Senin, 11 Agustus 2014

Hukum Gayus: “Aku Mirip maka Aku Ada”

Gayus memang fenomenal. Sejak kemunculannya di media sebagai mafia pajak dan hukum, Gayus Tambunan memunculkan kehebohan. Dagelan Gayus nan jayus paling anyar adalah saat Gayus ketangkap kamera saat menonton pertandingan tenis di Bali. Padahal status dia masih penghuni rumah tahanan. Ia berkongkalingkong dengan (baca: menyuap) petugas rutan Brimob, Kelapa Dua, Depok sehingga leluasa plesir ke Bali dan menonton tenis.
Nah, skenario lucu muncul kemudian. Gayus membantah foto yang memakai wig itu adalah dirinya. Muncullah di media berita foto “MIRIP” Gayus. Fenomena “mirip” ini kembali latah seperti pada masa kasak-kusuk video panas mirip artis beberapa bulan silam. Di sana, di sini, banyak orang latah memakai kata “mirip” untuk setiap guyonan mereka.

Imajinasi saya jadi ngelantur. Seandainya Rene Descartes (1596-1650) masih hidup, mungkin ia akan berpikir ulang pada dalil filsafatnya yang fenomenal itu, cogito ergo sum—aku berpikir maka aku ada. Mungkin ia kembali meragukan dalilnya ketika membaca timeline Sujiwo Tejo (@sujiwotedjo) hari ini yang memplesetkan dalil filsafatnya itu menjadi “aku mirip maka aku ada.”

Tapi, kalau dipikir-pikir, baik Descartes maupun Sujiwo Tejo juga punya kemiripan (waduh, lagi-lagi pakai terminologi “mirip” :)). Dua-duanya meragukan dan justru karena meragukan, dua-duanya mau mengatakan keberadaan yang diragukan itu. So, kalau begitu, pernyataan “aku mirip maka aku ada” mau mengatakan bahwa “itu benar-benar aku karena aku mirip dengannya.” Nah, benar tho, jadi kalau Gayus masih menampik dengan mengatakan “itu mirip aku” berarti itu benar-benar Gayus! Kecuali kalau Gayus juga sudah “menyuap” akal sehat kita! Ha ha... :)

DNA Merek






Lalu, apa hubungannya dengan marketing? Fenomena mirip ini sudah jamak di dunia bisnis dan marketing. Lihat saja di pasar. Banyak merek-merek kecil yang turut “mendompleng” dari merek-merek yang sudah tenar dan populer. Caranya gampang, dengan memakai nama merek maupun kemasan yang mirip-mirip dengan nama dan kemasan merek yang sudah tenar.
Mungkin Anda juga pernah menemukan barang elektronik dengan merek Sunny. Sekilas, kalau kita sedang tidak cermat, kita akan melihatnya sebagai Sony. Ada lagi nama dan kemasan biskuit yang mirip Oreo, yakni Rodeo. Di ranah pemaran, ada istilah marketing kamuflase—pemasaran dengan mengedepankan kemiripan dengan merek pesaing, entah nama, warna, dan kemasan. Taksi biru, misalnya, selalu identik dengan Blue Bird. Tapi, di jalanan, banyak orang yang terkecoh karena banyak taksi warna biru yang ternyata bukan Blue Bird. Masih banyak contoh lain yang bisa kita temukan di kategori produk lainnya seperti bumbu masak, mie instan, kopi, dan sebagainya.

Soal “mirip” di dunia bisnis bisa juga menjadi sengketa yang berujung hukum. PT Forisa Nusapersada, misalnya, pernah melempar gugatan ke pengadilan PT Garudafood Indonesia. Pasalnya, PT Forisa Nusapersada menemukan merek Forisa terdaftar milik Garudafood. Lalu, Oktober silam, Facebook pernah menggugat di pengadilan Distrik Amerika Faceporn dengan tuduhan pelanggaran merek dagang.

Bahkan, nama yang mirip dengan nama produk kendati itu tidak punya relasi kompetisi bisnis pun bisa digugat. Masih ingat kasus blogger Sony Arianto Kurniawan alias Sony AK pernah digugat secara hukum oleh Sony Corporation di Jepang karena kesamaan namanya dengan raksasa elektronik asal Jepang itu—khususnya nama Sony AK menjadi nama domain blognya www.sony-ak.com. Setelah dibela besar-besaran oleh blogger Indonesia, gugatan pada Sony AK ini pun berakhir damai. Wah!

Di era New Wave ini, “hukum Gayus” alias model mirip-miripan seperti ini sudah tidak relevan lagi. Selain karena masyarakat lebih cerdas dan tidak mudah dibohongi, mirip-miripan ini malah berpotensi menjadi bahan olok-olok saja—selain tentu berpotensi masalah hukum.

Pada era serba horisontal dan serba transparan ini, justru merek harus bisa tampil beda. Berbeda di sini tak sekadar diferensiasi, tapi lebih dalam dari itu, yakni kodifikasi. Merek harus mempunyai DNA seperti halnya manusia yang menjadi ciri hakiki yang tidak bisa ditiru oleh siapa pun. Diferensiasi di era New Wave kudu benar-benar otentik. DNA merek inilah yang dicari konsumen. Pelanggan pada akhirnya akan melihat sejauh mana keotentikan sebuah merek, produk, maupun perusahaan. Nah, bila suatu saat pelanggan memersepsi apa yang disuguhkan marketer sebagai tiruan maupun palsu, marketer akan kehilangan kredibilitas dan bahkan pelanggannya. DNA ini yang membuat merek juga tidak bisa dipalsukan dan ditiru.

Saya masih teringat pesan Hermawan Kartajaya di depan putri-putri pariwisata. “Kita tidak perlu menjadi the best in everything, tapi perlu menonjolkan apa yang berbeda dari kita,” kata dia.

Nah, di zaman New Wave Marketing, “Hukum Gayus” tidak berlaku lagi. Toh, dunia akan memandang dan menghormati kita (baca: merek) ketika merek itu punya DNA dan karakter. Kecuali, sekali lagi, kalau Gayus sudah “menyuap” akal sehat kita juga! Ha ha... :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar