Kamis, 03 Juli 2014

Belajar Tangani Krisis PR dari Perusahaan Global di China


Sumber: http://news.softpedia.com/
Peran Public Relations (PR) sangat penting dalam membangun komunikasi antara perusahaan dengan pemangku kepentingan bisnis lain, seperti konsumen. Tapi, tidak jarang, perang PR tidak jalan ketika terjadi kasus dan komplain dari pelanggan yang ujungnya menimbulkan apa yang dinamakan krisis PR. 
Dalam kasus komplain konsumen atau kejadian di mana perusahaan melakukan kesalahan, tugas utama PR adalah membangun pemulihan nama merek atau yang populer disebut dengan brand recovery. Salah satu kesalahan yang jamak dilakukan oleh PR ketika krisis tersebut terjadi adalah tidak melakukan apa-apa atau kalau pun melakukannya, hal tersebut berjalan dengan lamban. Kesalahan kedua yang jamak dilakukan oleh PR adalah buru-buru membela diri tanpa meminta maaf atas ketidaknyamanan dan tanpa memahami duduk persoalan secara menyeluruh dan bahkan tak jarang menyerang balik pada pihak-pihak yang mengkritik perusahaan. Akibatnya, tindakan PR ini justru kontraproduktif dengan fungsinya sebagai jembatan antara perusahaan dengan konsumennya.
Kasus di pasar China berikut ini menarik untuk disimak. Sepanjang tahun 2013, banyak kasus yang melibatkan perusahaan global di pasar China, terkait dengan standar kualitas produk, dugaan penyuapan, penarikan produk, kompetisi tak sehat, dan sebagainya. 
Kepolisian China, misalnya, pernah mendakwa GlaxoSmithKline yang telah menyuap doktor dan petugas kesehatan agar mau menjual obat-obatan produksinya.  Regulator China juga pernah memaksa Volkswagen untuk menarik kembali 384.000 kendaraannya setelah program TV pemerintah mengkritik VC tidak melakukan perlindungan konsumen terkait dengan komponen yang rusak di beberapa model kendaraannya.
Belum lama ini, CEO Apple Tim Cook meminta maaf kepada masyarakat konsumen di China dan berjanji mengubah kebijakan layanan pelanggan secara lokal. Permintaan maaf ini seperti halnya penarikan besar-besaran produk VW dilakukan setelah mendapat kritik keras dan massal di berbagai media, khususnya media milik pemerintah China.
Kasus menarik lainnya muncul pada Desember 2012. Kala itu, Kentucky Fried Chicken diprotes oleh masyarakat konsumen di China setelah TV milik pemerintah CCTV menuduh produsen ayam cepat saji tersebut menjual ayam yang telah diberi suntikan antibiotik dan hormon pertumbuhan.  Lalu, sebuah laporan CCTV lainnya pada Mei 2013 mengatakan bahwa minuman  es ringan di KFC terkontaminasi bakteri yang jumlahnya lebih banyak ketimbang air di toilet. Sontak, laporan tersebut membuat banyak konsumen di China menghindari makan di jaringan resto yang memiliki 4.400 gerai di negara tersebut.
Banyak analis mengatakan masalah KFC tersebut tidak akan membesar bila PR KFC bertugas dengan baik. Tak jarang, komunikasi yang macet membuat sebuah krisis akan membesar dengan tafsiran-tafsiran liar dari berbagai pihak. 
Berikut adalah beberapa panduan yang layak diperhatikan oleh tim PR ketika sedang mengalami krisi merek:
Pertama, bangun strategi penanganan krisis di  media sosial. 
Media sosial, seperti halnya di China, menjadi media paling cepat dalam menyampaikan komplain. Komplain seorang pelanggan bisa menjadi caci-maki bersama di media sosial. Sebab itu, PR juga harus aktif terlibat dalam percakapan di media sosial. PR perusahaan yang memiliki akun di media sosial tidak secara otomatif akan menjadi akun sosial. Sebab itu, PR harus bisa memanfaatkan media sosial untuk mendengarkan keluhan dan rumor di kalangan konsumen. Di samping itu, PR harus dengan cepat dan bijak membangun dialog yang positif dalam menangani krisis tersebut. 
Kedua, respons yang cepat.
Kegagalan PR adalah ketika tidak merespons cepat komplain yang sudah beredar di media sosial. Ketidakcekatan PR ini disebabkan oleh banyak hal. Penyebab yang banyak terjadi adalah panjangnya birokrasi dalam penanganan komplain. Akibatnya, respons yang diterima konsumen sangat lamban dan kelambanan ini justru menimbulkan efek negatif yang baru. Seandainya, merespons cepat, janganlah PR buru-buru menyalahkan pihak-pihak yang komplain. Apalagi disertai dengan bahasa yang pongah dan membela diri. Hal ini akan menjadi kontraproduktif dan komplain akan semakin besar.
Ketiga, gunakan semua media sendiri
Sebaiknya, gunakan media-media komunikasi yang dimiliki perusahaan sendiri. Selama krisis susu di China, misalnya, pemerintah Selandia Baru selaku produsen susu membangun brand recovery melalui medianya sendiri dengan mengunggah artikel, foto, dan video yang menguatkan komitmen perusahaan untuk memberikan produk susu yang higienis. Para penyedia susu tersebut menggunakan stafnya dalam membangun komunikasi yang menguatkan komitmen perusahaan akan produk susu yang aman.
Keempat, jangan takut dan ragu meminta maaf.
Permintaan maaf adalah sarana paling mumpuni dalam proses brand recovery. Sayangnya, banyak PR perusahaan yang sungkan, ragu, dan takut dalam meminta maaf. Seolah-olah permintaan maaf tersebut adalah kiamat bagi perusahaan. Padahal, permintaan maaf ini justru berpotensi besar dalam memulihkan kepercayaan konsumen pada perusahaan. Belajarlah pada apa yang dilakukan CEO Apple dan Samsung yang secara terang-terangan meminta maaf pada konsumen atas kesalahan yang dilakukannya. Toh, permintaan maaf tidak membuat pasar Apple dan Samsung goyah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar