Artikel ini diambil dari buku Grow With Character, the Story karangan Hermawan Kartajaya. Buku ini merupakan antologi tulisan-tulisan Hermawan di koran Jawa Pos.
Dari semua buku referensi perang, hanya ada strategi dan taktik. Pada umumnya, para pemikir mengatakan bahwa strategi lebih penting daripada taktik. Tentukan strateginya dulu, baru taktik. Jangan dibalik, katanya.
Tapi, pada awal 1990-an, ketika saya mulai merumuskan Sembilan Elemen Pemasaran sebagai competitive strategy, ada sebuah buku kontroversial! Siapa lagi kalau bukan Al Ries dan Jack Trout, penulisnya. Judulnya Bottom Up Marketing.
Di buku itu dikemukakan contoh bagaimana Domino Pizza "gagal" menetapkan strategi Thirty Minutes or Free! Pizza dikirim dalam waktu 30 menit sesudah ada order via telepon atau free! Kenapa Domino sampai nekat seperti itu? Ya, karena Pizza Hut sudah terlalu kuat! Sudah dianggap top of mind Pizza Resto, juga sudah dianggap pizza paling lezat taste-nya.
Walaupun Domino bisa bikin pizza yang lebih enak, gak akan dipercaya orang. Tapi, orang harus menunggu cukup lama di Pizza Hut Resto. Karena itu, Domino Pizza memutuskan suatu positioning sebagai Pizza Home Delivery pertama di Amerika. Mendadak saja, sambutan luar biasa!
Inilah rupanya anxiety and desire orang, memimpikan Fast Pizza Home Delivery! Tapi, ketika banyak pesanan, banyak yang dapat free karena telat datangnya. Domino rugi besar, sudah free, customer kecewa! Sebuah positioning "kosong" kata mereka. Selain itu, banyak mobil Domino Pizza yang nabrak orang karena "bergegas" supaya tidak telat.
Sebuah strategi yang bagus, tapi tidak diperhitungkan taktiknya lebih dahulu. Mestinya, ada pembatasan "order area", juga harus diperhitungkan mesti berapa banyak konter pembuatan dan pengiriman. Selain itu, berapa kendaraan pengiriman yang dibutuhkan.
Kata Al Ries dan Jack Trout, semua taktik tersebut mesti diberesin dulu, baru menetapkan strategi seperti itu. Maka, mereka sebut bukunya sebagai Bottom Up Marketing. Sebuah pemikiran menarik, tapi saya menggolongkan pekerjaan membuat sistem operasional itu sebagai diferensiasi yang ada di kelompok taktik pemasaran atau DMS! Dan, saya tidak meletakkan taktik lebih penting daripada strategi atau sebaliknya, melainkan sejajar!
Dalam menentukan STP atau strategi pemasaran, Anda harus memperhatikan DMS yang "sudah" atau "akan" Anda rancang! Tapi, di samping strategi dan taktik, waktu itu para ahli mulai bicara tentang value-creation!
Di dalam the real warfare, yang ada cuma penghancuran nilai atau value-destruction. Tapi, di dalam the marketing warfare, harus ada value-creation atau penciptaan nilai untuk customer. Tanpa itu, sebuah perang pemasaran hanya akan menghasilkan lose-lose-lose situation. Artinya? Kedua pihak yang "berperang" dan pelanggan akan sama sama rugi! Atas dasar pemikiran itulah, saya merancang dimensi ketiga dalam Model Sembilan Elemen saya, yaitu value atau nilai. Artinya, apa pun strategi dan taktik yang akan dipilih, haruslah ada value yang tercipta!
Bagi orang produksi atau operasional, sebuah proses yang baik akan "menciptakan" nilai untuk produk output-nya. Yang buruk akan "menghancurkan" nilai. Bagi orang marketing, proses harus menghasilkan servis yang memuaskan para customer!
Ketika itu, saya juga sangat terinspirasi oleh sebuah One Week Workshop di Wharton School yang berjudul Reengineering Process for Customer Satisfaction. Setelah seminggu di situ, saya jadi sadar "korelasi" antara proses dan servis. Kalau keduanya dilakukan dengan baik, akan berujung pada tingginya Brand Equity!
Brand itu kayak aset kata David Aaker dalam bukunya Building Brand Equity. Punya value yang bisa diukur jadi nilai uang. Ujung-ujungnya, kalau makin banyak customer yang loyal pada sebuah brand, artinya value brand itu makin tinggi.
Saya juga sangat yakin yang membuat marketing itu beda dari ekonomi ya brand itu. Tanpa brand, sebuah produk hanya komoditas biasa dan price taker. Kalau brand-nya kuat, sebuah produk jadi branded good, walaupun bukan LV, Armani, dan sebagainya. Bisa jadi price maker!
Itulah yang semakin membulatkan saya untuk mengelompokkan brand, service, dan process jadi value. Jadilah BSP jadi dimensi value! Harus BSP bukan PSB karena buat orang marketing, walaupun "ujung", brand adalah yang paling penting.
Selain itu, ada korelasi yang sangat kuat antara P (Postioning) di strategy, D ( differentiation) di tactic, dan B (Brand) di value. Kalau dirangkai, jadi konsep PDB yang sangat terkenal itu.
Lengkaplah sudah "kelahiran" sembilan elemen yang saya ceritakan sebagai bidan dengan dibantu Sonni, Agus Giri, dan Hartono Anwar sebagai "pembantu bidan" pada 1993.
Dan ketika dimensi itu saya gambar, ada tiga bulatan dengan isi tiga elemen di masing-masing bulatan tersebut. Itu menunjukkan bahwa tiga dimensi tersebut "setingkat". Kalau Anda beruntung, masih bisa mendapatkannya di toko buku, judul langka seperti Marketing Plus 2000 atau MarkPlus on Strategy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar