Riset yang menjadikan pemuda sebagai target utama memang menarik untuk
disimak. Temuan-temuan riset yang dilakukan oleh MarkPlus Insight bisa
dibandingkan dengan penelitian lain oleh para pakar internasional.
Sebagai contoh adalah riset yang dilakukan oleh Don Tapscott.
Di mulai awal Mei 2007, Tapscott melakukan sebuah proyek ambisius yang melibatkan hampir 10.000 orang responden dari 12 negara (Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, Meksiko, Brazil, Rusia, Cina, Jepang, dan India). Proyek bernama "The Net Generation: a Strategic Investigation" ini memiliki satu tujuan utama: mengintip isi kepala sebuah generasi yang lahir di era 1977-1997. Generasi yang disebutnya net generation.
Hasil penelitian yang menelan biaya tak kurang dari 4 juta dollar ini lalu dirangkum oleh Don Tapscott dalam buku terbarunya "Grown Up Digital".
Salah satu temuan menarik riset ini adalah mengenai sejauh mana para net generation ini memiliki kepedulian terhadap masalah sosial.
Meski pendapat umum beranggapan net generation adalah generasi yang cuek terhadap lingkungan sekitar, Tapscott justru percaya mereka memiliki kepedulian yang tinggi. Untuk mendukung pendapatnya tersebut, Tapscott mengutip sebuah survey lain yang mengungkapkan bahwa 84 persen dari muda-mudi usia 18-26 tahun menyadari adanya gap yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin selama 20 tahun terakhir. Jumlah responden yang lebih besar, sekitar 94 persen, beranggapan bahwa gap tersebut sesuatu yang buruk.
Jika temuan di atas kita gabungkan dengan hasil riset yang dilakukan oleh MarkPlus Insight, maka akan kita dapatkan kesimpulan yang menarik. Riset MarkPlus Insight mengenai youth inspiration di kategori sosial dan politik menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan: sebagian besar menjawab tidak memiliki tokoh idola di bidang itu.
Survey yang dikutip Tapscott menunjukkan bahwa secara global pemuda (atau menggunakan istilahnya: net generation) adalah kelompok usia yang memiliki kepedulian tinggi terhadap isu di sekitarnya. Sementara temuan MarkPlus Insight menemukan bahwa di dunia sosial dan politik tidak ada tokoh yang bisa menginspirasi mereka.
Artinya, pemuda di negeri ini “haus” dengan tokoh-tokoh semacam itu. Ini adalah temuan lain yang bisa menjadi input berguna bagi para social marketer (Aktifis Lembaga Sosial Masyarakat, Pegamai Pemerintahan di bidang sosial, dan sebagainnya).
Dengan kata lain, mereka yang berkepentingan dengan riset tentang pemuda bukan hanya para businessman dan marketer, namun juga semua yang peduli dengan masa depan negeri ini.
Di mulai awal Mei 2007, Tapscott melakukan sebuah proyek ambisius yang melibatkan hampir 10.000 orang responden dari 12 negara (Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, Meksiko, Brazil, Rusia, Cina, Jepang, dan India). Proyek bernama "The Net Generation: a Strategic Investigation" ini memiliki satu tujuan utama: mengintip isi kepala sebuah generasi yang lahir di era 1977-1997. Generasi yang disebutnya net generation.
Hasil penelitian yang menelan biaya tak kurang dari 4 juta dollar ini lalu dirangkum oleh Don Tapscott dalam buku terbarunya "Grown Up Digital".
Salah satu temuan menarik riset ini adalah mengenai sejauh mana para net generation ini memiliki kepedulian terhadap masalah sosial.
Meski pendapat umum beranggapan net generation adalah generasi yang cuek terhadap lingkungan sekitar, Tapscott justru percaya mereka memiliki kepedulian yang tinggi. Untuk mendukung pendapatnya tersebut, Tapscott mengutip sebuah survey lain yang mengungkapkan bahwa 84 persen dari muda-mudi usia 18-26 tahun menyadari adanya gap yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin selama 20 tahun terakhir. Jumlah responden yang lebih besar, sekitar 94 persen, beranggapan bahwa gap tersebut sesuatu yang buruk.
Jika temuan di atas kita gabungkan dengan hasil riset yang dilakukan oleh MarkPlus Insight, maka akan kita dapatkan kesimpulan yang menarik. Riset MarkPlus Insight mengenai youth inspiration di kategori sosial dan politik menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan: sebagian besar menjawab tidak memiliki tokoh idola di bidang itu.
Survey yang dikutip Tapscott menunjukkan bahwa secara global pemuda (atau menggunakan istilahnya: net generation) adalah kelompok usia yang memiliki kepedulian tinggi terhadap isu di sekitarnya. Sementara temuan MarkPlus Insight menemukan bahwa di dunia sosial dan politik tidak ada tokoh yang bisa menginspirasi mereka.
Artinya, pemuda di negeri ini “haus” dengan tokoh-tokoh semacam itu. Ini adalah temuan lain yang bisa menjadi input berguna bagi para social marketer (Aktifis Lembaga Sosial Masyarakat, Pegamai Pemerintahan di bidang sosial, dan sebagainnya).
Dengan kata lain, mereka yang berkepentingan dengan riset tentang pemuda bukan hanya para businessman dan marketer, namun juga semua yang peduli dengan masa depan negeri ini.
Pemuda (youth) adalah subculture yang memiliki peranan penting dalam
menentukan masa depan bisnis di masa depan. Hal ini setidaknya bisa
dilihat dari fakta yang ada, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Secara kuantitatif, data terakhir dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa populasi pemuda (usia 14 hingga 35 tahun) di negeri ini telah mencapai angka 76.261.812. Jumlah ini adalah 35% dari total populasi penduduk di Indonesia.
\Dengan jumlah sebanyak itu, pemuda menjadi segmen yang sangat potensial untuk dibidik, baik sebagai customer kita saat ini, ataupun sebagai customer di masa depan, saat mereka memasuki fase dewasa (senior/adult) nanti.
Secara kualitatif, pemuda juga memiliki peran yang signifikan. Peran ini terkait dengan karakter mereka yang umumnya memiliki rasa ingin tahu tinggi serta cenderung berani mengambil resiko. Fakta sejarah menunjukkan bahwa perubahan-perubahan besar di negeri ini hampir selalu dimotori oleh pemuda. Dengan karakter semacam itu, bisa diprediksi bahwa pemuda juga akan menjadi penggerak perubahan di dunia pemasaran.
Berikut adalah contoh bagaimana pemuda memiliki peran penting dalam dunia pemasaran. Seiring perkembangan teknologi yang demikian pesat, perusahaan-perusahaan pun banyak yang mengeluarkan produk-produk berteknologi tinggi (high-tech product). Apple misalnya, setelah sukses dengan iPod dan iPhone, beberapa waktu yang lalu melemparkan lagi produk terbarunya yang diberi nama iPad.
Salah satu tantangan yang dihadapi produk baru, terutama yang berteknologi tinggi, adalah bagaimana agar produk-produk tersebut tidak hanya berkutat di kalangan penggila teknologi dan gadget, namun bisa menjangkau pasar yang lebih luas.
Hal inilah yang pernah diungkapkan oleh Geoffrey A. Moore dalam bukunya yang cukup fenomenal; Crossing the Chasm: Marketing and Selling High-Tech Products to Mainstream Customers (1991).
Sebagaimana digambarkan dalam diagram di bawah ini, tantangan yang dihadapi para marketer adalah melompati ”parit” yang ada di antara segmen early adopters dan early majority. Hal ini penting dilakukan karena market yang besar ada di “seberang parit” tersebut.
Potensi semacam inilah yang menjadikan pemuda menjadi salah satu sub culture utama di era new wave, di samping women dan netizen
Dalam kondisi semacam ini, nampaknya pemudalah yang paling bisa diandalkan. Karakter mereka yang selalu ingin mencoba hal baru merupakan syarat awal untuk menjadikan mereka sebagai pelanggan awal. Selanjutnya, yang dibutuhkan adalah menciptakan bandwagon effect agar produk menjadi tren yang semua orang akan merasa ketinggalan jika tidak membelinya. Dalam hal ini, pemuda pun nampaknya akan bisa banyak berperan.
Salah satu temuan penting dari riset yang dilakukan oleh MarkPlus Insight terhadap youth subculture adalah kecenderungan mereka untuk berkumpul dan membentuk komunitas. Dan kecenderungan kolektifisme semacam inilah yang akan mempermudah terciptanya word-of-mouth di antara mereka, sebuah kondisi yang memungkinkan terciptanya bandwagon effect.
Secara kuantitatif, data terakhir dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa populasi pemuda (usia 14 hingga 35 tahun) di negeri ini telah mencapai angka 76.261.812. Jumlah ini adalah 35% dari total populasi penduduk di Indonesia.
\Dengan jumlah sebanyak itu, pemuda menjadi segmen yang sangat potensial untuk dibidik, baik sebagai customer kita saat ini, ataupun sebagai customer di masa depan, saat mereka memasuki fase dewasa (senior/adult) nanti.
Secara kualitatif, pemuda juga memiliki peran yang signifikan. Peran ini terkait dengan karakter mereka yang umumnya memiliki rasa ingin tahu tinggi serta cenderung berani mengambil resiko. Fakta sejarah menunjukkan bahwa perubahan-perubahan besar di negeri ini hampir selalu dimotori oleh pemuda. Dengan karakter semacam itu, bisa diprediksi bahwa pemuda juga akan menjadi penggerak perubahan di dunia pemasaran.
Berikut adalah contoh bagaimana pemuda memiliki peran penting dalam dunia pemasaran. Seiring perkembangan teknologi yang demikian pesat, perusahaan-perusahaan pun banyak yang mengeluarkan produk-produk berteknologi tinggi (high-tech product). Apple misalnya, setelah sukses dengan iPod dan iPhone, beberapa waktu yang lalu melemparkan lagi produk terbarunya yang diberi nama iPad.
Salah satu tantangan yang dihadapi produk baru, terutama yang berteknologi tinggi, adalah bagaimana agar produk-produk tersebut tidak hanya berkutat di kalangan penggila teknologi dan gadget, namun bisa menjangkau pasar yang lebih luas.
Hal inilah yang pernah diungkapkan oleh Geoffrey A. Moore dalam bukunya yang cukup fenomenal; Crossing the Chasm: Marketing and Selling High-Tech Products to Mainstream Customers (1991).
Sebagaimana digambarkan dalam diagram di bawah ini, tantangan yang dihadapi para marketer adalah melompati ”parit” yang ada di antara segmen early adopters dan early majority. Hal ini penting dilakukan karena market yang besar ada di “seberang parit” tersebut.
Potensi semacam inilah yang menjadikan pemuda menjadi salah satu sub culture utama di era new wave, di samping women dan netizen
Dalam kondisi semacam ini, nampaknya pemudalah yang paling bisa diandalkan. Karakter mereka yang selalu ingin mencoba hal baru merupakan syarat awal untuk menjadikan mereka sebagai pelanggan awal. Selanjutnya, yang dibutuhkan adalah menciptakan bandwagon effect agar produk menjadi tren yang semua orang akan merasa ketinggalan jika tidak membelinya. Dalam hal ini, pemuda pun nampaknya akan bisa banyak berperan.
Salah satu temuan penting dari riset yang dilakukan oleh MarkPlus Insight terhadap youth subculture adalah kecenderungan mereka untuk berkumpul dan membentuk komunitas. Dan kecenderungan kolektifisme semacam inilah yang akan mempermudah terciptanya word-of-mouth di antara mereka, sebuah kondisi yang memungkinkan terciptanya bandwagon effect.
Tahun 2010 ini Marklus Insight telah melakukan survey terhadap 700 lebih
responden yang terkategori sebagai pemuda (usia 14-35 tahun), yang
kemudian disegmentasi lagi menjadi high school student (14 hingga 18
tahun), colledge student (19-24 tahun), first jobber (25-29 tahun),
serta professional (30-35 tahun).
Banyak temuan menarik yang akan membuka mata marketer di Indonesia.
Tulisan ini hanya akan membahas beberapa yang pokok saja.
Terkait dengan media habbit, ditemukan bahwa internet telah menjadi media yang paling sering mereka akses, mengalahkan televisi dan media-media lainnya. Pemuda memang dekat dengan dunia digital. Mereka ini bisa dikategorikan sebagai digital native (mereka yang tumbuh dewasa bersamaan dengan maraknya internet), berbeda dengan orang tua-orang tuanya yang cenderung sebagai digital immigrant (mereka yang mengenal internet saat sudah memasuki usia dewasa).
Uniknya, situs yang paling mereka akses adalah Facebook. Hal ini mirip dengan data dari Nielsen yang mencatat bahwa pengguna facebook tahun 2009 di Indonesia meningkat hampir 700 persen sejak tahun lalu. Dan kebanyakan penggunanya adalah mereka yang berusia 15-39 tahun.
Terkait dengan community, riset juga menunjukkan bahwa mayoritas pemuda terlibat dalam komunitas tertentu. Yang menarik, lagi-lagi Facebook muncul sebagai salah satu komunitas yang paling banyak diikuti, nomor dua setelah komunitas olahraga.
Masuknya komunitas olahraga di urutan pertama nampaknya sudah cukup disadari oleh para marketer di Indonesia. Contoh kasusnya adalah Jawa Pos. Kesuksesannya menggunakan komunitas basket sebagai sarana untuk menggaet generasi muda menjadi kasus pemasaran yang cukup menginspirasi pelaku bisnis lainnya.
Isu lain yang berhasil ditemukan melalui riset ini adalah mengenai anxieties dan desires pemuda. Segmen professional dan first jobber umumnya memiliki anxiety dan desire yang terkait dengan karir mereka.
Sementara bagi kalangan pelajar (high school student) dan mahasiswa (college student), isu akademis menjadi perhatian utama mereka. Bagi para marketer, insight semacam ini bisa menjadi input yang bermanfaat dalam rangka penyusunan program komunikasi pemasaran serta taktik pemasaran lainnya.
Riset yang dilakukan MarkPlus Insight juga berhasil mengidentifikasi berbagai merek yang sukses menjadi favorit pemuda di berbagai kategori produk. Dengan mempelajari program-program komunikasi pemasaran serta pengembangan produk baru (new product development) yang dilakukan oleh para champion ini, pelaku bisnis lainnya bisa belajar banyak hal tentang bagaimana kunci sukses merebut hati pemuda. ]
Contohnya adalah keberhasilan Indomie dalam menjadi merek favorit pemuda untuk kategori instant noodle. Tidak tanggung-tanggung, Indomie meraih poin 80.5%, jauh meninggalkan kompetitor terdekatnya, Mie Sedap, yang hanya mendapatkan 12%. Kesuksesan ini nampaknya dipengaruhi oleh berbagai program-program pemasarannya yang ditujukan bagi pelajar sekolah menengah.
Banyak temuan menarik yang akan membuka mata marketer di Indonesia.
Tulisan ini hanya akan membahas beberapa yang pokok saja.
Terkait dengan media habbit, ditemukan bahwa internet telah menjadi media yang paling sering mereka akses, mengalahkan televisi dan media-media lainnya. Pemuda memang dekat dengan dunia digital. Mereka ini bisa dikategorikan sebagai digital native (mereka yang tumbuh dewasa bersamaan dengan maraknya internet), berbeda dengan orang tua-orang tuanya yang cenderung sebagai digital immigrant (mereka yang mengenal internet saat sudah memasuki usia dewasa).
Uniknya, situs yang paling mereka akses adalah Facebook. Hal ini mirip dengan data dari Nielsen yang mencatat bahwa pengguna facebook tahun 2009 di Indonesia meningkat hampir 700 persen sejak tahun lalu. Dan kebanyakan penggunanya adalah mereka yang berusia 15-39 tahun.
Terkait dengan community, riset juga menunjukkan bahwa mayoritas pemuda terlibat dalam komunitas tertentu. Yang menarik, lagi-lagi Facebook muncul sebagai salah satu komunitas yang paling banyak diikuti, nomor dua setelah komunitas olahraga.
Masuknya komunitas olahraga di urutan pertama nampaknya sudah cukup disadari oleh para marketer di Indonesia. Contoh kasusnya adalah Jawa Pos. Kesuksesannya menggunakan komunitas basket sebagai sarana untuk menggaet generasi muda menjadi kasus pemasaran yang cukup menginspirasi pelaku bisnis lainnya.
Isu lain yang berhasil ditemukan melalui riset ini adalah mengenai anxieties dan desires pemuda. Segmen professional dan first jobber umumnya memiliki anxiety dan desire yang terkait dengan karir mereka.
Sementara bagi kalangan pelajar (high school student) dan mahasiswa (college student), isu akademis menjadi perhatian utama mereka. Bagi para marketer, insight semacam ini bisa menjadi input yang bermanfaat dalam rangka penyusunan program komunikasi pemasaran serta taktik pemasaran lainnya.
Riset yang dilakukan MarkPlus Insight juga berhasil mengidentifikasi berbagai merek yang sukses menjadi favorit pemuda di berbagai kategori produk. Dengan mempelajari program-program komunikasi pemasaran serta pengembangan produk baru (new product development) yang dilakukan oleh para champion ini, pelaku bisnis lainnya bisa belajar banyak hal tentang bagaimana kunci sukses merebut hati pemuda. ]
Contohnya adalah keberhasilan Indomie dalam menjadi merek favorit pemuda untuk kategori instant noodle. Tidak tanggung-tanggung, Indomie meraih poin 80.5%, jauh meninggalkan kompetitor terdekatnya, Mie Sedap, yang hanya mendapatkan 12%. Kesuksesan ini nampaknya dipengaruhi oleh berbagai program-program pemasarannya yang ditujukan bagi pelajar sekolah menengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar