mereka akan diberi pelatihan spesial agar kelak menjadi agen berkualitas.
Klasifikasi agen kemudian dibagi dua, mereka yang memiliki pasar dan tidak. Biasanya agen baru memiliki status sebagai agen tidak ber-market. Karenanya, mereka diberi kemampuan door to door, menyisir suatu daerah, dan bercerita ke sekitar 20 orang per hari. Mayoritas daerah yang disasar adalah pasar dan ruko. Sedangkan agen yang telah memiliki market akan dibekali skill untuk menggaet pasar menengah atas, semisal keahlian memainkan bahasa tubuh.
Berbekal kemampuan itu, Audy pun berhasil menjalani kariernya sebagai agen Prudential Indonesia. Dan, segala prestasi itu membuktikan bahwa keputusannya meninggalkan karier sebagai seorang pegawai bank tidaklah salah.

Belajar Sales Dari Prudential: Jadikan Nasabah Sebagai Saudara (Bagian II)

Lepas dari pekerjaannya sebagai bankir, Audi yang banting stir menjadi agen Prudential melakukan pendekatan berbeda ketika bertemu nasabah hingga mereka tertarik berinvestasi di Prudential. Pendekatan sebagai keluarga itu membuat Audi direkomendasikan oleh nasabah kepada calon nasabah lain. Inilah kelanjutan kisah sukses Audi, menyambung dari kisah sebelumnya.
Setahun berikutnya Audy menuai hasil. Ia dipromosikan menjadi manajer. Frekuensi turun ke lapangan berkurang karena fokusnya saat itu lebih pada mengembangkan bisnis dengan membawahi beberapa agen. Selain itu, ia juga bertugas untuk membuat agen-agen yang berada di bawah supervisinya untuk menghasilkan output seperti yang pernah dilakukannya ketika menjadi agen lapangan. Selain lewat pendekatan yang khas, keberhasilan Audy tidak terlepas dari prinsipnya yang keras. Jika dalam satu hari seorang agen rata-rata bertemu dua calon nasabah, Audy punya standar sendiri: lima calon nasabah per hari.
Baginya, bukan berart dia harus harus mengunjungi lima tempat untuk presentasi di depan lima orang. "Sebagai contoh, saya hanya cukup bertemu dengan tiga orang saja. Ketika saya bertemu salah satunya, setiap selesai presentasi, saya minta tolong agar ia memanggil temannya, satu orang saja. Jadi saya bisa presentasi lagi. Saya tidak terlalu berharap mereka langsung mau jadi nasabah. Tetapi setidaknya saya dapat presentasi di depan lima orang per hari," ujar Audy.
Agar semakin efektif, ia juga mengakalinya lewat pembagian area. Dalam satu hari, Audy bergerak di satu daerah yang jaraknya tidak berjauhan. Melalui caranya itu, dalam satu minggu Audy bisa menggaet lima nasabah.
Tak hanya itu, Audy juga membuat goal setting, apa yang ingin dicapainya dalam satu tahun. Tahun pertama dilaluinya dengan tidak muluk-muluk, yaitu meraih target pendapatan Rp 10 juta per bulan sehingga sebuah mobil dapat terbeli. Kini di usia 36 tahun, ibu tiga anak ini berhasil mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Semenjak bergelut di bidang asuransi ini, dari pendapatan Rp 10 juta per bulan di tahun pertama, Rp 25 juta di tahun kedua, kini Audi mengantongi pendapatan di atas Rp 300 juta per bulan, belum termasuk bonus tahunan.
Sesuai jabatannya sebagai Agency Manager, ia juga punya hak membuka agensi sendiri di bawah naungan Prudential. Hak yang tidak disia-siakannya untuk memberikan berbagai pengalaman serta pelajaran ketika masih menjadi agen kepada junior-junior di bawahnya.
Dalam cerita berikutnya, Audi membagi pengalaman dan menepis anggapan bahwa seorang sales adalah pekerjaan yang bisa membawa berkah dengan berbagi kebaikan. Ikut terus perjalanan Audi hanya di The-Marketeers.com.

Jumat, 11 Juli 2014

"TOP 10 Skills" yang Dicari oleh Perusahaan

Ada sebuah artikel menarik yang ditampilkan dalam edisi terbaru majalah Graduate Opportunities yang diterbitkan oleh Graduate Careers Australia (GCA), tentang hasil survey mengenai kompetensi yang paling diharapkan oleh para perusahaan pencari kerja pada para pelamar kerja. Hasil survey yang dipublish tahun 2009 ini diselenggarakan oleh GCA melalui proses kuisioner singkat kepada 400 perusahaan yang membuka lowongan untuk fresh graduate untuk memilih 3 skill yang paling mereka cari dari 10 daftar survey.

Berikut overview dari hasil survey tersebut:


1st: Interpersonal and communication skills (both written and oral)
2nd: Passion / Knowledge of the industry / drive / commitment / attitude
3rd: Critical reasoning and analytical skills / Problem solving / lateral thinking / technical skills
4th: Calibre of academic results
5th: Teamwork skills
6th: Work experience
7th: Cultural alignment / values fit
8th: Emotional intelligence (including self-awareness, strength of character, confidence motivation)
9th: Leadership skills
10th: Intra and extracurricular activities

Hampir ¾ dari perusahaan tersebut memilih interpersonal and communication skills sebagai skill yang paling diharapkan. Peringkat kedua adalah Commitment and Industry knowledge yang dipilih oleh ½ dari perusahaan yang disurvey, kemudian disusul oleh skill tentang Analytical / problem solving di peringkat ketiga.

Dari hasil survey ini memberikan sebuah gambaran tentang kebutuhan perusahaan (di Australia terutama) yang bisa diantisipasi oleh para lulusan baru. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu diingat bahwa walaupun telah dilakukan perangkingan terhadap skills tersebut, hal ini bukan berarti bahwa skill yang ada di rangking besar kemudian menjadi tidak penting untuk dikejar. Rule of thumb-nya adalah setidaknya para pencari kerja harus tetap memiliki skill-skill lainya dalam taraf standard.

Terlebih lagi, peringkat dari skill tersebut dapat berubah drastic bila kita melihat pada jenis industry yang lebih spesifik (hal ini tidak dilakukan dalam survey oleh GCA). Akan ada perbedaan yang significant dari hasil survey yg diperoleh bila dilakukan pada 2 perusahaan yang berbeda jenis servicenya, misal: perusahaan customer good dengan klinik patologi misalnya.

Oleh karena itu adalah hal yang disarankan bagi para pelamar kerja untuk memulai menjalin komunikasi dengan teman atau kenalan yang pernah melakukn proses recruitmen dair perusahaan yang dituju, bahkan kalau perlu langsung bertanya kepada contact person dari perusahaan tersebut mengenai skill atau kompetensi yang dibutuhkan (misal dalam acara bursa kerja).

Yang menarik adalah, proses untuk mencari informasi tentang skill atau kompetensi yang dicari oleh perusahaan semakin awal dilakukan maka akan semakin baik. Mudah saja logikanya, apabila kita bisa mengetahui gap of skills or competencies yang ada pada diri kita sedini mungkin, maka kita akan punya lebih banyak waktu untuk memperolehnya. Atau juga, semakin awal kita mengetahui company yang sesuai dengan strength factors kita maka kita akan semakin confident untuk mendorongnya lebih jauh.

Sebagai penutup dari tulisan pendek ini, berikut ini ada tips untuk mencari kerja dengan lebih efektif:

1. Start Early
Miliki berbagai skill atau kompetensi yang dibutuhkan di dunia kerja sejak pertama kali Anda mengawali kuliah Anda. Hal ini bisa Anda peroleh dari mata kuliah, kerja praktek dan tentu saja berbagai aktifitas organisasi di kampus maupun di luar kampus (training atau workshop).

2. Visit your careers service
Layanan Karir ini banyak dijumpai di tiap-tiap kampus di Indonesia sekarang ini, mereka banyak menyediakan informasi lowongan kerja dan program-program self development. Sekali lagi, jangan menunggu menjelang lulus atau setelah lulus untuk mengujungi career service, tapi semakin cepat memperoleh informasi maka akan semakin besar kesempatan bagi Anda untuk meraihnya.

3. Do your research
Amati, pelajari dan teliti perusahaan yang Anda minati. Semakin Anda mengenalnya maka semakin Anda akan tahu bagaimana cara memasukinya.

4. Network
Mulailah untuk membangun network diantara teman Anda ataupun kenalan Anda. Manfaatkan jejaring social seperti facebook, twitter dsb. Dari network yang terbangun dengan baik, kita akan memperoleh berbagai informasi yang berguna dalam dunia kerja nanti.

5. Your application
Buatlah document lamaran kerja Anda dengan ‘sempurna’, karena jangan ambil resiko, siapa tahu staff recruitment dari perusahaan tersebut adalah type orang yang akan melakukan “judge the book from its cover”. Give the best !

6. Marketing yourself
Kesan pertama akan menentukan dalama proses recruitment yang kompetitif, oleh karena jadilah pribadi yang ‘layak untuk direcrut’, lebih professional, lebih percaya diri. Perbaiki semua jalur koneksi yang mungkin antara Anda dengan perusahaan yang akan meneliti Anda, seperti jejaring social, voicemail box Anda dsb.

7. Interview & selection
Selalu melakukan persiapan yang terbaik. Perbedaan antara pelamar yang berhasil dengan yang gagal seringkali adalah kesiapan diri, terutama mental. Oleh karena latihan, latihan dan latihan!

8. Smile and have fun
Proses mencari kerja itu memang seringkali tidka mudah, oleh karena itu nikmati saja prosesnya, karena akan banyak pelajaran darinya. Dan yang paling penting berdoa

Semoga artikel ini member manfaat bagi Anda yang membaca, terutama bagi mahasiswa yang akan memasuki dunia nyata.

Wassalam.

Ditulis oleh Eko Andi Suryo (Engineering Faculty - University of Brawijaya, dan Trainer)

Kamis, 10 Juli 2014

5 Pekerjaan Marketing Yang Dapat Anda Lakukan Dari Rumah



Untuk seorang profesional marketing, duduk dalam kubik kantoran adalah sesuatu yang paradoks. Artinya, mereka adalah seorang kreatif, mobilitas tinggi, dan seorang pengamat lingkungannya. Duduk dalam kubik dapat menghalangi kapabilitasnya.

Namun saat ini ada beberapa perusahaan yang sudah mulai mempekerjakan karyawannya dari rumah, terutama dalam bidang digital marketing yang bekerja 70% dari internet. Jika Anda berpikir untuk berkarir dalam bidang digital marketing yang berada di luar kantor, mungkin Anda dapat mempertimbangka posisi-posisi berikut ini.

1. Product Marketing Manager
Anda akan mengurus produk baru yang dirilis, bagaimana mengkomunikasikannya, positioningnya, dan apa pesan-pesannya. Product Marketing Manager memiliki tipe pekerja dengan software dan website. Jadi untuk menjadi orang yang ada di posisi ini, Anda haruslah seorang yang menguasai teknologi. Jika Anda memiliki hasrat tinggi di bidang teknologi, maka pengalaman dan hasrat Anda akan amat membantu.

2. Marketing Copywriter
Marketing Copywriter adalah salah satu pekerjaan terbaik dalam industri marketing dan periklanan. Menjadi seorang copywriter sangat dapat dilakukan dari rumah Anda. Yang dinilai dari hasil kerja Anda adalah banyaknya hasil, bukan berapa lama Anda berada di kantor. Anda harus memiliki skill menulis yang sempurna dan juga mengerti tentang SEO. Mengapa SEO? Karena perusahaan ingin tulisan-tulisan yang dapat dibaca semua orang di internet.

3. Marketing Analyst
Jika Anda seorang yang sangat detail dan mencintai angka-angka, maka ini adalah pekerjaan yang sangat cocok untuk Anda. Dalam posisi ini Anda dibutuhkan untuk menganalisa data dan merubahnya menjadi strategi marketing sebuah brand. Untuk mengerjakan pekerjaan ini Anda juga membutuhkan suasana yang tenang, tanpa ganggunan dan lingkungan yang dapat membuat Anda jauh lebih produktif.
Biasanya pekerjaan ini adalah kombinasi dari skill menganalisa dan memikirkan strategi. Lagi-lagi mengerti tentang SEO adalah sebuah kelebihan yang berharga.

4. Content Strategist
Jika Anda seorang blogger, kesempatan Anda untuk menjadi seorang Content Strategist sudah terbuka lebar, karena Anda mengerti tentang bagaimana mempromosikan sebuah konten. Gunakanlah kehebatan Anda itu untuk membantu perusahaan menuju kesuksesan degan metode yang sama. Sebagai seorang Content Strategist, Anda akan bekerja dengan merek-merek dan Anda akan menentukan konten apakah yang cocok untuk mereka mencapai tujuannya.

5.Digital Marketing Consultant
Pekerjaan ini mungkin adalah pekerjaan yang sangat fleksibel dari semua pekerjaan di atas. Jika Anda memiliki pengalaman yang banyak tentang digital marketing, mengapa Anda tidak mencoba untuk membuka usaha konsultasi Anda sendiri? Anda bisa memilih klien mana yang akan Anda ambil dan bagaimana Anda mengerjakannya. Tapi ingat, untuk memulai menjadi seorang konsultan digital marketing, Anda harus memiliki keahlian yang dalam dan spesifik pada satu atau dua bidang.

Mengupas Strategi Unilever Bertahan di Indonesia

Untuk menjadi pemain terbesar di dunia kebutuhan konsumsi Tanah Air tentunya PT Unilever Indonesia Tbk. memiliki sebuah strategi khusus. Salah satunya adalah 4G Model, yang merupakan kependekan dari Grow Consistenly, Grow Competitively, Grow Profitably, Grow Responsibly. Konsep inilah yang membuat perusahaan ini mampu bertahan hingga akhirnya berusia 80 tahun.
Maurits Lalisang, Direktur Utama PT Unilever Indonesia Tbk. mengatakan, maksud dari 4G pertama adalah tumbuh dengan konsisten. Selama 10 tahun terakhir, Unilever Indonesia telah tumbuh konsisten dan meraih CGAR 14,7%. "Jadi bukan tahun ini naik, tahun depan turun. Tapi, konsisten tumbuh," kata Maurits.
Pada tahap ini, ada tiga strategi yang bisa dilakukan. Yaitu menarik lebih banyak konsumen, meningkatkan lebih banyak konsumsi, dan menciptakan inovasi produk yang menawarkan lebih banyak manfaat bagi pengunanya. Contoh menarik lebih banyak konsumen adalah strategi Unilever merilis Rexona Deo. Produk ini hadir dengan fungsi yang unik, praktis, dan bisa dipakai oleh kaum pria atau perempuan.
Sedangkan meningkatkan lebih banyak konsumsi muncul pada produk Pepsodent. Siapa sangka kampanye dua kali sikat gigi Unilever terbukti ampuh meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap pasta gigi. "Kebanyakan orang Indonesia sebelumnya sikat gigi hanya sekali, ketika pagi hari. Padahal yang terpenting adalah malam hari sebelum tidur," katanya.
Adapun contoh menciptakan inovasi produk yang menawarkan lebih banyak manfaat terlihat dari produk Ponds Masstige. Meskipun harganya lebih mahal, namun produk ini menghadirkan manfaat yang lebih banyak. "Kelas menengah di Indonesia diprediksi berjumlah 74 juta, dan ini menjadi pasar yang potensial," kata Maurits.
Sedangkan pada Grow Competitively, Unilever sadar bahwa persaingan yang ada semakin ketat sehingga mereka pun harus memiliki produk yang bisa menjadi pilihan utama konsumen. Produk yang menjadi andalan adalah Keratin Smooth dari Tresemme yang mendapat sambutan baik dari konsumen, Pond's Men yang dirancang dan menyasar kaum pria, hingga Molto Ultra Pure yang diklaim bisa membuat pakaian lebih lembut tiga kali lipat, dan lainnya.
Pada G3, yaitu Grow Profitably, adalah strategi Unilever mempertahankan profit yang sangat baik di atas rata-rata industri, inovasi yang margin-accretive, serta mengelola portofolio dengan optimal. "Kami secara terus menerus meningkatkan efektivitas dan efisiensi di semua rantai proses dan meniadakan proses yang tidak memberikan nilai tambah," kata Maurits.
Terakhir, adalah Grow Responsibly atau tumbuh secara bertanggung jawab. "Indonesia menghadapi berbagai masalah, seperti kemiskinan, kesehatan, keberlanjutan sumber daya alam hingga perubahan iklim. Bila tidak disikapi dengan benar, maka nantinya mempengaruhi iklim bisnis kami," kata Maurits. Itulah mengapa, Unilever pun meluncurkan tiga strategi untuk mewujudkan itu, yaitu menurunkan dampak terhadap lingkungan, meningkatkan kesehatan masyarakat, serta meningkatkan penghidupan pada rantai mereka.
Salah satu produk yang untuk menghadapi buruknya kondisi lingkungan adalah Molto Sekali Bilas. "Dalam mencuci, air banyak terbuang ketika kita membilas, entah karena masih licin atau lainnya. Itulah mengapa kami kami membuat produk yang cukup sekali bilas," katanya. Sedangkan untuk meningkatkan penghidupan, Unilever bekerjasama untuk penyediaan bahan baku bersama para petani. "Sudah ada 15.000 petani gula kelapa yang bekerjasama dengan Unilever. Kami juga hanya menggunakan keledai hitam untuk pembuatan Kecap Bango yang semua berasal dari rekan petani kami," katanya.

Miliki Kekuatan Sales yang Baik

Salesmen harus bisa memotivasi dirinya sendiri.” Demikian ucap Hermawan Kartajaya, CEO dan Founder MarkPlus,  dalam program MarkPlus Master Class Workshop dengan subtema “Accelerating Sales Force Performance” yang berlangsung pada Senin (03/09/2012) di ruang pelatihan Phillip Kotler Room, MarkPlus , Jakarta.
Tentunya menjadi keinginan setiap perusahaan untuk mampu mencapai penjualan yang gemilang. Dan, menjadi impian seorang tenaga penjualan bila dia bisa naik pangkat tidak lagi hanya menjadi salesman. Dual hal tersebut hanya bisa tercapai apabila perusahaan berserta tenaga sales-nya memiliki kekuatan sales yang mumpuni. Lalu bagaimana caranya untuk bisa mengetahui  hal tersebut? Hermawan menyebutkan empat petunjuk yang bisa dilihat untuk mengetahui apakah sebuah perusahaan, dan juga seorang tenaga penjualan, telah memiliki kekuatan sales yang baik.

Pertama tenaga penjualan (sales people). Salah satu kekuatan sales tergantung pada tenaga penjualan. Namun bukan sekadar tenaga penjualan. Karena mereka idealnya harus memiliki pengetahuan yang cermat mengenai produk, pasar yang dituju, keterampilan menjual dan pemanfaatan waktu.  Tenaga penjualan juga haruslah mampu memotivasi dirinya sendiri serta bisa menjelma sebagai manajer.

Petunjuk kedua adalah aktivitas. Dalam aktivitas (activity), perusahaan perlu mengetahui apakah mereka sudah menjalani proses penjualan terbaik, dan sudahkah menerapkan pengalokasian waktu yang paling tepat untuk pasar, produk dan kegiatan penjualan itu sendiri. Yang tidak kalah penting adalah apakah nilai-nilai yang ada telah dikomunikasikan.

Petunjuk berikutnya adalah hasil dari customer (customer results). Bila sebuah perusahaan telah memiliki kekuatan sales yang baik, customer results semestinya mampu menghasilkan kepuasan customer yang kemudian berdampak pada customer akan kembali membeli dan menjaga hubungan jangka panjang dengan produk itu.

Setelah melihat customer results, selanjutnya melihat yang dihasilkan perusahaan (company results). Prestasi perusahaan dengan kekuatan sales yang baik akan tampak dari pencapaian pendapatan yang sesuai rencana, pertumbuhan profit, pertumbuhan lebih cepat dari kompetisi yang ada serta mampu bergerak maju menuju arahan bisnis baru.

Untuk mampu menciptakan kekuatan sales yang baik, sebuah perusahaan perlu memiliki struktur dan strategi yang baik terlebih dahulu. Tahap pertama ini disebut definers, di mana strategi penjualan, strategi go-to-market, dan desain kekuatan penjualan ditetapkan. Strategi penjualan terdiri dari segmentansi customer, penawaran ke customer dan proses penjualan. Sedangkan desain kekuatan desain mencakup struktur dan peran, ukuran atau jumlah kebutuhan, dan penentuan teritorial.

Tahap definers berdampak pada divisi penjualan di lingkup peran, wilayah kerja dan proses penjualan, yang di dalamnya terdapat aktivitas antara lain: perekrutan, pelatihan, kompensasi, riset customer dan sebagainya yang bila dilihat memiliki dua sisi bertentangan, yakni cost dan investment. Namun hal-hal tersebut tidak dapat terhindarkan bila sebuah perusahaan ingin menciptakan kekuatan penjualan yang baik, sehingga mindset yang dibentuk adalah aktivitas tersebut merupakan investasi yang pada akhirnya akan menghasilkan kepuasan dan kesetiaan konsumen.

“Jadi, perlu memiliki pola pikir investment bukan cost,” tutur Hermawan menutup termin pertama MarkPlus Master Class Workshop. MarkPlus Master Class Workshop tahun ini berlangsung selama lima hari berturut-turut sejak 3 September 2012, dengan tema besar “The New Strategic Sales Management”.

Salesman, Masih Bisakah Jual Es di Kutub Utara?

Workshop The New Strategic Sales Management 2014 MarkPlus, Inc.
Salah satu jargon kuat dalam dunia penjualan adalah harus bisa menjual es kepada orang di kutub utara. Hal ini mengindikasikan seorang tenaga penjual harus punya kemampuan komunikasi yang baik dan menjual sebanyak-banyaknya produk kepada sebanyak-banyaknya konsumen.
Namun apakah hal tersebut masih tetap relevan dengan kondisi saat ini? Menurut Hermawan Kartajaya, banyak sales force yang terjebak pada target penjualan saja tanpa mau memahami kebutuhan dan keinginan konsumen. "Sales yang baik harus bisa menjaga dan mengembangkan hubungan jangka panjang dengan konsumen, bukan sekedar mencapai target." Demikian disampaikan oleh Hermawan dalam sesi workshop bertema "The New Strategic Sales Management" di Philip Kotler Theatre, MarkPlus Main Campus, Jakarta (10/2/2014).
Ia mengungkapkan ketidaksetujuannya untuk menggunakan jargon tersebut dalam konteks penjualan. Seorang tenaga penjual harus mengerti hasrat dan kekhawatiran konsumen. Menjual es ke orang di kutub utara bisa saja dilakukan. Namun, ketika barang sudah sampai ke konsumen, mereka bisa jadi kecewa karena "dirayu" untuk membeli barang yang tidak mereka butuhkan.
Hal itu akan menjadi bumerang tidak hanya bagi salesman, namun juga bagi merek yang dijual. "Ada cerita menarik. Seorang penjual produk asuransi nomor satu di Singapura, ketika berkunjung ke Indonesia hanya mengunjungi klien-klien lamanya. Padalah, komisi paling besar didapat kalau bisa merekrut klien baru. Ia menjawab bahwa melalui hubungan baik dengan konsumen lamanya, salesman tersebut lebih mudah mendapat klien baru. Referral adalah kuncinya," ujar Hermawan.
Kepercayaan konsumen adalah hal utama dalam dunia penjualan. Ketidakpercayaan dan bahkan ketidaksukaan konsumen terhadap produk bisa jadi diakibatkan sales force yang terlalu mamaksa penjualan tanpa mau memahami kebutuhan sang konsumen. OIeh karena itu, salesman perlu mengetahui segmen yang tepat dengan produk mereka sebelum mulai menjualnya.

Standar Pelayanan Konsumen yang Baik

Agar dapat melakukan perbaikan dalam pelayanan konsumen, perusahaan perlu memiliki standar tertentu untuk menjamin kualitas pelayanan. Selain itu standar juga diberkakukan agar pelayanan dapat diukur dengan baik. Ada terdapat dua standar untuk melakukan pengukuran ini yaitu “Hard Standards” dan “Soft Standards”. Hard Standard adalah pengukuran operasional terhadap sesuatu yang bisa diukur secara kualitatif seperti waktu dan jumlah pelanggan. Sedangkan soft standardsadalahh pengukuran berdasarkan opini yang tidak dapat didapatkan melalui pengukuran tetapi harus ditanyakan konsumen.
Salah satu perusahaan yang mengaplikasikan standard ini dengan baik adalah Ford Motor Company yang memiliki standard untuk pelayanan pada tiap dealership. Berikut ini adalah beberapa contoh standards pelayanan Ford:

  1. Pemenuhan janji atau pemenuhan permintaan konsumen dalam waktu kurang dari satu hari

  2. Penulisan laporan dilakukan dalam jangka waktu 4 menit atau kurang

  3. Pelayanan dilakukan dengan kesopanan, secara akurat dicatat, dan diverifikasi dengan konsumen

  4. Perbaikan mobil dilakukan secara benar saat pertama kali ditangani

  5. Permintaan akan status pelayanan akan dipenuhi dalam waktu kurang dalam dari 1 menit

  6. Pengerjaan mobil diselesaikan pada waktu yang telah dijanjikan

  7. Pemberikan informasi yang lengkap pada konsumen mengenai pekerjaan yang telah diselesaikan, cakupan pekerjaan, dan biaya yang dikenakan


Standar ini sebaiknya dibuat sesuai dengan prioritas atau faktor-faktor yang dianggap signifikan mempengaruhi konsumen. Oleh karena itu sebaiknya standard dibuat juga dengan mempertimbangkan pelayanan yang diterima dari sisi konsumen. Pembuatan standar pelayanan tidak hanya bersifat searah dari pihak manajemen perusahaan

Perusahaan Beyond-Global (Belajar dari Manufaktur AS)

Selama tahun 1980-an, perusahaan-perusahaan manufaktur Amerika Serikat (AS) yang terkenal sebagai eksportir utama dunia, menemukan strategi manajemen manufaktur dan berinovasi dalam berbagai hal tentunya untuk meningkatkan daya saing mereka. Berbagai strategi ini banyak dikenal sebagai strategi  TQM (Total Quality Management), JIT (Just-in-Time) production, atau DFM (Design for manufacturability). Selain itu, terdapat pula lean manufacturing, reengineering, benchmarking, dan the ubiquitous team approach. Pada saat itu, seluruh strategi ini ditiru oleh berbagai perusahaan di sana, sehingga industri manufaktur AS berkembang dengan pesat.
 

Sementara berbagai upaya di atas berhasil meningkatkan profit perusahaan, strategi itu kemudian tidak mampu mengalahkan pendekatan ekspor perusahaan Jepang atau Jerman. Hal ini yang selanjutnya menyebabkan Jerman dan Jepang mampu menyalip AS sebagai eksportir utama dunia. Terdapat sebuah kesalahan terkait strategi tersebut, bagaimana ia langsung keok menghadapi perusahaan global.

 

Kondisi tersebut dapat terjadi karena prinsip utama strategi di AS tadi adalah perbaikan manajemen, efektivitas kerja, dan pencapaian target.  Tidak ada strategi yang disusun mempertimbangkan keunggulan komparatif, terutama saat perusahaan lain menggunakan strategi yang sama. Apalagi, upaya mengejar ketertinggalan kemudian hanya dilakukan untuk menyamai pemain terdepan, bukan melebihinya. Amerika Serikat terus saja mencoba mencari keseimbangan dagang, bukan ingin menjadi yang utama. Sehingga saat sudah mencapai tahapan setara, perusahaan-perusahaan AS tetap saja tertinggal dibanding perusahaan negara lain.


Belajar dari hal tersebut, perusahaan dalam lingkungan persaingan global yang bergolak, harus terlebih dahulu menentukan keunggulan kompetitif produknya di pasar. Ia harus melihat siapa dan berapa banyak kompetitor yang harus dia lawan di dalam pasar tersebut. Perusahaan kemudian perlu mengumpulkan infomrasi mengenai keunggulan lawan, terutama jika lawan tersebut mampu merebut pasar dengan lebih baik. Para manajer kemudian harus mampu mengukur dan menyiapkan target melebihi pencapaian kompetitor terberat dengan cara yang berbeda. Mekanisme perusahaan-perusahaan memang benar harus berorientasi pada kemampuan untuk menghasilkan secara efisien, menjual secara efektif, atau peningkatan kapital dari waktu ke waktu. Akan tetapi, sistem tersebut telah dikenal dan dapat ditiru oleh siapa pun, sehingga perusahaan tidak lagi memiliki keunggulan komparatif. Perusahaan harus menambahnya dengan pertahanan terhadap kompetitor di segmen dan pasar yang sama, ataupun continuous innovation.

 

Selanjutnya, pertarungan perusahaan AS juga memberikan gambaran bagaimana strategi seharusnya dibuat tidak hanya untuk jangka pendek. Mekanisme JIT dan TQM hanya  memberikan solusi pada masalah-masalah spesifik, pada bagian tertentu dari sistem perusahaan. Mekanisme ini tidak menyukai perhitungan makro dan jangka panjang; sejak awal pencetusan ide hingga kemampuan memperbaiki kerusakaan saat sistem perusahaan berjalan. Padahal seharusnya, dalam era kompetisi, sistem organisasi harus memiliki mekanisme perbaikan diri apabila ia mendapatkan serangan tak terduga dari lawan. Dengan kata lain, mekanisme semacam JIT dan TQM bagus digunakan bagi pencapaian target jangka pendek, tetapi tidak handal bagi proses jangka panjang. Hal ini terjadi karena pencapaian jangka panjang membutuhkan suatu pendekatan berbeda, yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Ciri khas tersebut harus unik, tidak mudah ditiru, memiliki kemampuan fleksibel menghadapi pergolakan pasar, juga reaktif mengatasi masalah.
 
*Sumber : http://hbr.org/1994/01/beyond-world-class/ar/1

*Ilustrasi dari : http://www.bhglobal.com.sg/site/images/stories/bh/about_bh/Our-Vision-Bgr.jpg

Lima Elemen Service Quality


Pada tulisan sebelumnya berjudul "Mengapa Servis Penting bagi Perusahaan?" dikatakan dua manfaat servis, yakni membangun loyalitas pelanggan dan mendatangkan efisiensi perusahaan. Lalu, bagaimana membangun kualitas servis atau service quality yang prima?

Service Quality (ServQual) merupakan salah satu konsep layanan perusahaan yang bisa diandalkan untuk bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat. ServQual memiliki lima elemen utama, yakni Reliability, Assurance, Tangible, Empathy, dan Responsiveness (RATER). Bila kelima elemen ini terpenuhi, pelanggan akan mendapatkan apa yang dinamakan customer satisfaction.

1. Reliability
Elemen ini merujuk pada kemampuan perusahaan memberikan layanan secara akurat kepada pelanggannya. Pada tahap ini, produk dan layanan perusahaan bisa diakses oleh pelanggan kapan saja dan di mana saja. Perusahaan menyediakan diri setiap saat untuk pelanggan. Misalnya, perusahaan operator seluler menyediakan sinyal di berbagai area di mana pelanggannya berada.

2. Assurance
Elemen ini mengacu pada kemampuan perusahaan untuk menumbuhkan kepercayaan di mata pelanggan melalui keramahan dan pengetahuan staf dalam melayani. Garuda Indonesia dengan program Garuda Indonesia Experience menjadikan layanan dan produknya memiliki kekhasan keramahan dan citarasa Indonesia. Hal ini yang harus diresapi oleh setiap karyawan maskapai pelat merah ini. Dengan cara pelayanan tersebut, pelanggan bisa mengenal keunikan dan kelebihan dari maskapai ini.

3. Tangible
Elemen ini mengacu pada segala sesuatu yang bersifat tangible dan memengaruhi kualitas layanan kepada pelanggan. Misalnya, ruang tunggu pelanggan yang bersih dan rapi, fasilitas untuk pelanggan, penamilan fisik staf dan karyawan, ambience ruangan, dekorasi, interior, dan sebagainya. Kantor Google, misalnya, dikenal sebagai kantor dengan desain dan dekorasi yang ciamik yang membuat karyawan maupun tamu betah berada di dalamnya.

4. Empathy
Elemen ini mengacu pada perhatian perusahaan pada pelanggannya. Praktik empati perusahaan bisa diwujudkan dengan mendengarkan pelanggan, membantu pelanggan menemukan solusi, memahami apa yang menjadi kegelisahan dan kecemasan pelanggan, solider dengan pelanggan, tidak meninggalkan pelanggan, dan sebagainya.

5. Responsiveness
Elemen ini mengacu pada bentuk tindakan perusahaan dalam merespons pelanggan secara tepat waktu. Kadar responsiveness ini bisa diuji dengan pertanyaan, seperti seberapa besa keingintahuan perusahaan pada tingkat kesulitan yang dialami pelangganya, seberapa sanggup perusahaan membantu pelanggan untuk keluar dari permasalahan, seberapa tanggap perusahaan pada keluhan dan komplain pelanggan, dan sebagainya.

Referensi: The Official MIM Academy Coursebook "Service Operation". Esensi: 2009 | Sumber ilustrasi: http://alloinde.com

Menggali Pikiran Bawah Sadar Konsumen



Setiap tindakan manusia dipengaruhi oleh pikiran tidak sadar, termasuk dalam pengambilan keputusan pembelian dan pola konsumsi. Pemikiran di bawah sadar ini terbentuk dari pengalaman dan emosi dan dapat mempengaruhi pola pikir manusia. Pemasar perlu menggali sehingga dapat memanfaatkan pikiran bawah sadar konsumen untuk memasarkan produk.

Dalam bukunya yang berjudul ‘The Culture Code’, Clotaire Rapaille, menjelaskan bahwa setiap individu dapat memproses informasi yang sama dengan cara yang berbeda sehingga menghasilkan tindakan yang berbeda. Perbedaan pengolahan informasi ini, serta perbedaan tindakan yang diambil, dipengaruhi oleh suatu pemahaman bawah sadar yang melekat pada suatu barang atau isu. Pemahaman bawah sadar ini ia namakan ‘Kode’.

‘Kode’ ini terbentuk dari jejak-jejak pembelajaran dalam hidup seorang individu. Jejak ini terbentuk karena adanya pengalaman dan emosi yang timbul dari pengalaman tersebut. Semakin besar emosi yang terlibat, semakin dalam jejak yang terbentuk karena suatu pengalaman. Jejak pengalaman inilah yang membentuk ‘kode’ dan mengendalikan tindakan-tindakan seorang individu.

Karena terbentuk dari pengalaman, ‘kode’ menjadi identik dengan budaya dari suatu kelompok. Misalnya dalam buku tersebut, Rapaille, mengungkapkan salah satu risetnya bahwa ‘kode’ untuk makanan bagi orang Amerika adalah ‘bahan bakar’, sehingga banyak sekali restoran cepat saji bermunculan disana. Sedangkan bagi orang Perancis, makanan adalah ‘pengalaman untuk perbaikan’, sehingga dari sanalah banyak muncul restoran dengan konsep fine-dining.

Mungkin beberapa dari kita masih ingat pada awal peluncuran produknya, Ovaltine diri sebagai minuman coklat sebelum tidur yang dapat membuat tidur lebih nyenyak. Produk ini dulu bisa dikatakan tidak begitu berhasil. Konsumen Indonesia tidak terbiasa dengan konsep minuman coklat sebelum tidur, kita lebih terbiasa dengan minuman hangat, mulai dari teh, kopi, susu, di pagi hari untuk memulai aktivitas.
Contoh-contoh di atas memang terlihat terlalu menggeneralisir suatu budaya, tidak semua orang Amerika senang dengan restoran cepat saji, tidak sedikit juga orang Perancis yang bisa menikmati makan dengan cepat, dan tidak semua orang Indonesia suka minuman hangat pagi hari. Tetapi dalam level yang lebih sempit, konsep ini dapat digunakan oleh pemasar untuk mengetahui dorongan bawah sadar yang membentuk preferensi dan pola konsumsi kelompok konsumen yang ia target.

Pikiran bawah sadar sendiri dapat dibagi menjadi tiga level, individual unconscious, yaitu dorongan pribadi yang mengendalikan tindakan setiap individu yang unik membedakan satu individu dengan individu lain. Kedua, collective unconscious, yaitu dorongan bawah sadar yang mengendalikan tindakan individu sebagai anggota dari suatu kelompok. Dan yang terakhir, yang paling mudah dilihat, cultural unconscious, yaitu dorongan bawah sadar yang terbentuk dari budaya dimana individu tersebut tumbuh.

Suatu metode riset untuk menggali pikiran bawah sadar responden terhadap suatu isu diperkenalkan oleh Rapaille. Untuk mendapatkan ‘kode’ dari suatu isu atau produk, Rapaille melakukan riset yang dibagi menjadi tiga fase utama.

Fase pertama, yang ia sebut sebagai bad focus group hanya bertujuan untuk menanyakan pemahaman umum responden mengenai suatu isu atau produk. Fasilitator riset akan mengambil peran sebagai seseorang yang sama sekali tidak mengetahui apa-apa mengenai isu/ produk tersebut. Deskripsi-deskripsi yang diberikan ini akan menggambarkan apa yang responden pikirkan secara rasional. Deskripsi-deskripsi ini merupakan hasil dari lapisan pertama dari otak manusia, yaitu cortex.

Cortex adalah fungsi otak yang mengatur proses belajar, pemikiran abstrak, dan imaginasi. Pada bagian inilah logika dan pemikiran dibentuk, sehingga pemikiran yang timbul adalah pemikiran yang dianggap masuk akal. Cortex-lah yang memberikan alibi, atau alasan-alasan rasional terhadap suatu tindakan individu.
Pada fase kedua riset, partisipan diminta untuk duduk di lantai dan membuat kolase dari guntingan kata-kata untuk menggambarkan isu/ produk yang dibahas. Kemudian partisipan diminta untuk memberikan suatu cerita dari kata-kata yang ia pilih. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mendapatkan petunjuk lebih lanjut mengenai pengalaman partisipan dengan isu/ produk yang sedang dibahas, yang terkait dengan limbic system.

Limbic system adalah fungsi otak yang mengatur emosi. Saat seorang individu harus memutuskan antara rasionalitas dan perasaan, limbic system akan bekerja. Bagian otak ini berpikir untuk merasa benar dan baik.
Terakhir, pada fase ketiga riset, partisipan diminta untuk berbaring di lantai (dengan bantal), diputarkan musik, diberikan aromatheraphy, dan berbagai cara lain untuk membuat partisipan santai. Kondisi yang santai dimaksudkan untuk menenangkan gelombang otak yang aktif. Pada fase ini responden diminta untuk mengingat pengalaman pertama, atau yang paling berkesan, berkaitan dengan isu atau produk yang sedang dibahas. Tujuan dari fase ini adalah untuk mengakses reptilian brain.

Reptilian brain adalah bagian otak yang mengatur kelangsungan hidup. Tujuan dari pemikiran yang terjadi di sini adalah untuk keberadaan individu. Karena itulah bagian otak inilah sebenarnya merupakan yang paling kuat mempengaruhi tindakan seorang individu, namun pengaruhnya sering tidak disadari. Dan disinilah ‘kode’ terbentuk.
Dengan mengungkap dorongan bawah sadar kelompok konsumen yang ditarget, pemasar dapat melakukan penawaran produk secara efektif. Pesan komunikasi yang menyentuh, produk atau layanan komplementer yang memberi nilai tambah, cara penjualan yang tepat, dapat digali dengan mengungkap dorongan bawah sadar konsumen.

Sebagai tambahan, Rapaille memberikan lima prinsip utama yang perlu diperhatikan untuk mengungkap dorongan bawah sadar suatu budaya/ kelompok:

  1. Jangan langsung mempercayai apa yang dikatakan. Bukan karena individu  tersebut suka berbohong, hanya saja ia tidak mengatakan apa yang sebenarnya ia maksudkan. Karena umumnya, individu memberikan alasan rasional yang masuk akal dari cortex, dan tidak benar-benar mengetahui mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan.

  2. Emosi adalah energi yang diperlukan untuk mempelajari semua hal. Sehingga emosi adalah kunci pembelajaran dan proses pembentukan ‘kode’. Begitu pula dalam proses mengungkap ‘kode’, emosi diperlukan untuk menggali ‘kode’ lebih dalam.

  3. Struktur, bukan isi, adalah pesan utama. Yang dimaksud dengan struktur adalah kondisi dimana tindakan tersebut diambil, bisa bersifat individu, interaksi antar individu, maupun kelompok.

  4. Ada ruang waktu untuk pembentukan ‘jejak’dari suatu pengalaman, dan makna dari ‘jejak’ tersebut berbeda dari satu budaya dengan budaya lain. Setiap budaya/ kelompok konsumen memiliki cara yang berbeda dalam menanggapi suatu isu, tergantung dari bagaimana pengalaman dan kebiasaan terbentuk.

  5. Untuk memahami makna suatu ‘jejak’, kita perlu mempelajari bagaimana jejak tersebut terbentuk. Setiap budaya/ kelompok bisa memiliki jejak dan kode berbeda, tergantung dari pengalaman dan emosi yang membentuknya.


*Diambil dari Majalah Marketeers, Desember 2011

Ini Dia Pemahaman Servis yang Keliru!

Servis bukan sekadar penerapan kaku SOP perusahaan.
Kata "servis" sudah menjadi latah diucapkan oleh banyak penjual maupun pemasar. Tapi, kelatahan ini juga mencerminkan masih adanya salah persepsi atau pemahaman yang keliru tentang servis tersebut.  Tulisan berikut sebagian besar terinsiprasi dari buku "Converting Customer Service into Sales" karangan Hermawan Kartajaya dengan beberapa penyesuaian.  Hermawan bilang sering terjadi kekeliruan dalam memahami pemasaran. Pemahaman akan pemasaran saja keliru, apalagi servis sebagai bagian dari pemasaran tersebut.

Hermawan menandaskan pemasaran harus menjadi jiwa perusahaan sehingga setiap orang dalam perusahaan adalah pemasar. Terkait pemasaran sebagai visi, harus bisa dipastikan perusahaan mencapai tingkat kepuasan yang berkelanjutan pada tiga stakeholder utama, yakni karyawan, pelanggan, dan pemegang saham. Lantaran servis menjadi bagian dari pemasaran, servis selayaknya juga dihidupi oleh semua elemen dalam perusahaan.

Tapi, kekeliruan muncul pada fenomena pengkotak-kotakan, seolah-olah servis hanya menjadi tugas orang servis saja. Selain itu, praktik servis yang dijalankan pun masih standar saja. Di industri otomotif, misalnya, servis sekadar dipahami sebagai after sales service.  Di perbankan maupuin perhotelan, servis malah sering dianggap sebagai operation di mana kamar bersih, rapi, customer service-nya murah senyum dianggap sudah sebagai servis itu sendiri.

Servis sering ditempatkan di bawah divisi operasi. Akibatnya, servis yang dijalankan sekadar eksekusi dari SOP yang ada. Servis seperti ini cenderung kehilangan jiwa. Tak ada lagi kustomisasi dan personalisasi dalam servis. Tampaknya, masih ada perusahaan yang tidak memiliki bagian pemasaran. Bagian ini justru dirangkap oleh bagian operasi yang sangat standar tersebut. Selain itu, keberadaan call center atau situs web perusahaan sudah dianggap sebagai eksekusi servis tersebut. Namun, praktik servis di call center juga masih menghadapi aneka problem, seperti call center yang tak bisa dihubungi, bernada sibuk, tidak ada yang angkat panggilan, maupun tanggapan tak bersahabat dari agen call center tersebut.

Selain itu, orang sering memisahkan antara servis dan produk. Seolah keduanya terpisah satu sama lain. Hermawan mengatakan pola pikir orang servis sering didominasi paradigma produk. Misalnya, servis hotel dipersempit dengan jualan kamar, membukakan pintu, mengantar ke kamar, maupun melempar senyum atau servis agen perjalanan sekadar jualan tiket. Mungkin semua berjalan sesuai SOP. Tapi, semua berjalan laksana robot.

Lebih dalam dari sekadar standar, servis harus dipahami sebagai paradigma dan komitmen. Dengan begitu, servis dihidupi oleh setiap orang di semua lini perusahaan. Servis juga melekat pada semua industri, termasuk industri yang kelihatannya tak termasuk industri servis sekalipun.

Hermawan memasukkan produk sebagai bagian dari servis. Teh Botol, misalnya, bermakna sebagai servis lantaran mampu memuaskan kebutuhan masyarakat akan minum teh secara praktis.  Sebaliknya, layanan sebuah bank maupun hotel yang tergolong dalam industri servis tidak bermakna servis karena membuat nasabah atau tamu bingung, tak nyaman, dan mengeluh.

Hermawan membagi servis menjadi tiga tingkatan, excellent service, experiential service, dan transformational service.  Excelllent service menjadi servis yang tingkatannya paling rendah. Hanya dengan memberikan produk maupun servis yang sama maupun lebih tinggi dari harapan pelanggan, kita sudah mencapai standar tersebut. Contohnya McDonald dengan servis terstandar secara global.

Experiential service mengacu pada praktik servis yang memberikan pengalaman baru bagi pelanggan dalam mengkonsumsi sebuah produk.  Contohnya, Starbucks dan Hard Rock Cafe.

Transformational service sebagai servis pada tingkatan tertinggi karena mampu mengubah karakter pelanggan. Dulu, Apple IPOD, misalnya, mampu mengubah kondisi feel bad menjadi feel good. Sekarang, banyak perusahaan yang menerapkan servis transformatif ini. Perusahaan turut mendidik pelanggan yang dulunya tak peduli pada lingkungan menjadi sadar pada lingkungan hidup, termasuk juga mengubah pelanggan menjadi lebih peduli pada kesehatannya.

Pada tingkat transformational service, perusahaan mampu menjual nilai-nilai kepada pelanggan sehingga nilai-nilai itu menjadi milik mereka.  Di era New Wave Marketing, service kemudian dipahami sebagai care di mana pemasar bisa memahami apa yang menjadi impian (desire) dan kecemasan (anxiety) dari para pelanggan. Dengan demikian, semakin ditegaskan bahwa servis bukan melulu pelaksanaan kaku SOP, tapi pelayanan sepenuh jiwa yang fleksibel untuk disesuaikan (customized) dan bersifat personal kepada para pelanggan.

*Sumber ilustrasi http://www.responsiblelending.org