Media sosial cukup mengambil peran dalam aktivitas marketing kontemporer. Maklum, teknologi telah mengubah pola komunikasi merek dengan pelanggannya. Problemnya yakni tidak mudah mengubah cara pandang perusahaan menanggapi kehadiran media anyar ini. Apalagi ketika perusahaan itu masih mempunyai struktur lawas sementara pasar sudah cukup horisontal di era New Wave Marketing ini.
Patrick
Spanner mengupas persoalan di atas di Harvard Business Review (HBR)
dalam artikel berjudul “Why You Need a New-Media “Ringmaster”.
Problemnya terletak pada struktur fungsi-fungsi dalam perusahaan yang
ketinggalan zaman dan terpecah-pecah. Banyak perusahaan yang memisahkan
peran komunikasi dan pembangna brand dalam berbagai fungsi berbeda.
Marketing communication, misalnya, terpisah dengan corporate
communication. Belum lagi dengan bagian customer service dan sebagainya.
Ketepecahan ini, kata Spanner, tidak cocok lagi di era konsumen yang hyperconnected.
Marketer di era sekarang kudu bisa mempunyai multitasking—kemampuan untuk mengelola berbagai aktivitas marketing secara integral. Spanner mengibaratkan seperti pemimpin sirkus. Ada tiga karakter utama dari analog pemimpin sirkus ini. Pertama, integrative thinking.
Marketer kudu bisa memahami teknologi (media sosial) sekaligus merek
dan komunikasinya. Bahkan, dia bisa mengkombinasikan yang lama dengan
yang baru untuk pencapaian merek. Kedua, mengkolaborasikan semua
kemampuan yang ada. Ketiga, bertindak cepat dan tidak terjebak pada
birokrasi yang bertele-tele.
Menurut saya,
strategi marketing di era New Wave ini memang kudu dibarengi dengan
perubahan perangkat perusahaan—alias kudu New Wave juga. Kalau cara
pandangnya baru, tapi strukturnya lama, hal ini tidak akan jalan. Ini
ibarat anggur baru dimasukkan kantong lama. Yang terjadi adalah anggur
itu akan mengoyak kantong itu dan tumpahlah anggur sia-sia. Sebab itu,
anggur baru kudu masuk di kantong baru. Strategi marketing New Wave juga
perlu didukung dengan sistem dan perangkat yang New Wave pula. Termasuk
ketika medianya sudah New Wave tapi cara pandangnya justru masih lawas
alias legacy.
Ada
beberapa contoh. Ada sebuah merek, misalnya, yang sudah nyemplung di
media sosial. Ia mencoba berkomunikasi dengan pelanggan maupun
simpatisan merek. Tapi, cara komunikasinya masih satu arah dan berpola
atas bawah. Sementara, komunikasi di media sosial itu lebih horisontal,
mengusung percapakan dua arah, berdiskusi, dan sebagainya. Bisa juga
program-program marketingnya cukup New Wave, tapi tidak didukung
perangkat perusahaan yang New Wave juga. Pelanggan yang ingin dilayani
secara cepat dan efektif, misalnya, tapi kenyataannya masih
berbelit-belit dan birokratis. Hal ini tentu tidak akan berkelanjutan di
era seperti ini.
Sebab
itu, strategi marketingnya harus integral mengingat pelanggan bisa ada
di mana-mana, berbincang-bincang di berbagai media sosial, saling
memengaruhi, saling ngerumpi soal merek dan produk, saling mencari
rekomendasi, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar