Ketika membahas kata
"pemasaran" dan "perubahan", kita barangkali akan merujuk pada konsep
Social Marketing, sebuah pendekatan pemasaran untuk institusi nonprofit
yang mengemban misi untuk menciptakan perubahan masyarakat.
Tapi tulisan ini bukan tentang Social Marketing, ini masih tentang pemasaran di dunia komersial (bisnis).
Tulisan ini akan saya awali dengan ulasan mengenai sebuah kritik yang telah berusia 40 tahun. Bulan September 1970, seorang ekonom kondang penerima Nobel membuat sebuah tulisan yang menggemparkan di The New York Times. Milton Friedman, sang ekonom, dengan lugas menyatakan bahwa “the social responsibility of business is to increase its profits”.
Tulisan tersebut merupakan kritikan terhadap konsep corporate social responsibility yang mulai naik daun saat itu. Menurut Friedman, saat pelaku bisnis (dalam hal ini para eksekutif perusahaan) melakukan aktifitas sosial dengan dana perusahaan, saat itulah mereka rawan terjerumus dalam 3 “dosa bisnis”.
“Dosa” pertama kepada para pemegang saham, karena para eksekutif ini telah menggunakan uang perusahaan untuk suatu hal yang ada di luar kontrak kerja mereka. Menurut Friedman, para eksekutif ini di bayar untuk mengelola sebuah perusahaan, bukan yayasan.
“Dosa” kedua kepada para pelanggan, karena program-program CSR akan berakibat pada melonjaknya cost perusahaan. Efek selanjutnya, harga produk/jasa yang dihasilkan ikut naik pula. Dan “dosa” ketiga kepada para karyawan, karena biaya-biaya tambahan yang dikeluarkan lewat CSR berpotensi untuk mengganjal kenaikan gaji mereka.
Pendapat Friedman di atas dilandasi oleh satu asumsi dasar: economic objectives dan social objectives ibarat air dan minyak yang tak bisa disatukan. Konsekuensinya jelas, setiap pengeluaran perusahaan untuk program-program sosial masuk kategori cost yang ujung pangkalnya diasumsikan tidak berkontribusi terhadap laba.
Asumsi inilah yang lalu dikritik oleh begawan strategi Michael Porter. Dalam artikelnya di Harvard Business Review edisi Desember 2002, Porter menegaskan bahwa perusahaan bisa mendapatkan competitive advantage dari aktifitas filantropi yang dilakukannya.
Melalui pogram corporate philantrophy akan terbangun lingkungan bisnis lokal yang mampu menunjang produktifitas perusahaan (competitive comtext). Bahkan Porter berani menyimpulkan bahwa filantropi adalah cara yang paling cost-effective untuk menciptakan competitive context tersebut.
Pendapat senada nampaknya bukan hal baru lagi saat ini. Mulai banyak hasil riset yang menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki kepedulian terhadap masalah sosial justru bisa mendapatkan manfaat ekonomi yang lebih besar. Mengutip kata-kata Bill Gates, “they can do good and do well at the same time”.
Inilah era baru pemasaran yang kami sebut marketing 3.0.
Namun, konsep marketing 3.0 bukanlah “philantrophy as usual”. Ini bukan sekedar himbauan bagi perusahaan agar menjadi lebih dermawan. Ini adalah tentang bisnis yang menawarkan spirit baru bagi pelanggan: perubahan!
Dalam marketing 3.0, misi sosial bukan sekedar aksesoris untuk mempercantik citra perusahaan, namun benar-benar menyatu dalam business model yang digunakan.
Tapi, akankah business model semacam ini bisa sustainable? Dalam bahasa yang lebih sederhana, bisakah para marketer mendapatkan laba, misalnya, sambil membantu kaum papa meningkatkan taraf hidupnya?
Dilihat dari perspektif bisnis, masyarakat yang hidup di dasar piramida pendapatan sebenarnya memiliki daya beli yang secara akumulatif luar biasa. Sebuah studi mengungkap bahwa 2/3 bagian dari populasi termiskin di dunia ini memiliki daya beli sebesar $5 triliun!
Masalahnya, para pelaku bisnis belum benar-benar serius mempelajari kebutuhan mereka. Akibatnya, seringkali perusahaan menawarkan sesuatu yang tidak pas dengan kebutuhan dan kemampuan mereka. Di sinilah kreatifitas mutlak diperlukan.
Tahun 2000 Vodafone melakukan penetrasi ke Kenya yang diprediksi memiliki potensi 400.000 pelanggan. Delapan tahun kemudian, melalui perusahaan lokal bernama Safaricom, Vodafone berhasil mendapatkan 10 juta pelanggan! Angka ini diperoleh melalui strategi kreatif mereka dalam membidik masyarakat kelas bawah. Salah satu inisiatif yang dilakukan adalah dengan menetapkan tarif per detik, bukan per menit. Sesuatu yang biasa bagi kita saat ini, tapi ternyata memiliki efek luar biasa di sana.
Hasilnya, para petani kecil jadi bisa mengakses informasi harga di area sekitar mereka. Inovasi-inovasi kecil berbasis teknologi pun bermunculan untuk meningkatkan roda perekonomian di dasar piramida. Dan yang pasti, Safaricom tetap membukukan laba, dengan jumlah tak kecil tentunya.
Di era new wave, marketing 3.0 akan semakin elegan jika bisa dilakukan melalui kolaborasi dengan pelanggan. Hindustan Lever, sebuah perusahaan FMCG di India, meraih sukses dengan melibatkan komunitas wanita dhuafa sebagai armada penjualannya. Kesuksesan program bernama Project Shakti ini sampai ditulis secara khusus sebagai kasus oleh tim dari Harvard.
Jadi, melalui kreatifitas para marketer bisa menemukan pundi-pundi emas yang belum terjamah, sekaligus menyumbang peran untuk perbaikan hidup orang lain.
Permasalahannya, terkadang kita terlanjur menyerah sebelum berupaya; “Jika memang peluang bisnis semacam itu ada, orang lain pasti sudah terlebih dahulu melakukannya!”.
Sikap skeptis semacam ini mirip kisah guyonan tentang seorang ekonom dan temannya. Saat keduanya sedang bersama-sama menyusuri sebuah jalan, mendadak terlihat selembar uang 10 dollar tergeletak di tanah. Namun sang ekonom mencegah temannya yang hendak mengambil uang tersebut. Saat ditanya alasannya, dia menjawab dengan tegas, “Tak mungkin ada uang tergeletak di sana. Jika uang itu benar-benar ada, pasti orang lain sudah lebih dahulu menemukannya!”
Jadi benarkah dengan marketing kita bisa menciptakan perubahan? Jawabannya ada di tangan kita.
Tapi tulisan ini bukan tentang Social Marketing, ini masih tentang pemasaran di dunia komersial (bisnis).
Tulisan ini akan saya awali dengan ulasan mengenai sebuah kritik yang telah berusia 40 tahun. Bulan September 1970, seorang ekonom kondang penerima Nobel membuat sebuah tulisan yang menggemparkan di The New York Times. Milton Friedman, sang ekonom, dengan lugas menyatakan bahwa “the social responsibility of business is to increase its profits”.
Tulisan tersebut merupakan kritikan terhadap konsep corporate social responsibility yang mulai naik daun saat itu. Menurut Friedman, saat pelaku bisnis (dalam hal ini para eksekutif perusahaan) melakukan aktifitas sosial dengan dana perusahaan, saat itulah mereka rawan terjerumus dalam 3 “dosa bisnis”.
“Dosa” pertama kepada para pemegang saham, karena para eksekutif ini telah menggunakan uang perusahaan untuk suatu hal yang ada di luar kontrak kerja mereka. Menurut Friedman, para eksekutif ini di bayar untuk mengelola sebuah perusahaan, bukan yayasan.
“Dosa” kedua kepada para pelanggan, karena program-program CSR akan berakibat pada melonjaknya cost perusahaan. Efek selanjutnya, harga produk/jasa yang dihasilkan ikut naik pula. Dan “dosa” ketiga kepada para karyawan, karena biaya-biaya tambahan yang dikeluarkan lewat CSR berpotensi untuk mengganjal kenaikan gaji mereka.
Pendapat Friedman di atas dilandasi oleh satu asumsi dasar: economic objectives dan social objectives ibarat air dan minyak yang tak bisa disatukan. Konsekuensinya jelas, setiap pengeluaran perusahaan untuk program-program sosial masuk kategori cost yang ujung pangkalnya diasumsikan tidak berkontribusi terhadap laba.
Asumsi inilah yang lalu dikritik oleh begawan strategi Michael Porter. Dalam artikelnya di Harvard Business Review edisi Desember 2002, Porter menegaskan bahwa perusahaan bisa mendapatkan competitive advantage dari aktifitas filantropi yang dilakukannya.
Melalui pogram corporate philantrophy akan terbangun lingkungan bisnis lokal yang mampu menunjang produktifitas perusahaan (competitive comtext). Bahkan Porter berani menyimpulkan bahwa filantropi adalah cara yang paling cost-effective untuk menciptakan competitive context tersebut.
Pendapat senada nampaknya bukan hal baru lagi saat ini. Mulai banyak hasil riset yang menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki kepedulian terhadap masalah sosial justru bisa mendapatkan manfaat ekonomi yang lebih besar. Mengutip kata-kata Bill Gates, “they can do good and do well at the same time”.
Inilah era baru pemasaran yang kami sebut marketing 3.0.
Namun, konsep marketing 3.0 bukanlah “philantrophy as usual”. Ini bukan sekedar himbauan bagi perusahaan agar menjadi lebih dermawan. Ini adalah tentang bisnis yang menawarkan spirit baru bagi pelanggan: perubahan!
Dalam marketing 3.0, misi sosial bukan sekedar aksesoris untuk mempercantik citra perusahaan, namun benar-benar menyatu dalam business model yang digunakan.
Tapi, akankah business model semacam ini bisa sustainable? Dalam bahasa yang lebih sederhana, bisakah para marketer mendapatkan laba, misalnya, sambil membantu kaum papa meningkatkan taraf hidupnya?
Dilihat dari perspektif bisnis, masyarakat yang hidup di dasar piramida pendapatan sebenarnya memiliki daya beli yang secara akumulatif luar biasa. Sebuah studi mengungkap bahwa 2/3 bagian dari populasi termiskin di dunia ini memiliki daya beli sebesar $5 triliun!
Masalahnya, para pelaku bisnis belum benar-benar serius mempelajari kebutuhan mereka. Akibatnya, seringkali perusahaan menawarkan sesuatu yang tidak pas dengan kebutuhan dan kemampuan mereka. Di sinilah kreatifitas mutlak diperlukan.
Tahun 2000 Vodafone melakukan penetrasi ke Kenya yang diprediksi memiliki potensi 400.000 pelanggan. Delapan tahun kemudian, melalui perusahaan lokal bernama Safaricom, Vodafone berhasil mendapatkan 10 juta pelanggan! Angka ini diperoleh melalui strategi kreatif mereka dalam membidik masyarakat kelas bawah. Salah satu inisiatif yang dilakukan adalah dengan menetapkan tarif per detik, bukan per menit. Sesuatu yang biasa bagi kita saat ini, tapi ternyata memiliki efek luar biasa di sana.
Hasilnya, para petani kecil jadi bisa mengakses informasi harga di area sekitar mereka. Inovasi-inovasi kecil berbasis teknologi pun bermunculan untuk meningkatkan roda perekonomian di dasar piramida. Dan yang pasti, Safaricom tetap membukukan laba, dengan jumlah tak kecil tentunya.
Di era new wave, marketing 3.0 akan semakin elegan jika bisa dilakukan melalui kolaborasi dengan pelanggan. Hindustan Lever, sebuah perusahaan FMCG di India, meraih sukses dengan melibatkan komunitas wanita dhuafa sebagai armada penjualannya. Kesuksesan program bernama Project Shakti ini sampai ditulis secara khusus sebagai kasus oleh tim dari Harvard.
Jadi, melalui kreatifitas para marketer bisa menemukan pundi-pundi emas yang belum terjamah, sekaligus menyumbang peran untuk perbaikan hidup orang lain.
Permasalahannya, terkadang kita terlanjur menyerah sebelum berupaya; “Jika memang peluang bisnis semacam itu ada, orang lain pasti sudah terlebih dahulu melakukannya!”.
Sikap skeptis semacam ini mirip kisah guyonan tentang seorang ekonom dan temannya. Saat keduanya sedang bersama-sama menyusuri sebuah jalan, mendadak terlihat selembar uang 10 dollar tergeletak di tanah. Namun sang ekonom mencegah temannya yang hendak mengambil uang tersebut. Saat ditanya alasannya, dia menjawab dengan tegas, “Tak mungkin ada uang tergeletak di sana. Jika uang itu benar-benar ada, pasti orang lain sudah lebih dahulu menemukannya!”
Jadi benarkah dengan marketing kita bisa menciptakan perubahan? Jawabannya ada di tangan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar