Gayus memang fenomenal. Sejak kemunculannya di media sebagai mafia pajak
dan hukum, Gayus Tambunan memunculkan kehebohan. Dagelan Gayus nan
jayus paling anyar adalah saat Gayus ketangkap kamera saat menonton
pertandingan tenis di Bali. Padahal status dia masih
penghuni rumah tahanan. Ia berkongkalingkong dengan (baca: menyuap)
petugas rutan Brimob, Kelapa Dua, Depok sehingga leluasa plesir ke Bali
dan menonton tenis.
Nah,
skenario lucu muncul kemudian. Gayus membantah foto yang memakai wig
itu adalah dirinya. Muncullah di media berita foto “MIRIP” Gayus.
Fenomena “mirip” ini kembali latah seperti pada masa kasak-kusuk video
panas mirip artis beberapa bulan silam. Di sana, di sini, banyak orang
latah memakai kata “mirip” untuk setiap guyonan mereka.
Imajinasi saya jadi ngelantur. Seandainya Rene Descartes (1596-1650) masih hidup, mungkin ia akan berpikir ulang pada dalil filsafatnya yang fenomenal itu, cogito ergo sum—aku berpikir maka aku ada. Mungkin ia kembali meragukan dalilnya ketika membaca timeline Sujiwo Tejo (@sujiwotedjo) hari ini yang memplesetkan dalil filsafatnya itu menjadi “aku mirip maka aku ada.”
Tapi, kalau dipikir-pikir, baik Descartes maupun Sujiwo Tejo juga punya kemiripan (waduh, lagi-lagi pakai terminologi “mirip” :)). Dua-duanya meragukan dan justru karena meragukan, dua-duanya mau mengatakan keberadaan yang diragukan itu. So,
kalau begitu, pernyataan “aku mirip maka aku ada” mau mengatakan bahwa
“itu benar-benar aku karena aku mirip dengannya.” Nah, benar tho, jadi
kalau Gayus masih menampik dengan mengatakan “itu mirip aku” berarti itu
benar-benar Gayus! Kecuali kalau Gayus juga sudah “menyuap” akal sehat
kita! Ha ha... :)
DNA Merek
Lalu, apa hubungannya dengan marketing? Fenomena mirip ini sudah jamak di dunia bisnis dan marketing. Lihat saja di pasar. Banyak merek-merek kecil yang turut “mendompleng” dari merek-merek yang sudah tenar dan populer. Caranya gampang, dengan memakai nama merek maupun kemasan yang mirip-mirip dengan nama dan kemasan merek yang sudah tenar.
Mungkin
Anda juga pernah menemukan barang elektronik dengan merek Sunny.
Sekilas, kalau kita sedang tidak cermat, kita akan melihatnya sebagai
Sony. Ada lagi nama dan kemasan biskuit yang mirip Oreo, yakni Rodeo. Di
ranah pemaran, ada istilah marketing kamuflase—pemasaran dengan
mengedepankan kemiripan dengan merek pesaing, entah nama, warna, dan
kemasan. Taksi biru, misalnya, selalu identik dengan Blue Bird. Tapi, di
jalanan, banyak orang yang terkecoh karena banyak taksi warna biru yang
ternyata bukan Blue Bird. Masih banyak contoh lain yang bisa kita
temukan di kategori produk lainnya seperti bumbu masak, mie instan,
kopi, dan sebagainya.
Soal
“mirip” di dunia bisnis bisa juga menjadi sengketa yang berujung hukum.
PT Forisa Nusapersada, misalnya, pernah melempar gugatan ke pengadilan
PT Garudafood Indonesia. Pasalnya, PT Forisa Nusapersada
menemukan merek Forisa terdaftar milik Garudafood. Lalu, Oktober silam,
Facebook pernah menggugat di pengadilan Distrik Amerika Faceporn dengan
tuduhan pelanggaran merek dagang.
Bahkan,
nama yang mirip dengan nama produk kendati itu tidak punya relasi
kompetisi bisnis pun bisa digugat. Masih ingat kasus blogger Sony
Arianto Kurniawan alias Sony AK pernah digugat secara hukum oleh Sony
Corporation di Jepang karena kesamaan namanya dengan raksasa elektronik
asal Jepang itu—khususnya nama Sony AK menjadi nama domain blognya www.sony-ak.com. Setelah dibela besar-besaran oleh blogger Indonesia, gugatan pada Sony AK ini pun berakhir damai. Wah!
Di era New Wave ini, “hukum Gayus” alias model mirip-miripan seperti ini sudah tidak relevan lagi. Selain karena masyarakat lebih
cerdas dan tidak mudah dibohongi, mirip-miripan ini malah berpotensi
menjadi bahan olok-olok saja—selain tentu berpotensi masalah hukum.
Pada
era serba horisontal dan serba transparan ini, justru merek harus bisa
tampil beda. Berbeda di sini tak sekadar diferensiasi, tapi lebih dalam
dari itu, yakni kodifikasi. Merek harus mempunyai DNA seperti halnya
manusia yang menjadi ciri hakiki yang tidak bisa ditiru oleh siapa pun.
Diferensiasi di era New Wave kudu benar-benar otentik. DNA merek inilah
yang dicari konsumen. Pelanggan pada akhirnya akan melihat sejauh mana
keotentikan sebuah merek, produk, maupun perusahaan. Nah, bila suatu
saat pelanggan memersepsi apa yang disuguhkan marketer sebagai tiruan
maupun palsu, marketer akan kehilangan kredibilitas dan bahkan
pelanggannya. DNA ini yang membuat merek juga tidak bisa dipalsukan dan
ditiru.
Saya masih teringat pesan Hermawan Kartajaya di depan putri-putri pariwisata. “Kita tidak perlu menjadi the best in everything, tapi perlu menonjolkan apa yang berbeda dari kita,” kata dia.
Nah, di zaman New Wave Marketing, “Hukum Gayus” tidak berlaku lagi. Toh, dunia akan memandang dan menghormati kita (baca: merek) ketika merek itu punya DNA dan karakter. Kecuali, sekali lagi, kalau Gayus sudah “menyuap” akal sehat kita juga! Ha ha... :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar