Penentuan harga suatu produk barang dan jasa tidak bisa hanya berhenti sampai berapa harga yang dikenakan untuk jasa tersebut, namun
juga perlu menjawab faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan
pembelian calon konsumen. Faktor seperti bagaimana cara harga jasa
dikenakan kepada calon konsumen, kapan pembayaran harus dilakukan,
bagaimana cara pembayaran dilakukan juga mempengaruhi apa yang disebut sebagai psychology of pricing. Misalnya,
suatu jasa yang memiliki harga yang sama, yang dikenakan harga sesuai
elemen jasa tersebut, akan memiliki persepsi harga yang berbeda dengan
jasa yang sudah dipaketkan. Bahkan, pembayaran di muka dengan pembayaran
setelah pemakaian pun dapat membentuk persepsi harga yang berbeda.
Saat melakukan pembelian jasa, konsumen secara tidak sadar akan menghitung biaya yang ia keluarkan dan membandingkannya dengan manfaat yang diterima dari pembelian tersebut. Perhitungan yang dilakukan oleh konsumen ini sering disebut sebagai mental accounting, yang dimulai dari saat memutuskan melakukan pembelian, melakukan transaksi atau pembayaran, hingga saat penggunaan jasa. Jadi sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pembelian produk A, konsumen akan memastikan apakah manfaat yang diterima sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, baik manfaat secara fisik maupun manfaat emosional.
Untuk membangun persepsi bahwa konsumen benar-benar mendapatkan penawaran harga yang paling menarik, banyak cara dilakukan oleh pemasar, misalnya dengan memberikan program promosi dalam bentuk waktu pembayaran dan bundling. Dalam beberapa kasus, strategi-strategi harga ini terbukti berhasil mendorong keputusan pembelian konsumen dan pada akhirnya meningkatkan penjualan.
Waktu pembayaran dapat mempengaruhi keputusan pembelian dengan berbagai cara. Perusahaan dapat menawarkan ‘beli sekarang, bayar nanti’ untuk jasa yang ditawarkan untuk meningkatkan penjualan jasa, misalnya dengan memberikan skema cicilan pembayaran. Sedangkan beberapa jasa sengaja dikenakan harga lebih murah apabila konsumen melakukan pembayaran lebih cepat, untuk mendorong pembayaran awal dengan pertimbangan finansial. Misalnya, harga tiket suatu pementasan pada periode enam bulan sebelum pementasan lebih murah dibandingkan dengan harga tiket sebulan sebelum pementasan.
Cara lain yang juga sering digunakan adalah bundling, yaitu dengan menggabungkan beberapa jasa dalam suatu paket harga yang lebih murah dengan tujuan untuk mendorong konsumen menambah item produk yang dibeli. Misalnya suatu tiket pementasan dijual dengan harga Rp.10,000,- untuk satu pertunjukan, namun bila membeli paket tiket pementasan untuk 4 kali pertunjukan hanya dikenakan harga Rp.30,000,-
Namun menurut John Gourville, dalam ulasannya Pricing and The Psychology of Consumption, strategi-strategi harga tersebut memang memiliki dampak positif terhadap penjualan, namun perusahaan perlu mewaspadai dampak negatif terhadap konsumsi jasa.
Tapi mengapa konsumsi begitu penting? Menurutnya, mental accounting yang dilakukan konsumen untuk menghitung biaya dan manfaat suatu jasa tidak hanya berhenti sampai waktu pengambilan keputusan, namun juga hingga penggunaan dan konsumsi produk. Sehingga, pada akhirnya bila jasa tersebut jarang digunakan atau tidak digunakan sama sekali, maka konsumen akan berpikir bahwa ia merugi dan tidak akan melakukan pembelian ulang.
Motivasi utama yang mendorong konsumsi produk adalah perasaan tidak ingin menyiakan biaya yang dikeluarkan, sehingga untuk mendorong konsumsi perusahaan perlu memperkuat persepsi biaya yang sudah dikeluarkan oleh konsumen. Terdapat dua faktor utama yang memiliki peran penting dalam membentuk persepsi biaya ini, yaitu waktu pembayaran serta pemahaman terhadap biaya yang telah dikeluarkan.
Bagaimana waktu pembayaran mempengaruhi konsumsi konsumen?
Umumnya keputusan waktu pembayaran ditentukan berdasarkan pertimbangan permintaan (untuk meningkatkan penjualan) atau berdasarkan pertimbangan finansial (perhitungan pengeluaran biaya dan pendapatan jasa). Keputusan waktu pembayaran jarang ikut mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pola konsumsi produk.
Konsumsi didorong oleh persepsi terhadap biaya yang telah dikeluarkan oleh konsumen, sehingga semakin dekat waktu pembayaran dengan waktu konsumsi, keinginan konsumen untuk menggunakan produk atau secara maksimal lebih besar. Sedangkan pembayaran yang dilakukan jauh sebelum waktu konsumsi atau setelah konsumsi akan mengaburkan persepsi biaya yang dikeluarkan oleh konsumen.
Suatu riset dilakukan terhadap anggota klub kesehatan, dimana klub kesehatan tersebut menawarkan pembayaran biaya keanggotaan secara bulanan, semesteran, atau tahunan. Dari riset yang dilakukan tersebut memperlihatkan bahwa anggota klub yang melakukan pembayaran secara tahunan, cenderung aktif pada beberapa bulan awal setelah pembayaran, namun frekuensi kedatangan mereka semakin lama semakin berkurang. Konsumen cenderung melupakan biaya yang telah dikeluarkan dan mulai menganggap jasa klub kesehatan tersebut sebagai sesuatu yang didapatkan secara gratis. Pola yang berbeda terlihat pada anggota klub yang melakukan pembayaran bulanan. Frekuensi kedatangan mereka cenderung stabil karena setiap bulan secara konsisten mereka diingatkan mengenai biaya yang telah dikeluarkan.
Lalu bagaimana mengatasinya? Dan memanfaatkan pengaruh psikologi ini?
Cara paling umum yang digunakan untuk ‘selalu mengingatkan’ konsumen terhadap biaya yang telah ia keluarkan adalah dengan memberikan pembayaran secara bertahap hingga waktu konsumsi, atau dengan membuat waktu pembayaran dengan frekuensi yang lebih sering untuk jasa yang bersifat langganan.
Tapi pola konsumsi yang tidak konsisten, justru dapat dimanfaatkan oleh jasa-jasa yang memiliki kapasitas terbatas untuk mengendalikan permintaan. Misalnya klub kesehatan yang memiliki kapasitas terbatas namun jumlah anggota yang banyak dapat membagi waktu pembayaran anggota klub dalam 12 bulan dalam setahun secara merata. Kelompok pembayaran Januari diprediksikan akan memenuhi klub selama periode Januari – Maret dan semakin berkurang, selanjutnya kelompok pembayaran April akan memenuhi klub selama April – Juni, dan seterusnya.
Bagaimana penetapan harga produk yang di-bundling dapat mempengaruhi konsumsi?
Riset maupun praktek pemasaran semenjak beberapa tahun lalu sudah membuktikan bahwa menggabungkan item-item jasa dalam satu paket dapat menurunkan sensitivitas harga dan meningkatkan kemungkinan pembelian. Karena itulah berbagai jasa, dari produk peralatan rumah tangga, restoran, hingga layanan provider komunikasi, memberikan penawaran secara paket dibandingkan penawaran per item produk.
Namun, apakah bundling juga memberikan pengaruh positif terhadap konsumsi? Kembali lagi kepada teori bahwa konsumsi sangat dipengaruhi oleh persepsi terhadap biaya yang telah dikeluarkan, bundling menyamarkan biaya yang harus dikorbankan konsumen untuk masing-masing item jasa. Konsumen cenderung melihat biaya sebagai suatu paket bukan untuk masing-masing item, sehingga pola konsumsi yang dilakukan tidak dilakukan secara maksimal untuk masing-masing item jasa.
Untuk mendapatkan dampak positif terhadap penjualan dari produk bundling, sekaligus menjaga antusiasme konsumen dalam melakukan konsumsi untuk menjaga kepuasan dan loyalitas, perusahaan perlu secara hati-hati dalam mengkomunikasikan produk bundling tersebut. Cara komunikasi oleh perusahaan akan membentuk persepsi biaya dan mempengaruhi mental accounting konsumen dalam menentukan keputusan konsumsi.
Contoh yang cukup populer dari Gourville adalah bundling paket perjalanan ski. Kepada dua kelompok responden yang berbeda, diberikan masing-masing skenario mengenai paket perjalanan ski. Kelompok pertama dikomunikasikan bahwa mereka telah membayar paket perjalanan ski seharga US$40 per hari untuk 4 hari. Sedangkan kelompok kedua diberitahukan bahwa mereka telah membayar sebesar US$160 perjalanan ski yang berlangsung selama empat hari.
Pada kedua kelompok tersebut diberitahukan bahwa pada hari keempat cuaca buruk sehingga tidak terlalu nyaman untuk bermain ski, kemudian ditanyakan apakah mereka tetap akan bermain ski atau tidak. Meski secara finansial biaya yang dikeluarkan sama, hasil dari riset jauh berbeda. Sebagian responden di kelompok satu memutuskan untuk tetap bermain ski agar tidak membuang uang sebesar US$ 40 yang telah dibayarkan. Sedangkan kelompok kedua memutuskan untuk pulang saja dan tidak melanjutkan bermain ski.
Contoh lain adalah ‘buy one, get one free’. Riset dilakukan terhadap 3 kelompok dengan masing-masing 40 responden, dimana mereka semua diberitahukan bahwa mereka mendapatkan tiket untuk dua hari pertunjukan dengan harga satu tiket karena adanya program ‘buy one, get one free’. Mereka sangat puas dengan pertunjukan hari pertama, namun pada pertunjukan hari kedua, seorang teman mengundang mereka untuk hadir dalam pesta perayaannya. Responden diminta memilih apakah ia akan tetap menonton atau akan datang ke pesta teman.
Kelompok satu diberitahukan bahwa maksud dari ‘buy one get one free’ adalah mereka membeli tiket di hari pertama sehingga mendapat tiket hari kedua secara gratis. Kelompok kedua diberitahukan bahwa mereka membeli tiket di hari kedua sehingga mendapat tiket hari pertama secara gratis. Sedangkan kelompok ketiga dibiarkan memiliki asumsi masing-masing.
Seperti yang telah diduga, 27 dari 40 responden kelompok satu memilih untuk pergi ke pesta teman; sedangkan hanya 9 dari 40 responden di kelompok dua memilih untuk menonton. Kemudian hanya 10 dari 40 responden di kelompok tiga yang memilih untuk tetap menonton, yang mengindikasikan bahwa sebagian besar responden menganggap bahwa pertunjukan hari kedualah yang gratis.
Keputusan kebijakan penentuan harga harus dilakukan secara teliti sesuai dengan tujuan perusahaan. Selain mempertimbangkan dampaknya terhadap penjualan, perusahaan juga perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap faktor lain misalnya konsumsi. Berbagai strategi harga dapat digunakan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan, selama perusahaan telah mempertimbangkan seluruh implikasi dari strategi tersebut.
Sumber: Majalah Marketeers edisi Oktober 2011
Saat melakukan pembelian jasa, konsumen secara tidak sadar akan menghitung biaya yang ia keluarkan dan membandingkannya dengan manfaat yang diterima dari pembelian tersebut. Perhitungan yang dilakukan oleh konsumen ini sering disebut sebagai mental accounting, yang dimulai dari saat memutuskan melakukan pembelian, melakukan transaksi atau pembayaran, hingga saat penggunaan jasa. Jadi sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pembelian produk A, konsumen akan memastikan apakah manfaat yang diterima sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, baik manfaat secara fisik maupun manfaat emosional.
Untuk membangun persepsi bahwa konsumen benar-benar mendapatkan penawaran harga yang paling menarik, banyak cara dilakukan oleh pemasar, misalnya dengan memberikan program promosi dalam bentuk waktu pembayaran dan bundling. Dalam beberapa kasus, strategi-strategi harga ini terbukti berhasil mendorong keputusan pembelian konsumen dan pada akhirnya meningkatkan penjualan.
Waktu pembayaran dapat mempengaruhi keputusan pembelian dengan berbagai cara. Perusahaan dapat menawarkan ‘beli sekarang, bayar nanti’ untuk jasa yang ditawarkan untuk meningkatkan penjualan jasa, misalnya dengan memberikan skema cicilan pembayaran. Sedangkan beberapa jasa sengaja dikenakan harga lebih murah apabila konsumen melakukan pembayaran lebih cepat, untuk mendorong pembayaran awal dengan pertimbangan finansial. Misalnya, harga tiket suatu pementasan pada periode enam bulan sebelum pementasan lebih murah dibandingkan dengan harga tiket sebulan sebelum pementasan.
Cara lain yang juga sering digunakan adalah bundling, yaitu dengan menggabungkan beberapa jasa dalam suatu paket harga yang lebih murah dengan tujuan untuk mendorong konsumen menambah item produk yang dibeli. Misalnya suatu tiket pementasan dijual dengan harga Rp.10,000,- untuk satu pertunjukan, namun bila membeli paket tiket pementasan untuk 4 kali pertunjukan hanya dikenakan harga Rp.30,000,-
Namun menurut John Gourville, dalam ulasannya Pricing and The Psychology of Consumption, strategi-strategi harga tersebut memang memiliki dampak positif terhadap penjualan, namun perusahaan perlu mewaspadai dampak negatif terhadap konsumsi jasa.
Tapi mengapa konsumsi begitu penting? Menurutnya, mental accounting yang dilakukan konsumen untuk menghitung biaya dan manfaat suatu jasa tidak hanya berhenti sampai waktu pengambilan keputusan, namun juga hingga penggunaan dan konsumsi produk. Sehingga, pada akhirnya bila jasa tersebut jarang digunakan atau tidak digunakan sama sekali, maka konsumen akan berpikir bahwa ia merugi dan tidak akan melakukan pembelian ulang.
Motivasi utama yang mendorong konsumsi produk adalah perasaan tidak ingin menyiakan biaya yang dikeluarkan, sehingga untuk mendorong konsumsi perusahaan perlu memperkuat persepsi biaya yang sudah dikeluarkan oleh konsumen. Terdapat dua faktor utama yang memiliki peran penting dalam membentuk persepsi biaya ini, yaitu waktu pembayaran serta pemahaman terhadap biaya yang telah dikeluarkan.
Bagaimana waktu pembayaran mempengaruhi konsumsi konsumen?
Umumnya keputusan waktu pembayaran ditentukan berdasarkan pertimbangan permintaan (untuk meningkatkan penjualan) atau berdasarkan pertimbangan finansial (perhitungan pengeluaran biaya dan pendapatan jasa). Keputusan waktu pembayaran jarang ikut mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pola konsumsi produk.
Konsumsi didorong oleh persepsi terhadap biaya yang telah dikeluarkan oleh konsumen, sehingga semakin dekat waktu pembayaran dengan waktu konsumsi, keinginan konsumen untuk menggunakan produk atau secara maksimal lebih besar. Sedangkan pembayaran yang dilakukan jauh sebelum waktu konsumsi atau setelah konsumsi akan mengaburkan persepsi biaya yang dikeluarkan oleh konsumen.
Suatu riset dilakukan terhadap anggota klub kesehatan, dimana klub kesehatan tersebut menawarkan pembayaran biaya keanggotaan secara bulanan, semesteran, atau tahunan. Dari riset yang dilakukan tersebut memperlihatkan bahwa anggota klub yang melakukan pembayaran secara tahunan, cenderung aktif pada beberapa bulan awal setelah pembayaran, namun frekuensi kedatangan mereka semakin lama semakin berkurang. Konsumen cenderung melupakan biaya yang telah dikeluarkan dan mulai menganggap jasa klub kesehatan tersebut sebagai sesuatu yang didapatkan secara gratis. Pola yang berbeda terlihat pada anggota klub yang melakukan pembayaran bulanan. Frekuensi kedatangan mereka cenderung stabil karena setiap bulan secara konsisten mereka diingatkan mengenai biaya yang telah dikeluarkan.
Lalu bagaimana mengatasinya? Dan memanfaatkan pengaruh psikologi ini?
Cara paling umum yang digunakan untuk ‘selalu mengingatkan’ konsumen terhadap biaya yang telah ia keluarkan adalah dengan memberikan pembayaran secara bertahap hingga waktu konsumsi, atau dengan membuat waktu pembayaran dengan frekuensi yang lebih sering untuk jasa yang bersifat langganan.
Tapi pola konsumsi yang tidak konsisten, justru dapat dimanfaatkan oleh jasa-jasa yang memiliki kapasitas terbatas untuk mengendalikan permintaan. Misalnya klub kesehatan yang memiliki kapasitas terbatas namun jumlah anggota yang banyak dapat membagi waktu pembayaran anggota klub dalam 12 bulan dalam setahun secara merata. Kelompok pembayaran Januari diprediksikan akan memenuhi klub selama periode Januari – Maret dan semakin berkurang, selanjutnya kelompok pembayaran April akan memenuhi klub selama April – Juni, dan seterusnya.
Bagaimana penetapan harga produk yang di-bundling dapat mempengaruhi konsumsi?
Riset maupun praktek pemasaran semenjak beberapa tahun lalu sudah membuktikan bahwa menggabungkan item-item jasa dalam satu paket dapat menurunkan sensitivitas harga dan meningkatkan kemungkinan pembelian. Karena itulah berbagai jasa, dari produk peralatan rumah tangga, restoran, hingga layanan provider komunikasi, memberikan penawaran secara paket dibandingkan penawaran per item produk.
Namun, apakah bundling juga memberikan pengaruh positif terhadap konsumsi? Kembali lagi kepada teori bahwa konsumsi sangat dipengaruhi oleh persepsi terhadap biaya yang telah dikeluarkan, bundling menyamarkan biaya yang harus dikorbankan konsumen untuk masing-masing item jasa. Konsumen cenderung melihat biaya sebagai suatu paket bukan untuk masing-masing item, sehingga pola konsumsi yang dilakukan tidak dilakukan secara maksimal untuk masing-masing item jasa.
Untuk mendapatkan dampak positif terhadap penjualan dari produk bundling, sekaligus menjaga antusiasme konsumen dalam melakukan konsumsi untuk menjaga kepuasan dan loyalitas, perusahaan perlu secara hati-hati dalam mengkomunikasikan produk bundling tersebut. Cara komunikasi oleh perusahaan akan membentuk persepsi biaya dan mempengaruhi mental accounting konsumen dalam menentukan keputusan konsumsi.
Contoh yang cukup populer dari Gourville adalah bundling paket perjalanan ski. Kepada dua kelompok responden yang berbeda, diberikan masing-masing skenario mengenai paket perjalanan ski. Kelompok pertama dikomunikasikan bahwa mereka telah membayar paket perjalanan ski seharga US$40 per hari untuk 4 hari. Sedangkan kelompok kedua diberitahukan bahwa mereka telah membayar sebesar US$160 perjalanan ski yang berlangsung selama empat hari.
Pada kedua kelompok tersebut diberitahukan bahwa pada hari keempat cuaca buruk sehingga tidak terlalu nyaman untuk bermain ski, kemudian ditanyakan apakah mereka tetap akan bermain ski atau tidak. Meski secara finansial biaya yang dikeluarkan sama, hasil dari riset jauh berbeda. Sebagian responden di kelompok satu memutuskan untuk tetap bermain ski agar tidak membuang uang sebesar US$ 40 yang telah dibayarkan. Sedangkan kelompok kedua memutuskan untuk pulang saja dan tidak melanjutkan bermain ski.
Contoh lain adalah ‘buy one, get one free’. Riset dilakukan terhadap 3 kelompok dengan masing-masing 40 responden, dimana mereka semua diberitahukan bahwa mereka mendapatkan tiket untuk dua hari pertunjukan dengan harga satu tiket karena adanya program ‘buy one, get one free’. Mereka sangat puas dengan pertunjukan hari pertama, namun pada pertunjukan hari kedua, seorang teman mengundang mereka untuk hadir dalam pesta perayaannya. Responden diminta memilih apakah ia akan tetap menonton atau akan datang ke pesta teman.
Kelompok satu diberitahukan bahwa maksud dari ‘buy one get one free’ adalah mereka membeli tiket di hari pertama sehingga mendapat tiket hari kedua secara gratis. Kelompok kedua diberitahukan bahwa mereka membeli tiket di hari kedua sehingga mendapat tiket hari pertama secara gratis. Sedangkan kelompok ketiga dibiarkan memiliki asumsi masing-masing.
Seperti yang telah diduga, 27 dari 40 responden kelompok satu memilih untuk pergi ke pesta teman; sedangkan hanya 9 dari 40 responden di kelompok dua memilih untuk menonton. Kemudian hanya 10 dari 40 responden di kelompok tiga yang memilih untuk tetap menonton, yang mengindikasikan bahwa sebagian besar responden menganggap bahwa pertunjukan hari kedualah yang gratis.
Keputusan kebijakan penentuan harga harus dilakukan secara teliti sesuai dengan tujuan perusahaan. Selain mempertimbangkan dampaknya terhadap penjualan, perusahaan juga perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap faktor lain misalnya konsumsi. Berbagai strategi harga dapat digunakan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan, selama perusahaan telah mempertimbangkan seluruh implikasi dari strategi tersebut.
Sumber: Majalah Marketeers edisi Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar