Untuk menjadi perusahaan besar, perusahaan itu harus
mengawalinya dari berpikir besar pula. Perusahaan itu harus berpikir
secara mega (mega thinking). Mengacu pada pemikiran Roger
Kaufman, seorang pakar managemen strategik, Profesor Emeritus di Florida
State University dan Distinguished Profesor di Sonora Institute of
Technology, perencanaan perusahaan seharusnya tak dimulai dan diakhiri
dengan indikator internal atau kinerja perusahaan semata. Tapi, harus
mempertimbangkan nilai-nilai yang diberikat kepada komunitas atau
masyarakat.
Berpikir mega ini analoginya adalah seorang ibu yang senantiasa
memikirkan masa depan anak-anak dan bahkan cucu-cucunya. Dunia seperti
apa yang ibu inginkan untuk anak-anak tersebut? – demikian pikiran
seorang ibu yang baik. Sebab itu, tak heran “mega planning” ini sering
disebut sebagai “mother’s rule”. Biasanya, mother’s rule ini tidak bicara soal means (credentials of teacher, money spent) tapi lebih pada survival, kesehatan, maupun kebahagiaan untuk anak-anaknya.
Kaufman mengatakan cara berpikir dan bertindak benar adalah
berpikirlah mulai dari level mega, lalu makro, dan terakhir mikro.
Sementara, dalam bertindak, orang sebaiknya memulai dari level company, lalu customer, dan terakhir community.
Berpikir mega menurut Kaufman merupakan berpikir untuk tingkat kebutuhan masyarakat atau komunitas (societal needs) yang akan memberikan outcomes.
Pada level ini, perusahaan berpikir untuk kebutuhan seluruh masyarakat
Indonesia atau lebih luas lagi untuk masyarakat dunia alias dalam
khasanah Islam disebut sebagai rahmatan lil alamin.
Dalam berpikir mega, dibutuhkan pemikiran yang strategik.
Sementara, berpikir makro artinya berpikir untuk tingkat kebutuhan industri (industrial needs), yakni customer yang akan mendapatkan outputs dan untuk hal ini, perusahaan membutuhkan perencanaan taktikal.
Berpikir mikro menurut Kaufman adalah berpikir untuk tingkat kebutuhan profesional (professional needs), yakni perusahaan yang akan menghasilkan produk dan memerlukan perencanaan yang sifatnya operasional.
Bila perusahaan berpikir mega, maka perusahaan itu bisa merengkuh
apa yang dicapai di tingkat makro dan mikro. Ketika perusahaan
memikirkan inovasi bisnis demi kepentingan masyarakat luas, dengan
sendirinya di tingkat makro perusahaan itu akan mendapatkan customer dan pada tingkat mikro, perusahaan itu bisa mendapatkan keuntungan dari loyalitas customer tersebut.
Google dan Apple merupakan contoh konkret perusahaan yang memiliki
pemikiran mega tersebut. Sejak awal bisnisnya, Google memikirkan
bagaimana masyarakat dunia ini bisa terhubung dalam sebuah konektivitas
dan memeroleh berbagai manfaat di sana. Sebagai raksasa mesin pencari di
ranah internet, Google mendapatkan secara otomatis mendapatkan customernya.
Di tingkat mega, masyarakat dunia bisa memanfaatkan produk dan
layanannya secara gratis – tentunya juga memberi dampak kemajuan bagi
kehidupan masyarakat luas. Di tingkat makro, Google menjadi perusahaan
terpercaya bagi para pemasang iklan yang tak lain adalah real customer-nya.
Sebagai perusahaan pun, Google terbilang sebagai salah satu perusahaan
paling jaya di dunia saat ini di mana para CEO dan pendirinya masuk
jajaran orang paling kaya sedunia.
Demikian juga dengan Apple. Mendiang Steve Jobs adalah sosok inovator
dan pebisnis yang memilik cara berpikir mega. Produk-produk besutannya
selalu ia orientasikan bukan sekadar laku di pasar, tapi bagaimana
produk itu memberi manfaat bagi seluruh umat manusia. Apple senantiasa
memikirkan kehidupan yang lebih baik bagi umat manusia. Dengan cara
berpikir inilah, Apple gemar melakukan inovasi.
Produk iPad, misalnya, menurut pengakuan Steve Wozniak, co-founder Apple,
sengaja diciptakan agar umat manusia bisa lebih memanfaatkan
pancaindera yang dimilikinya. Dalam konteks ini adalah indera peraba.
Selain itu, dengan perangkat “ajaib” berupa tablet, tersebut umat
manusia bisa terbantu memudahkan segala urusan dan aktivitasnya.
Setelah proses panjang, terbukti bahwa Google dan Apple berhasil mendapatkan tiga hal tadi, yakni company, customer, dan community.
Ini berkat penerapan cara berpikir mega. Dalam hal inilah, Telkom juga
sedang menjalankan langkah-langkah serupa seperti yang dilakukan oleh
dua raksasa digital yang cukup memberi warna dalam kehidupan kita.
Bagaimana perusahaan bisa berpikir mega? Modal utamanya tak lain adalah perusahaan itu harus memiliki spiritualitas memberi– spirit of giving. Semangatnya, semakin kita memberi banyak, semakin kita menerima banyak (the more you give, the more you get). Semangat inilah yang juga dihidupi oleh seorang ibu untuk anak-anaknya.
Ada dua alasan yang digagas oleh Kaufman mengapa perusahaan di era sekarang wajib memiliki pemikiran mega. Pertama, keberlanjutan perusahaan itu sendiri (sustainability).
Perusahaan yang ingin memiliki masa depan harus mampu berpikir
melampaui dirinya sendiri dengan memikirkan kemaslahatan umat manusia.
Perusahaan tidak serta melulu memikirkan profit untuk dirinya sendiri,
tapi juga memikirkan pemberdayaan masyarakat luas dan lingkungan hidup
di masa depan.
Kedua, people engagement. Perusahaan yang memiliki
keutamaan demi umat manusia secara lebih luas biasanya dipandang
sebagai perusahaan yang memiliki karakter. Perusahaan yang memiliki
karakter biasanya menjadi perusahaan yang dicintai oleh banyak orang.
Kenapa dicintai karena masyarakat percaya perusahaan itu tidak akan
merugikan kehidupan mereka. Demikian juga dengan karyawan perusahaan
tersebut. Karyawan yang mengetahui perusahaan tempat mereka bekerja
berkomitmen untuk melakukan kebaikan bagi masyarakat biasanya akan
bekerja lebih antusias dan memiliki ketertarikan yang lebih baik pada
perusahaan. Dengan demikian, secara otomatis, perusahaan ini bisa
menjalankan bisnisnya dengan baik dengan pendapatan yang baik pula.
Referensi: Paradox Marketing (2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar