Saya mau melanjutkan tulisan saya berjudul “Hidup Bersama NetTerrorist.”
Kali ini, saya mau memfokuskan pada bagaimana menanggapi serangan para
UNYU kelas berat ini. Khususnya, apa yang sebaiknya dilakukan merek bila
menghadapi ‘teror digital’ tersebut.
Masih ingat UNYU? UNYU adalah singkatan dari Ulah Netizen Yang Usil. Istilah ini digulirkan secara informal oleh Blogger Ndoro Kakung (@ndorokakung) dan latah dipakai di kalangan netter. :) :)
Black campaign sudah jamak terjadi, baik di dunia nyata maupun dunia digital. Black campaign biasanya disengaja dengan tujuan menjelek-jelekkan citra pihak kompetitor. Tapi, tidak semua teror digital datang dari kompetitor. Bisa jadi, teror datang dari pelanggan yang kesal atau sakit hati karena tidak mendapatkan apa yang ia butuhkan dari merek itu, entah produk, servis, dan sebagainya. Lalu, ia menumpahkan kekesalannya dengan bertindak sebagai UNYU.
Saya ambil contoh Teh Botol Sosro. Teh Botol Sosro pernah menghadapi kasus hoax di internet dengan tuduhan mengandung zat berbahaya. Berita geger di internet ini ditengarai berasal dari milis tertutup periklanan Indonesia yang kemudian bocor keluar. Hoax ini sempat menghasilkan pergunjingan di khalayak luas. Mau tidak mau, manajemen Teh Botol Sosro segera bertindak meski tidak gegabah. Akhirnya, terbukti tuduhan tadi cuma hoax. Lalu, Teh Botol Sosro secara resmi mengumumkan klarifikasi. Si penyebar hoax pun kemudian minta maaf dan mengumumkan duduk perkaranya di blognya. Hoax pun selesai.
Menghadapi para teroris digital memang tidak perlu gegabah. Di era New Wave ini, di mana isu mudah tersebar dalam percakapan antarwarga, marketer perlu turut nyemplung dalam percakapan itu. Lalu memasang telinga dan hati lebar-lebar agar kalau ada desas-desus di ruang percakapan itu, segera bisa bertindak cepat dan tepat. Bila ada serangan kepada merek, pemilik merek tidak usah buru-buru membela diri. Pelajari duduk perkaranya dengan baik-baik, lakukan investigasi secukupnya, dan yang tak kalah penting lakukan klarifikasi.
Klarifikasi ini penting di era horisontal di mana konsumen semakin kuat, semakin komunal, dan saling terhubung dan bercakap-cakap di media sosial. Dulu, konsep positioning sarat dengan aktivitas yang company-driven. Di sini, perusahaan berupaya membangun persepsi untuk merasuki benak konsumen. Nah, beda di era sekarang! Perusahaan tidak bisa memegang kendali mereknya. Konsumen dengan bebas mempersepsikan merek itu. Persepsinya pun bisa beragam, dari yang sepele sampai liar.
Nah, merek yang mungkin dipertanyakan dan didesas-desuskan secara negatif dalam percakapan di media sosial, kudu berani melakukan KLARIFIKASI di komunitas percakapan itu. Tentunya, bukan dengan pongah dan membela diri. Tapi, klarifikasi dengan spirit egaliter. Menghadapi “teror-teror” digital macam ini selain membutuhkan kesabaran juga butuh cara-cara elegan agar tidak kontraproduktif. Serangan ini bisa dikelola agar yang tadinya benci justru berubah menjadi simpati. Ini kuncinya!
Sebab itu, marketer kudu jeli benar memandang persoalan. Bisa jadi, UNYU-UNYU ini berasal dari pelanggan loyal kita. Katakanlah, usil tanda sayang! :)
So, gak perlu minta bantuan Densus 88 untuk menghadapi serangan teroris ini, kan? Hu hu... :)
Sumber ilustrasi: http://www.chinahearsay.com
Masih ingat UNYU? UNYU adalah singkatan dari Ulah Netizen Yang Usil. Istilah ini digulirkan secara informal oleh Blogger Ndoro Kakung (@ndorokakung) dan latah dipakai di kalangan netter. :) :)
Black campaign sudah jamak terjadi, baik di dunia nyata maupun dunia digital. Black campaign biasanya disengaja dengan tujuan menjelek-jelekkan citra pihak kompetitor. Tapi, tidak semua teror digital datang dari kompetitor. Bisa jadi, teror datang dari pelanggan yang kesal atau sakit hati karena tidak mendapatkan apa yang ia butuhkan dari merek itu, entah produk, servis, dan sebagainya. Lalu, ia menumpahkan kekesalannya dengan bertindak sebagai UNYU.
Saya ambil contoh Teh Botol Sosro. Teh Botol Sosro pernah menghadapi kasus hoax di internet dengan tuduhan mengandung zat berbahaya. Berita geger di internet ini ditengarai berasal dari milis tertutup periklanan Indonesia yang kemudian bocor keluar. Hoax ini sempat menghasilkan pergunjingan di khalayak luas. Mau tidak mau, manajemen Teh Botol Sosro segera bertindak meski tidak gegabah. Akhirnya, terbukti tuduhan tadi cuma hoax. Lalu, Teh Botol Sosro secara resmi mengumumkan klarifikasi. Si penyebar hoax pun kemudian minta maaf dan mengumumkan duduk perkaranya di blognya. Hoax pun selesai.
Menghadapi para teroris digital memang tidak perlu gegabah. Di era New Wave ini, di mana isu mudah tersebar dalam percakapan antarwarga, marketer perlu turut nyemplung dalam percakapan itu. Lalu memasang telinga dan hati lebar-lebar agar kalau ada desas-desus di ruang percakapan itu, segera bisa bertindak cepat dan tepat. Bila ada serangan kepada merek, pemilik merek tidak usah buru-buru membela diri. Pelajari duduk perkaranya dengan baik-baik, lakukan investigasi secukupnya, dan yang tak kalah penting lakukan klarifikasi.
Klarifikasi ini penting di era horisontal di mana konsumen semakin kuat, semakin komunal, dan saling terhubung dan bercakap-cakap di media sosial. Dulu, konsep positioning sarat dengan aktivitas yang company-driven. Di sini, perusahaan berupaya membangun persepsi untuk merasuki benak konsumen. Nah, beda di era sekarang! Perusahaan tidak bisa memegang kendali mereknya. Konsumen dengan bebas mempersepsikan merek itu. Persepsinya pun bisa beragam, dari yang sepele sampai liar.
Nah, merek yang mungkin dipertanyakan dan didesas-desuskan secara negatif dalam percakapan di media sosial, kudu berani melakukan KLARIFIKASI di komunitas percakapan itu. Tentunya, bukan dengan pongah dan membela diri. Tapi, klarifikasi dengan spirit egaliter. Menghadapi “teror-teror” digital macam ini selain membutuhkan kesabaran juga butuh cara-cara elegan agar tidak kontraproduktif. Serangan ini bisa dikelola agar yang tadinya benci justru berubah menjadi simpati. Ini kuncinya!
Sebab itu, marketer kudu jeli benar memandang persoalan. Bisa jadi, UNYU-UNYU ini berasal dari pelanggan loyal kita. Katakanlah, usil tanda sayang! :)
So, gak perlu minta bantuan Densus 88 untuk menghadapi serangan teroris ini, kan? Hu hu... :)
Sumber ilustrasi: http://www.chinahearsay.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar