Mari bernostalgia sejenak ke masa-masa Orde Baru. Adakah di antara kita
yang belum pernah merasakan pengalaman ini: duduk berjam-jam selama
beberapa hari, mencoba menangkap uraian pembicara yang monoton di
sela-sela kantuk, sambil sesekali membetulkan name tag yang di sudut
atasnya tercetak kata ”Penataran P4” dengan huruf tebal? Saya kira semua
pernah.
Itulah salah satu program andalan Orde Baru yang ditujukan untuk menyosialisasikan dan menginternalisasikan national values ala penguasa saat itu. Dengan gaya yang sangat-sangat vertikal, yang terasa akhirnya bukan sebuah proses internalisasi, tapi indoktrinasi.
Begitulah gambaran proses pembelajaran di sebuah negeri yang belum mempraktekkan marketing dalam arti yang sesungguhnya (”pseudo marketing”).
Pelatihan memang telah menjadi sebuah channel yang lazim digunakan oleh perusahaan untuk melakukan sosialisasi dan internalisasi values kepada seluruh karyawannya, baik langsung dilakukan oleh perusahaan atau dengan bantuan konsultan. Dikombinasikan dengan system dan leadership yang tepat, pelatihan yang efektif diharapkan akan menjadi –meminjam istilah Malcolm Gladwell- tipping point bagi perubahan behavior karyawan sesuai dengan values yang ditetapkan.
Pertanyaannya, seperti apakah pelatihan yang efektif dalam konteks values socialization and internalization itu?
Inilah tantangan yang baru-baru ini dihadapi oleh MarkPlus Institute of Marketing (MIM). Sukses membantu proses penyusunan values bagi tim corporate sales sebuah perusahaan telekomunikasi papan atas, MIM selanjutnya diminta untuk mendesain program pelatihan sebagai sarana sosialisasi dan internalisasi values tersebut. Sebagai ”orang luar”, tentu tak mudah mengajarkan prinsip-prinsip baru yang nantinya harus menjadi spirit peserta dalam pekerjaan sehari-harinya.
Dengan pendekatan horizontal teaching yang telah mulai diadopsi oleh MIM, disusunlah syllabus pelatihan dengan porsi presentasi materi yang minim. Selebihnya, facilitator bertugas memfasilitasi berbagai case study, group discussion, tools simulation, serta business game yang learning point-nya telah dirancang agar sesuai dengan values perusahaan. Hasilnya, pelatihan selama 4 hari tidak lagi menjadi ajang ”indoktrinasi” yang membosankan dan melelahkan.
Dasar pemikirannya sebenarnya sederhana: biarkan peserta ”menemukan” sendiri values-nya. Dari pengalaman kami, mengajarkan values menuntut kita untuk memberikan porsi lebih banyak pada aspek ”why”. Artinya, pelatihan harus bisa meyakinkan peserta kenapa mereka perlu mengimplementasikan values tersebut dalam pekerjaan sehari-hari.
Maka selama pelatihan peserta dilibatkan dalam aktivitas-aktivitas yang akan membantu mereka mengambil kesimpulan secara mandiri atas pentingnya values yang ditetapkan. Tantangan terbesarnya, fasilitator harus bisa berperan sebagai pemandu agar ”rute” menuju learning point yang telah ditetapkan benar-benar tercapai. Inilah experiential class.
Metode serupa diterapkan juga di Harvard Business School untuk kelas The Moral Leader. Program yang menarik dengan pendekatan pengajaran yang unik. Di program ini peserta mempelajari etika-etika dalam berbisnis. Namun Anda jangan membayangkan sebuah kelas dengan sosok seorang profesor tua yang arif bijaksana sedang berceramah tentang "dos and donts" di hadapan mahasiswa-mahasiswa yang takzim mendengarkan.
Peserta belajar dengan cara memainkan tokoh di dalam sebuah novel/cerita fiksi untuk kemudian mendiskusikan bersama pesan-pesan moral yang ada di dalamnya.
Menarik bukan?
Kita bisa membayangkan kelas yang experiential layaknya sebatang pohon apel atau sebuah bak mandi ”ajaib”. ”Keajaiban” itu terjadi ketika pohon apel bisa menjadi sumber inspirasi bagi Isaac Newton untuk menemukan teori gravitasinya yang terkenal, menghantarkannya di posisi kedua dalam daftar The Most Influential Persons in History oleh Michael H. Hart's.
”Keajaiban” yang juga terjadi ketika melalui air yang meluap di bak mandinya, Archimedes akhirnya bisa berteriak lantang penuh kegembiraan: Eureka!
Itulah salah satu program andalan Orde Baru yang ditujukan untuk menyosialisasikan dan menginternalisasikan national values ala penguasa saat itu. Dengan gaya yang sangat-sangat vertikal, yang terasa akhirnya bukan sebuah proses internalisasi, tapi indoktrinasi.
Begitulah gambaran proses pembelajaran di sebuah negeri yang belum mempraktekkan marketing dalam arti yang sesungguhnya (”pseudo marketing”).
Pelatihan memang telah menjadi sebuah channel yang lazim digunakan oleh perusahaan untuk melakukan sosialisasi dan internalisasi values kepada seluruh karyawannya, baik langsung dilakukan oleh perusahaan atau dengan bantuan konsultan. Dikombinasikan dengan system dan leadership yang tepat, pelatihan yang efektif diharapkan akan menjadi –meminjam istilah Malcolm Gladwell- tipping point bagi perubahan behavior karyawan sesuai dengan values yang ditetapkan.
Pertanyaannya, seperti apakah pelatihan yang efektif dalam konteks values socialization and internalization itu?
Inilah tantangan yang baru-baru ini dihadapi oleh MarkPlus Institute of Marketing (MIM). Sukses membantu proses penyusunan values bagi tim corporate sales sebuah perusahaan telekomunikasi papan atas, MIM selanjutnya diminta untuk mendesain program pelatihan sebagai sarana sosialisasi dan internalisasi values tersebut. Sebagai ”orang luar”, tentu tak mudah mengajarkan prinsip-prinsip baru yang nantinya harus menjadi spirit peserta dalam pekerjaan sehari-harinya.
Dengan pendekatan horizontal teaching yang telah mulai diadopsi oleh MIM, disusunlah syllabus pelatihan dengan porsi presentasi materi yang minim. Selebihnya, facilitator bertugas memfasilitasi berbagai case study, group discussion, tools simulation, serta business game yang learning point-nya telah dirancang agar sesuai dengan values perusahaan. Hasilnya, pelatihan selama 4 hari tidak lagi menjadi ajang ”indoktrinasi” yang membosankan dan melelahkan.
Dasar pemikirannya sebenarnya sederhana: biarkan peserta ”menemukan” sendiri values-nya. Dari pengalaman kami, mengajarkan values menuntut kita untuk memberikan porsi lebih banyak pada aspek ”why”. Artinya, pelatihan harus bisa meyakinkan peserta kenapa mereka perlu mengimplementasikan values tersebut dalam pekerjaan sehari-hari.
Maka selama pelatihan peserta dilibatkan dalam aktivitas-aktivitas yang akan membantu mereka mengambil kesimpulan secara mandiri atas pentingnya values yang ditetapkan. Tantangan terbesarnya, fasilitator harus bisa berperan sebagai pemandu agar ”rute” menuju learning point yang telah ditetapkan benar-benar tercapai. Inilah experiential class.
Metode serupa diterapkan juga di Harvard Business School untuk kelas The Moral Leader. Program yang menarik dengan pendekatan pengajaran yang unik. Di program ini peserta mempelajari etika-etika dalam berbisnis. Namun Anda jangan membayangkan sebuah kelas dengan sosok seorang profesor tua yang arif bijaksana sedang berceramah tentang "dos and donts" di hadapan mahasiswa-mahasiswa yang takzim mendengarkan.
Peserta belajar dengan cara memainkan tokoh di dalam sebuah novel/cerita fiksi untuk kemudian mendiskusikan bersama pesan-pesan moral yang ada di dalamnya.
Menarik bukan?
Kita bisa membayangkan kelas yang experiential layaknya sebatang pohon apel atau sebuah bak mandi ”ajaib”. ”Keajaiban” itu terjadi ketika pohon apel bisa menjadi sumber inspirasi bagi Isaac Newton untuk menemukan teori gravitasinya yang terkenal, menghantarkannya di posisi kedua dalam daftar The Most Influential Persons in History oleh Michael H. Hart's.
”Keajaiban” yang juga terjadi ketika melalui air yang meluap di bak mandinya, Archimedes akhirnya bisa berteriak lantang penuh kegembiraan: Eureka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar