Dalam obrolan keseharian, sering terlontar pertanyaan: mana yang terbaik, iPad atau Samsung Galaxy? BlackBerry atau iPhone? Kancah kompetisi selama ini latah dipahami bahwa "menjadi yang terbaik" adalah puncak kemenangan. Bahkan, kompetisi lalu dipersempit menjadi upaya saling menjadi yang terbaik (being the best).
Guru Bisnis Michael Porter seperti dikutip Harvard Business Review (HBR) mengatakan bila Anda ingin menang, menjadi yang terbaik adalah cara salah dalam berkompetisi. Masalah pertama yang diusung Porter dalam cara pandang kompetisi sebagai menjadi yang terbaik adalah para kenyataanya dalam banyak bisnis, tidak ada yang benar-benar menjadi yang terbaik (the best).
Joan Magretta, kolumnis HBR, memberi contoh soal kursi di ruang tunggu bandara. Mungkin Anda bisa membanding-bandingkan kursi mana yang paling baik di antara sejumlah bandara dengan standar khusus. Joan menandaskan cara pandang demikian sebagai cara pandang salah. Alasannya, kursi bandar tentu dibuat sedemikian rupa untuk kebutuhan tertentu. Dan, tidak semua bandara memiliki kebutuhan yang sama.
Hal yang sama juga berlaku untuk industri lain. Hotel terbaik bagi satu pelanggan, bukanlah yang terbaik untuk pelanggan lain. Percakapan terbaik seorang salesman bagi seorang pelanggan, bukan yang terbaik untuk pelanggan lain. Sebab itu, tidak ada mobil terbaik. Tidak ada museum terbaik. Tidak ada kampanye lingkungan terbaik. Cara pandang ini bisa jadi kurang lazim di telinga yang biasa menganggap kompetisi sebagai arena perebutan posisi yang terbaik.
Memang, di dalam perang, hanya ada satu pemenang dan yang lain adalah pecundang. Tapi, tidak demikian di dalam bisnis. WalMart bisa bersaing dengan Target, tapi juga bisa bekerjasama. Masing-masing menawarkan nilai yang berbeda kepada pelanggannya. Di dalam pertandingan olahraga, hanya ada satu pemenang terbaik. Tidak demikian di dalam bisnis.
Lalu, pertanyaannya adalah kompetisi yang seperti apa? Porter memberikan prespektif lain tentang kompetisi, yakni berjuang untuk menjadi unik. Mirip pesan utama dari Jack Trout, berbeda atau mati. Porter menyarankan agar perusahaan bisa memfokuskan diri pada inovasi untuk menciptakan nilai superior bagi pelanggan terpilih. Tidak melakukan imitasi atau meniru dari para pesaingnya. Memberikan pelanggan pilihan dan harga nyata, sambung Porter, menjadi salah satu variabel kompetitif.
Mungkin analogi pertunjukan seni cukup pas untuk menerangkan kompetisi model ini ketimbang dengan analog perang atau olahraga. Di dalam pertunjukan seni, misalnya, ada banyak penyanyi bagus. Masing-masing penyanyi memiliki keunikan dan fansnya sendiri. Para "pelanggan" pun berkembang besar seturut dengan kebutuhan lagu masing-masing. Bisnis yang demikian akan memberikan nilai beragam pada pelanggan yang mana pelanggan bisa mendapatkan pilihan nyata.
Hal yang sama juga dilontarkan oleh pakar pemasaran Hermawan Kartajaya, yakni lebih baik berbeda sedikit daripada lebih unggul sedikit. Keunikan menjadi penting dalam pemasaran. Sebab itu, produk maupun merek harus bisa merumuskan apa yang menjadi positinoning-differentiation-branding masing-masing.
Sebab itu, sekarang adalah eranya untuk mengakhiri kompetisi untuk menjadi yang terbaik, tapi berkompetisi untuk menjadi unik dan beda dengan yang lain.
Compete to be unique, not the best!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar