Selama tahun 1980-an,
perusahaan-perusahaan manufaktur Amerika Serikat (AS) yang terkenal
sebagai eksportir utama dunia, menemukan strategi manajemen manufaktur
dan berinovasi dalam berbagai hal tentunya untuk meningkatkan daya saing
mereka. Berbagai strategi ini banyak dikenal sebagai strategi TQM (Total Quality Management), JIT (Just-in-Time) production, atau DFM (Design for manufacturability). Selain itu, terdapat pula lean manufacturing, reengineering, benchmarking, dan the ubiquitous team approach.
Pada saat itu, seluruh strategi ini ditiru oleh berbagai perusahaan di
sana, sehingga industri manufaktur AS berkembang dengan pesat.
Sementara berbagai upaya di atas berhasil meningkatkan profit perusahaan, strategi itu kemudian tidak mampu mengalahkan pendekatan ekspor perusahaan Jepang atau Jerman. Hal ini yang selanjutnya menyebabkan Jerman dan Jepang mampu menyalip AS sebagai eksportir utama dunia. Terdapat sebuah kesalahan terkait strategi tersebut, bagaimana ia langsung keok menghadapi perusahaan global.
Kondisi tersebut dapat terjadi karena prinsip utama strategi di AS tadi adalah perbaikan manajemen, efektivitas kerja, dan pencapaian target. Tidak ada strategi yang disusun mempertimbangkan keunggulan komparatif, terutama saat perusahaan lain menggunakan strategi yang sama. Apalagi, upaya mengejar ketertinggalan kemudian hanya dilakukan untuk menyamai pemain terdepan, bukan melebihinya. Amerika Serikat terus saja mencoba mencari keseimbangan dagang, bukan ingin menjadi yang utama. Sehingga saat sudah mencapai tahapan setara, perusahaan-perusahaan AS tetap saja tertinggal dibanding perusahaan negara lain.
Belajar dari hal tersebut, perusahaan dalam lingkungan persaingan global yang bergolak, harus terlebih dahulu menentukan keunggulan kompetitif produknya di pasar. Ia harus melihat siapa dan berapa banyak kompetitor yang harus dia lawan di dalam pasar tersebut. Perusahaan kemudian perlu mengumpulkan infomrasi mengenai keunggulan lawan, terutama jika lawan tersebut mampu merebut pasar dengan lebih baik. Para manajer kemudian harus mampu mengukur dan menyiapkan target melebihi pencapaian kompetitor terberat dengan cara yang berbeda. Mekanisme perusahaan-perusahaan memang benar harus berorientasi pada kemampuan untuk menghasilkan secara efisien, menjual secara efektif, atau peningkatan kapital dari waktu ke waktu. Akan tetapi, sistem tersebut telah dikenal dan dapat ditiru oleh siapa pun, sehingga perusahaan tidak lagi memiliki keunggulan komparatif. Perusahaan harus menambahnya dengan pertahanan terhadap kompetitor di segmen dan pasar yang sama, ataupun continuous innovation.
Selanjutnya, pertarungan perusahaan AS juga memberikan gambaran bagaimana strategi seharusnya dibuat tidak hanya untuk jangka pendek. Mekanisme JIT dan TQM hanya memberikan solusi pada masalah-masalah spesifik, pada bagian tertentu dari sistem perusahaan. Mekanisme ini tidak menyukai perhitungan makro dan jangka panjang; sejak awal pencetusan ide hingga kemampuan memperbaiki kerusakaan saat sistem perusahaan berjalan. Padahal seharusnya, dalam era kompetisi, sistem organisasi harus memiliki mekanisme perbaikan diri apabila ia mendapatkan serangan tak terduga dari lawan. Dengan kata lain, mekanisme semacam JIT dan TQM bagus digunakan bagi pencapaian target jangka pendek, tetapi tidak handal bagi proses jangka panjang. Hal ini terjadi karena pencapaian jangka panjang membutuhkan suatu pendekatan berbeda, yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Ciri khas tersebut harus unik, tidak mudah ditiru, memiliki kemampuan fleksibel menghadapi pergolakan pasar, juga reaktif mengatasi masalah.
*Sumber : http://hbr.org/1994/01/beyond-world-class/ar/1
*Ilustrasi dari : http://www.bhglobal.com.sg/site/images/stories/bh/about_bh/Our-Vision-Bgr.jpg
Sementara berbagai upaya di atas berhasil meningkatkan profit perusahaan, strategi itu kemudian tidak mampu mengalahkan pendekatan ekspor perusahaan Jepang atau Jerman. Hal ini yang selanjutnya menyebabkan Jerman dan Jepang mampu menyalip AS sebagai eksportir utama dunia. Terdapat sebuah kesalahan terkait strategi tersebut, bagaimana ia langsung keok menghadapi perusahaan global.
Kondisi tersebut dapat terjadi karena prinsip utama strategi di AS tadi adalah perbaikan manajemen, efektivitas kerja, dan pencapaian target. Tidak ada strategi yang disusun mempertimbangkan keunggulan komparatif, terutama saat perusahaan lain menggunakan strategi yang sama. Apalagi, upaya mengejar ketertinggalan kemudian hanya dilakukan untuk menyamai pemain terdepan, bukan melebihinya. Amerika Serikat terus saja mencoba mencari keseimbangan dagang, bukan ingin menjadi yang utama. Sehingga saat sudah mencapai tahapan setara, perusahaan-perusahaan AS tetap saja tertinggal dibanding perusahaan negara lain.
Belajar dari hal tersebut, perusahaan dalam lingkungan persaingan global yang bergolak, harus terlebih dahulu menentukan keunggulan kompetitif produknya di pasar. Ia harus melihat siapa dan berapa banyak kompetitor yang harus dia lawan di dalam pasar tersebut. Perusahaan kemudian perlu mengumpulkan infomrasi mengenai keunggulan lawan, terutama jika lawan tersebut mampu merebut pasar dengan lebih baik. Para manajer kemudian harus mampu mengukur dan menyiapkan target melebihi pencapaian kompetitor terberat dengan cara yang berbeda. Mekanisme perusahaan-perusahaan memang benar harus berorientasi pada kemampuan untuk menghasilkan secara efisien, menjual secara efektif, atau peningkatan kapital dari waktu ke waktu. Akan tetapi, sistem tersebut telah dikenal dan dapat ditiru oleh siapa pun, sehingga perusahaan tidak lagi memiliki keunggulan komparatif. Perusahaan harus menambahnya dengan pertahanan terhadap kompetitor di segmen dan pasar yang sama, ataupun continuous innovation.
Selanjutnya, pertarungan perusahaan AS juga memberikan gambaran bagaimana strategi seharusnya dibuat tidak hanya untuk jangka pendek. Mekanisme JIT dan TQM hanya memberikan solusi pada masalah-masalah spesifik, pada bagian tertentu dari sistem perusahaan. Mekanisme ini tidak menyukai perhitungan makro dan jangka panjang; sejak awal pencetusan ide hingga kemampuan memperbaiki kerusakaan saat sistem perusahaan berjalan. Padahal seharusnya, dalam era kompetisi, sistem organisasi harus memiliki mekanisme perbaikan diri apabila ia mendapatkan serangan tak terduga dari lawan. Dengan kata lain, mekanisme semacam JIT dan TQM bagus digunakan bagi pencapaian target jangka pendek, tetapi tidak handal bagi proses jangka panjang. Hal ini terjadi karena pencapaian jangka panjang membutuhkan suatu pendekatan berbeda, yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Ciri khas tersebut harus unik, tidak mudah ditiru, memiliki kemampuan fleksibel menghadapi pergolakan pasar, juga reaktif mengatasi masalah.
*Sumber : http://hbr.org/1994/01/beyond-world-class/ar/1
*Ilustrasi dari : http://www.bhglobal.com.sg/site/images/stories/bh/about_bh/Our-Vision-Bgr.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar