Membangun brand yang besar tak bisa
dilakukan dalam semalam seperti kisah Bandung Bondowoso dan Roro
Jonggrang. Selain pemahaman penuh terhadap kekuatan brand yang akan
dibangun, seorang pemasar harus jeli dalam melihat lanskap kompetisi.
Demikian disampaikan Iwan Setiawan, Principal MarkPlus Consulting dalam
workshop branding hari ini (22/4/2014) di MarkPlus Main Campus.
"Branding itu cukup susah karena tidak
ada kepastian akan berhasil atau tidak. Hal yang paling dibutuhkan
adalah kepercayaan diri dalam melakukannya," ujar Iwan.
Dalam membangun branding ada aspek-aspek
yang perlu diperhatikan, di antaranya adalah kompetisi harga,
heterogenitas pasar, serta intensitas persaingan. Soal kompetisi harga
misalnya, hal ini sangat sensitif terhadap pembangunan brand. Bila
sebuah merek terjerumus dalam sebuah perang harga, maka akan semakin
susah bagi merek tersebut untuk menjaga kualitasnya tetap tinggi karena
bila harga sudah diturunkan, alokasi untuk hal penting lain bisa
terabaikan sekaligus membuat fokus terpecah.
Demikian pula dengan heterogenitas
pasar. Semakin beragam pasar yang akan dimasuki oleh sebuah brand, maka
semakin sulit brand tersebut dibangun. Mengapa? Karena aktivitas
pemasaran yang dilakukan harus disesuaikan dengan karakter yang ada
dipasar tersebut.
"Contohnya bisa dilihat pada masa Orde
Baru dan saat sekarang. Dahulu, Indonesia bisa dibilang adalah pasar
yang homogen. Semuanya sama dan ketika beriklan di TVRI, seluruh
Indonesia bakal tahu. Namun saat ini tidak seperti itu. Masing-masing
daerah punya konsumen yang khas, begitu juga dengan segmen-segmen yang
punya kecenderungan tertentu," terang Iwan. Karena itulah, membangun
merek nasional tentu lebih sulit dari membangun merek di sebuah daerah.
Selain itu, kompetisi juga menjadi
faktor lain yang mempengaruhi pembangunan merek. Semakin tinggi
intensitas persaingan sebuah kategori, maka semakin susah pembangunan
merek dilakukan. Hal ini juga terkait dengan positioning dan asosiasi
yang akan dibangun oleh pemasar. Ketika terlalu banyak pemain, maka
positioning dan asosiasi merek dapat menjadi blur dan tercampur-campur.
Bila itu terjadi, maka ekuitas merek pun akan menjadi rendah.
Lalu bagaimana seorang pemasar dapat
membangun merek yang kuat sekaligus mengatasi berbagai hambatan
tersebut? Cara paling umum adalah dengan mengembangkan portofolio merek
dan produk. Bila hal itu dapat dilakukan, maka pemasar memiliki lebih
banyak bidak untuk dimainkan dalam percaturan menghadapi lawan.
Contohnya bisa dilihat pada Telkomsel dengan merek Halo, Simpati, serta
AS yang dimilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar