Senin, 04 Agustus 2014

Marketer yang Jenius

www.marketing.co.id – Sebagai pembicara seminar, saya sungguh menikmati membagikan konsep dari buku Marketing Genius karya Peter Fisk. Dalam pandangan saya, ini sebuah buku yang benar-benar ambisius, menyerap banyak konsep pemasaran modern dan mengajak setiap marketer untuk berpikir radikal dalam  melakukan inovasi bisnis.
Marketing Genius merujuk kepada perusahaan dan juga individu. Jadi, ada perusahaan yang memiliki organisasi yang jenius dalam marketing atau individu yang menduduki posisi puncak adalah marketer yang jenius. Ada kalanya, hanya diperlukan seorang jenius dalam marketing untuk melakukan perubahan besar bagi perusahaan. Marketing Genius dalam konteks perusahaan, sudah sempat saya tulis pada edisi beberapa bulan yang lalu. Untuk kali ini, saya tertarik untuk berbagi bagaimana marketer sebagai individu dapat menjadi jenius.
Seorang marketer yang jenius adalah yang mampu melihat kompleksitas bisnis hari ini, mampu melakukan perubahan bisnis sesuai dengan apa yang konsumen inginkan dan harapkan, mampu mencetak value bagi konsumen dan perusahaan dalam jangka pendek dan sekaligus terus-menerus mengembangkan value ini untuk jangka panjang. Yang penting, mereka melakukan dengan cara pintar tetapi sekaligus imajinatif. Inilah kata kunci jenius untuk seorang marketer, kombinasi antara pintar secara intelektual dan imajinatif.
Kita perlu pintar untuk mempelajari berbagai data dan fakta yang terjadi. Tetapi kita perlu imajinatif untuk menghasilkan ide-ide yang mampu menangkap peluang dengan melihat lebih dalam keinginan dari konsumen. Kita perlu pintar untuk melakukan analisis dan membandingkan serta melakukan perkiraan-perkiraan yang logis. Tetapi kita perlu imajinatif untuk menciptakan sesuatu yang kreatif dengan cara menghubungkan antara ide-ide dan segala kemungkinan yang dapat direbut secara visioner. Singkatnya, imajinasi inilah yang membuat kepintaran menjadi berlipat.
Marketer yang jenius mampu melihat sama seperti orang lain. Tetapi, mereka sering memiliki pikiran dan ide di mana banyak orang lain tidak pernah terpikirkan. Tidak mengherankan, salah satu kata kunci bagi marketer yang jenius adalah kemampuannya untuk selalu membuat perbedaan; ide yang berbeda, solusi yang berbeda dan sekaligus melakukan dengan cara yang berbeda dari kebanyakan marketer.
Kepintaran secara intelektual memang diperlukan tetapi tidak menjamin membuat marketer yang baik. Tidak mengherankan, dari pengalaman sebagai konsultan, bertemu dengan ribuan marketer setiap tahunnya dalam berbagai acara, saya melihat, banyak marketer handal adalah yang memiliki prestasi yang sedang saja saat mereka duduk di bangku sekolah. Ini menunjukkan bahwa faktor imajinasi, kadang-kadang lebih dominan dibandingkan dengan faktor intelektual.
Peter Fisk mengatakan bahwa marketer yang jenius perlu terus mengembangkan 10 atribut untuk menuju prestasi yang semakin tinggi. Pertama, mereka memiliki Original Thinking, yaitu pemikiran yang selalu open-minded. Mereka memiliki perspektif yang baru dan melihat solusi terhadap problem dengan cara yang berbeda. Tidak mengherankan, ide mereka sering ditolak oleh orang lain. Kalau seorang marketing manager mengusulkan sesuatu yang sudah ada di pasar, sudah pasti sangat logis dan mudah diterima. Kalau dia punya pendapat yang berbeda di mana banyak orang tidak bisa melihat, sangatlah normal bila kemudian banyak orang menolaknya. Jadi, seorang CEO haruslah melihat potensi bawahannya dengan baik. Justru yang sering memiliki ide-ide aneh, barangkali berpotensi untuk menjadi marketer yang jenius.
Kedua, marketer yang jenius adalah yang memiliki Creative Thinking. Mereka terbuka untuk semua kemungkinan. Mencari solusi dengan mengembangkan hipotesis dan membuat lompatan pemikiran untuk membuktikan bahwa hal ini terbukti benar atau tidak. Jadi, bukan hanya berhenti dengan ide-ide yang orisinal tetapi mau melihat berbagai kemungkinan.
Ketiga, seorang jenius haruslah memiliki Analytical Thinking. Walau mereka kreatif tetapi haruslah juga logis dalam kenyataannya. Jadi, mereka juga mengemukakan berbagai fakta yang logis, membuat kemajuan terhadap ide dan problem dengan cara yang analitik. Mereka menggugat asumsi-asumsi yang sudah sering digunakan dan mencari asumsi baru.
Keempat adalah Observational Thinking. Mereka memiliki kesadaran yang tinggi dengan apa yang sedang terjadi. Bukan hanya itu, mereka juga mencoba untuk melihat pola-pola dengan melakukan observasi bak seorang detektif. Saat mereka berbicara dengan konsumen dan supplier, mereka melakukan investigasi. Pertanyaan yang diajukan  bersifat ingin tahu dan kadang-kadang juga bertujuan menyelidik.
Kelima adalah Dual Thinking. Seorang marketer yang jenius, dapat berpikir secara paralel. Mereka memiliki toleransi tinggi terhadap hal-hal yang tidak jelas atau bahkan bertentangan. Tetapi mereka kadang-kadang bisa melihat dua hal yang bertentangan ini menjadi satu. Makanan yang sehat biasanya mahal. Tetapi jenius bisa menghubungkan dua hal yang bertentangan ini dengan mencari solusi bahwa yang sehat, ada juga yang murah.
Keenam adalah Holistic Thinking. Seorang marketer jenius memiliki perspektif yang luas. Mereka sanggup memadukan berbagai faktor yang mempengaruhi bisnis. Faktor ekonomi, faktor teknologi, regulasi, kompetisi dan dan faktor internal. Jadi, karena pandangan yang terintegrasi, maka semua problem dan kesempatan dapat disusun secara sistematis.
Ketujuh adalah Volume Thinking. Sejarah mencatat, bahwa marketer yang hebat seperti Steve Jobs, Bill Gates, Phil Knight, Jeff Bezos dan lain-lain, memiliki ide-ide yang sangat banyak. Memang, banyak orang yang cuma mengenal sedikit dari karya mereka. Sama seperti Einstein yang telah membuat 148 artikel, tetapi hanya 2 atau 3 saja yang sebagian besar orang tahu. Mozart sudah menulis 600 lagu dan hanya 10 saja yang banyak dikenal dan dimainkan. Edison, selama hidupnya, sudah membuat panel lebih dari 1.000 buah penemuan yang dipatenkan walau tidak lebih dari 100 yang kemudian berguna secara komersial. Oleh karena itu, seorang marketer haruslah mampu untuk terus-menerus mencari ide-ide baru, puluhan atau mungkin ratusan. Pada akhirnya, memang hanya 1-2 saja yang kemudian dapat membuat inovasi baru. Tapi ini sudah cukup membuat perubahan besar untuk perusahaan.
IKEA menjadi besar karena satu konsep, yaitu membuat produk furnitur knock-down. Ini ditemukan oleh Ingvar Kamprad saat dia melihat bahwa banyak konsumennya memiliki problem karena sulit memasukkan meja ke dalam mobil mereka. Bahkan ada yang rela mematahkan kakinya terlebih dahulu untuk kemudian disambung lagi.
Atribut kedelapan adalah Pragmatic Thinking. Marketer yang  jenius haruslah sadar bahwa teori dan konsep haruslah menjadi suatu kenyataan. Ide-ide yang abstrak haruslah dapat diwujudkan dan berguna bagi konsumennya. Ini menjadi tidak kombinasi yang tidak mudah. Mereka yang memiliki 7 atribut sebelumnya, seringkali berpikir visioner, jauh ke depan dan kreatif. Di sisi lain, mereka kemudian harus mampu juga untuk mencari pemikiran bagaimana semua ini dapat diwujudkan.
Kesembilan adalah Visual Thinking. Seorang marketer yang hebat, hendaklah mampu mengekspresikan ide-idenya secara jelas. Mereka dapat membuat diagram dan chart untuk menyederhanakan yang kompleks menjadi sederhana. Ini menunjukkan bahwa dia benar-benar memahami ide-idenya secara logis dan sistematis. Banyak marketer yang mampu menjelaskan sesuatu yang kompleks dengan cara yang kompleks, tetapi sedikit saja yang dapat membuat gambar dan diagram untuk membuat orang lain menjadi cepat mengerti.
Terakhir, adalah Conviction Thinking. Ini adalah sikap dan pemikiran bahwa marketer yang baik, haruslah memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan memiliki prinsip. Mereka tidak mudah goyah dengan pemikiran yang mencela dan mengkritik mereka.
Bila melihat kesepuluh atribut di atas, dapat dilihat bahwa marketer yang jenius akan menggunakan otak kiri dan otak kanannya. Bila hanya otak kiri yang digunakan, cenderung analitik, obyektif. Logis tetapi hanya linear saja pola berpikirnya. Mereka juga menggunakan otak kanan yang mampu membuat mereka berpikir lebih subyektif, holistik, imajinatif dan non-linear. Itulah sebabnya, mereka bisa berpikir lebih jauh dari kebanyakan marketer. Mereka dapat melihat kesempatan yang tidak dilihat oleh orang lain.
Howard Schultz, sosok yang mengembangkan Starbucks adalah marketer yang jenius.  Tahun 1983, saat mengunjungi Milan, Italia, dia melihat bahwa konsep kedai kopi ini sungguh unik dan dapat mendunia. Sebagai marketing director, dia berusaha untuk meyakinkan para shareholder-nya. Setelah bertahun-tahun, para shareholder itu justru memberi tawaran kepadanya untuk mengambil alih kepemilikan kafe Starbucks di tahun 1988. Akhirnya, setelah menjadi pengedali, Starbucks melesat cepat, bertambah sebanyak 100 outlet di tahun 1992. Pada 2004, sudah menjadi lebih dari 7.000 dan pada 2006, sudah tidak jauh dari 10.000 outlet.
Phil Knight adalah contoh marketer yang jenius, membangun Nike dari nol menjadi perusahaan yang berharga 12 miliar dolar. Tahun 1962, Phil adalah mahasiswa yang menyukai atletik. Namun karena prestasinya tidak cemerlang, maka dia lebih berkonsentrasi untuk menjadi penjual sepatu. Nike menjadi perusahaaan yang inovatif dengan berbagai desain dan fitur baru. Logo yang dibuat oleh kawannya dengan harga US$ 35, kemudian menjadi salah satu logo yang paling banyak dikenal di dunia. Demikian pula slogannya “just do it” telah menajdi slogan yang paling populer di dunia. Phil sangatlah imajinatif dalam merancang iklan. Keputusannya untuk menggunakan Michael Jordan adalah salah satu ide cemerlang yang membuat Nike melesat dan mengusai pangsa pasar yang besar, jauh meninggalkan pesaingnya.
Kedua tokoh ini hanyalah segelintir contoh marketer yang jenius. Mereka telah membuktikan diri sebagai marketer yang memiliki sebagian besar dari 10 atribut jenius.  Bagi para marketer Indonesia yang ingin menjadi jenius, 10 atribut tersebut layak  dijadikan acuan. Marketer jenius tidak dilahirkan, tetapi dapat diciptakan. Memang, ada pula banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ada peran gen yang membuat marketer memiliki talenta menuju jenius, tetapi lebih banyak yang sepakat bahwa tidak ada marketer yang dilahirkan jenius. Mereka belajar dan mengasah diri terus untuk menjadi marketer jenius. (Handi Irawan D.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar