Servis bukan sekadar penerapan kaku SOP perusahaan.
Kata "servis" sudah menjadi latah diucapkan oleh banyak penjual maupun pemasar. Tapi, kelatahan ini juga mencerminkan masih adanya salah persepsi atau pemahaman yang keliru tentang servis tersebut. Tulisan berikut sebagian besar terinsiprasi dari buku "Converting Customer Service into Sales" karangan Hermawan Kartajaya dengan beberapa penyesuaian. Hermawan bilang sering terjadi kekeliruan dalam memahami pemasaran. Pemahaman akan pemasaran saja keliru, apalagi servis sebagai bagian dari pemasaran tersebut.
Hermawan menandaskan pemasaran harus menjadi jiwa perusahaan sehingga setiap orang dalam perusahaan adalah pemasar. Terkait pemasaran sebagai visi, harus bisa dipastikan perusahaan mencapai tingkat kepuasan yang berkelanjutan pada tiga stakeholder utama, yakni karyawan, pelanggan, dan pemegang saham. Lantaran servis menjadi bagian dari pemasaran, servis selayaknya juga dihidupi oleh semua elemen dalam perusahaan.
Tapi, kekeliruan muncul pada fenomena pengkotak-kotakan, seolah-olah servis hanya menjadi tugas orang servis saja. Selain itu, praktik servis yang dijalankan pun masih standar saja. Di industri otomotif, misalnya, servis sekadar dipahami sebagai after sales service. Di perbankan maupuin perhotelan, servis malah sering dianggap sebagai operation di mana kamar bersih, rapi, customer service-nya murah senyum dianggap sudah sebagai servis itu sendiri.
Servis sering ditempatkan di bawah divisi operasi. Akibatnya, servis yang dijalankan sekadar eksekusi dari SOP yang ada. Servis seperti ini cenderung kehilangan jiwa. Tak ada lagi kustomisasi dan personalisasi dalam servis. Tampaknya, masih ada perusahaan yang tidak memiliki bagian pemasaran. Bagian ini justru dirangkap oleh bagian operasi yang sangat standar tersebut. Selain itu, keberadaan call center atau situs web perusahaan sudah dianggap sebagai eksekusi servis tersebut. Namun, praktik servis di call center juga masih menghadapi aneka problem, seperti call center yang tak bisa dihubungi, bernada sibuk, tidak ada yang angkat panggilan, maupun tanggapan tak bersahabat dari agen call center tersebut.
Selain itu, orang sering memisahkan antara servis dan produk. Seolah keduanya terpisah satu sama lain. Hermawan mengatakan pola pikir orang servis sering didominasi paradigma produk. Misalnya, servis hotel dipersempit dengan jualan kamar, membukakan pintu, mengantar ke kamar, maupun melempar senyum atau servis agen perjalanan sekadar jualan tiket. Mungkin semua berjalan sesuai SOP. Tapi, semua berjalan laksana robot.
Lebih dalam dari sekadar standar, servis harus dipahami sebagai paradigma dan komitmen. Dengan begitu, servis dihidupi oleh setiap orang di semua lini perusahaan. Servis juga melekat pada semua industri, termasuk industri yang kelihatannya tak termasuk industri servis sekalipun.
Hermawan memasukkan produk sebagai bagian dari servis. Teh Botol, misalnya, bermakna sebagai servis lantaran mampu memuaskan kebutuhan masyarakat akan minum teh secara praktis. Sebaliknya, layanan sebuah bank maupun hotel yang tergolong dalam industri servis tidak bermakna servis karena membuat nasabah atau tamu bingung, tak nyaman, dan mengeluh.
Hermawan membagi servis menjadi tiga tingkatan, excellent service, experiential service, dan transformational service. Excelllent service menjadi servis yang tingkatannya paling rendah. Hanya dengan memberikan produk maupun servis yang sama maupun lebih tinggi dari harapan pelanggan, kita sudah mencapai standar tersebut. Contohnya McDonald dengan servis terstandar secara global.
Experiential service mengacu pada praktik servis yang memberikan pengalaman baru bagi pelanggan dalam mengkonsumsi sebuah produk. Contohnya, Starbucks dan Hard Rock Cafe.
Transformational service sebagai servis pada tingkatan tertinggi karena mampu mengubah karakter pelanggan. Dulu, Apple IPOD, misalnya, mampu mengubah kondisi feel bad menjadi feel good. Sekarang, banyak perusahaan yang menerapkan servis transformatif ini. Perusahaan turut mendidik pelanggan yang dulunya tak peduli pada lingkungan menjadi sadar pada lingkungan hidup, termasuk juga mengubah pelanggan menjadi lebih peduli pada kesehatannya.
Pada tingkat transformational service, perusahaan mampu menjual nilai-nilai kepada pelanggan sehingga nilai-nilai itu menjadi milik mereka. Di era New Wave Marketing, service kemudian dipahami sebagai care di mana pemasar bisa memahami apa yang menjadi impian (desire) dan kecemasan (anxiety) dari para pelanggan. Dengan demikian, semakin ditegaskan bahwa servis bukan melulu pelaksanaan kaku SOP, tapi pelayanan sepenuh jiwa yang fleksibel untuk disesuaikan (customized) dan bersifat personal kepada para pelanggan.
*Sumber ilustrasi http://www.responsiblelending.org
Kata "servis" sudah menjadi latah diucapkan oleh banyak penjual maupun pemasar. Tapi, kelatahan ini juga mencerminkan masih adanya salah persepsi atau pemahaman yang keliru tentang servis tersebut. Tulisan berikut sebagian besar terinsiprasi dari buku "Converting Customer Service into Sales" karangan Hermawan Kartajaya dengan beberapa penyesuaian. Hermawan bilang sering terjadi kekeliruan dalam memahami pemasaran. Pemahaman akan pemasaran saja keliru, apalagi servis sebagai bagian dari pemasaran tersebut.
Hermawan menandaskan pemasaran harus menjadi jiwa perusahaan sehingga setiap orang dalam perusahaan adalah pemasar. Terkait pemasaran sebagai visi, harus bisa dipastikan perusahaan mencapai tingkat kepuasan yang berkelanjutan pada tiga stakeholder utama, yakni karyawan, pelanggan, dan pemegang saham. Lantaran servis menjadi bagian dari pemasaran, servis selayaknya juga dihidupi oleh semua elemen dalam perusahaan.
Tapi, kekeliruan muncul pada fenomena pengkotak-kotakan, seolah-olah servis hanya menjadi tugas orang servis saja. Selain itu, praktik servis yang dijalankan pun masih standar saja. Di industri otomotif, misalnya, servis sekadar dipahami sebagai after sales service. Di perbankan maupuin perhotelan, servis malah sering dianggap sebagai operation di mana kamar bersih, rapi, customer service-nya murah senyum dianggap sudah sebagai servis itu sendiri.
Servis sering ditempatkan di bawah divisi operasi. Akibatnya, servis yang dijalankan sekadar eksekusi dari SOP yang ada. Servis seperti ini cenderung kehilangan jiwa. Tak ada lagi kustomisasi dan personalisasi dalam servis. Tampaknya, masih ada perusahaan yang tidak memiliki bagian pemasaran. Bagian ini justru dirangkap oleh bagian operasi yang sangat standar tersebut. Selain itu, keberadaan call center atau situs web perusahaan sudah dianggap sebagai eksekusi servis tersebut. Namun, praktik servis di call center juga masih menghadapi aneka problem, seperti call center yang tak bisa dihubungi, bernada sibuk, tidak ada yang angkat panggilan, maupun tanggapan tak bersahabat dari agen call center tersebut.
Selain itu, orang sering memisahkan antara servis dan produk. Seolah keduanya terpisah satu sama lain. Hermawan mengatakan pola pikir orang servis sering didominasi paradigma produk. Misalnya, servis hotel dipersempit dengan jualan kamar, membukakan pintu, mengantar ke kamar, maupun melempar senyum atau servis agen perjalanan sekadar jualan tiket. Mungkin semua berjalan sesuai SOP. Tapi, semua berjalan laksana robot.
Lebih dalam dari sekadar standar, servis harus dipahami sebagai paradigma dan komitmen. Dengan begitu, servis dihidupi oleh setiap orang di semua lini perusahaan. Servis juga melekat pada semua industri, termasuk industri yang kelihatannya tak termasuk industri servis sekalipun.
Hermawan memasukkan produk sebagai bagian dari servis. Teh Botol, misalnya, bermakna sebagai servis lantaran mampu memuaskan kebutuhan masyarakat akan minum teh secara praktis. Sebaliknya, layanan sebuah bank maupun hotel yang tergolong dalam industri servis tidak bermakna servis karena membuat nasabah atau tamu bingung, tak nyaman, dan mengeluh.
Hermawan membagi servis menjadi tiga tingkatan, excellent service, experiential service, dan transformational service. Excelllent service menjadi servis yang tingkatannya paling rendah. Hanya dengan memberikan produk maupun servis yang sama maupun lebih tinggi dari harapan pelanggan, kita sudah mencapai standar tersebut. Contohnya McDonald dengan servis terstandar secara global.
Experiential service mengacu pada praktik servis yang memberikan pengalaman baru bagi pelanggan dalam mengkonsumsi sebuah produk. Contohnya, Starbucks dan Hard Rock Cafe.
Transformational service sebagai servis pada tingkatan tertinggi karena mampu mengubah karakter pelanggan. Dulu, Apple IPOD, misalnya, mampu mengubah kondisi feel bad menjadi feel good. Sekarang, banyak perusahaan yang menerapkan servis transformatif ini. Perusahaan turut mendidik pelanggan yang dulunya tak peduli pada lingkungan menjadi sadar pada lingkungan hidup, termasuk juga mengubah pelanggan menjadi lebih peduli pada kesehatannya.
Pada tingkat transformational service, perusahaan mampu menjual nilai-nilai kepada pelanggan sehingga nilai-nilai itu menjadi milik mereka. Di era New Wave Marketing, service kemudian dipahami sebagai care di mana pemasar bisa memahami apa yang menjadi impian (desire) dan kecemasan (anxiety) dari para pelanggan. Dengan demikian, semakin ditegaskan bahwa servis bukan melulu pelaksanaan kaku SOP, tapi pelayanan sepenuh jiwa yang fleksibel untuk disesuaikan (customized) dan bersifat personal kepada para pelanggan.
*Sumber ilustrasi http://www.responsiblelending.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar