Senin, 17 Juni 2013

Kreatif yang “Terbeli”



Yudya_HandokoMarketing.co.id - Bagi creative director kreativitas terkadang menjadi momok yang menakutkan, karena itu artinya harus berkompromi dengan klien yang sales oriented. Namun di tengah keterbatasan itu, Yudya Handoko sukses mendongkrak Cross melalui TVC yang dibesutnya.
Banyak orang mengira bekerja di advertising agency mengasyikkan, apalagi kalau sudah pada level creative director. Mereka beranggapan seorang creative director dapat dengan bebas menuangkan seluruh ide dan kreativitasnya, tanpa tekanan dari pihak mana pun, termasuk klien. Namun, kenyataannya tidaklah demikian.
Menurut Yudya Handoko, Creative Director Endeecom, ketika seorang creative director ditantang untuk membuat sebuah TVC, maka dia sudah menjadi orang kreatif yang “terbeli”.
Siapa yang membeli kreativitas tersebut? Siapa lagi kalau bukan klien yang telah memberinya order membuat TVC. Di sini seorang creative director dituntut melahirkan iklan yang menarik sekaligus menjual.
Hal itu sebagai titik kompromi antara agency dan klien. Agency boleh saja mengeluarkan ide-ide yang liar. Tapi bagi klien (pengiklan), TVC tetap harus mendorong masyarakat untuk membeli produk tersebut.
Alasannya, klien yang sudah mengeluarkan dana untuk TVC tidak ingin uangnya menguap begitu saja. “Sejak saya berkarier di Endeecom, policy kreatif kami adalah kreatif yang menjual,” tandasnya.
Tantangan semakin berat jika order TVC yang ditawarkan bukanlah merek yang sudah dikenal luas atau memiliki awareness yang kuat, namun merek baru yang kompetitornya sudah banyak. Hal ini dirasakan betul ketika Yudya diminta menangani merek Cross sekitar empat tahun lalu.
Sebagai ponsel baru Cross harus bersaing dengan merek mapan seperti Samsung dan Nokia. Yudya dan tim pun harus memutar otak bagaimana mencari positioning yang tepat buat Cross dan mengomunikasikannya melalui TVC.
Dia mengungkapkan, sebelum membuat format TVC yang tepat, harus terbangun rasa saling percaya antara agency dan klien. “Mengapa saya bilang hubungan dengan klien dibangun dulu? Agar klien mau terbuka, sehingga kita bisa bertanya produk yang akan ditawarkan punya banyak masalah atau tidak. Ternyata Cross tidak, artinya produk secara kualitas dijaga,” ungkap dia.
Akhirnya waktu itu disepakati strategi komunikasi lebih fokus membangun benefit yang sifatnya emosional ketimbang mengedepankan benefit rasional. Saat itu, pihaknya ingin menciptakan rasa bangga bagi kalangan menengah bawah—segmen yang dibidik Cross. Bahwa memiliki ponsel Cross, meski murah berarti telah memiliki ponsel berstandar Eropa. Kebetulan prinsipal Cross di Cina memang sudah mengantongi sertifikasi standar Eropa.
Maka keluarlah TVC Cross bercita rasa Eropa. Semua talent dalam TVC Cross adalah orang asing, termasuk sutradara iklan. Strategi membangun emotional benefits juga bertujuan membangun awareness merek Cross. Maka itu, ketika awareness sudah terbangun, pelan-pelan jargon standar Eropa mulai ditinggalkan.
Hal ini terlihat pada TVC Cross seri Jumper. Sekadar informasi, nama Cross “Jumper” diciptakan oleh Yudya dan tim. Inilah tantangan lain sebagai creative director yang terkadang harus pula memberi nama untuk varian produk yang belum diberi nama oleh klien. Pada fase ini Cross mulai berani membangun komunikasi yang bersifat rational benefits.
Ponsel tersebut diberi label Jumper karena memiliki dua fitur sekaligus, yakni touch screen dan keypad. Sehingga jari pengguna bisa melompat (jump), dari keypad ke layar ponsel, atau sebaliknya.
Kelebihan fitur ini juga divisualisasikan dalam TVC. Di sana digambarkan seseorang yang berada di Paris, lalu melompat ke suatu tempat di kawasan Eropa lainnya, dan petualangan berakhir di Kutub Utara.
“Memang iklan dibuat agak berlebihan, tapi tetap dalam koridor yang benar. Artinya secara spec ponsel bisa melakukan fungsi yang diiklankan,” tutur alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Soegjipranata Semarang ini.
Cross_MobileDi kalangan awam ada ungkapan, sebuah produk jadi mahal karena untuk membiayai iklan. Ungkapan ini biasanya dialamatkan buat produk yang sering beriklan di TV. Mengenai hal ini, pihaknya cukup bangga karena harga Cross terjangkau oleh semua kalangan. Lagi pula bujet TVC tidak sebesar yang diperkirakan meskipun menggunakan talent iklan dan sutradara asing.
Harus Lebih Banyak Bicara tentang Merek dan Soft Selling
Ongkos memakai talent asing lebih murah ketimbang talent lokal yang terkenal. Untuk talent iklan, Endeecom menggunakan jasa talent agency untuk bintang iklan. Sementara untuk talent figuran, Endee memakai para ekspatriat yang kebetulan bekerja di Indonesia.
Perihal menggunakan sutradara asing, dia sedikit buka rahasia. Katanya, biaya yang dikeluarkan cuma lebih mahal sekitar Rp 5 juta. Asal tahu saja, setting TVC Cross semua ada di dalam negeri, namun trik sinematografi membuat TVC tersebut seolah-oleh dibuat di Eropa.
“Kami juga pakai director bule. Pertama, director bule suka memberikan treatment di luar dugaan. Suka mengambil shot yang di luar perkiraan. Kedua, akan lebih mudah men-direct talent yang juga bule,” jelas mantan Senior Art Director Matari Advertising ini.
Jika diperhatikan, TVC Cross selalu menonjolkan nuansa fun dan festive. Hadirnya talent asing menciptakan kesan ponsel Cross tidak murahan. Hal ini memang sengaja dirancang untuk membedakan Cross dengan ponsel-ponsel merek lain yang menjadi kompetitornya.
Yudya yang sudah beberapa kali pindah agency dan berpengalaman menangani puluhan merek ini menilai TVC yang kreatif adalah TVC yang lebih banyak berbicara tentang merek dan bersifat soft selling. Untuk menciptakan TVC yang kreatif, agency dan klien harus sama-sama cerdas. Jujur saja situasi ini belum terjadi di Indonesia.
“Di luar negeri semua sudah mapan, agency dan klien sama-sama cerdas. Dan di luar negeri mungkin bujet iklan tidak terbatas seperti di sini. Agency kadang-kadang tersandung dengan klien yang masih belum teredukasi dengan benar tentang beriklan. Contohnya ada klien yang bilang kalau membuat TVC sesuai dengan saran mau berapa sales yang bisa saya capai dengan iklan tersebut. Itu salah,” tegasnya.
Meski bekerja di agency kecil, Yudya tetap merasa bangga. Kekuatan Endeecom, jelas dia, sangat kental nuansa lokalnya. Berbeda dengan agency-agency asing yang membuka perwakilan di Indonesia, yang memang sudah besar dari negara asalnya.
“Mereka sebenarnya bekerja dengan sistem yang sudah ada. Artinya begini, klien-klien yang ditangani sudah bawaan dari regional. Tapi kami lebih bangga, bagaimana sebuah agency kecil, dengan orang-orang yang ada maju ke atas,” jelasnya lagi.
Bukan rahasia lagi bahwa saat ini banyak agency yang lebih besar mulai mengincar klien-klien Endeecom. Sebagai agency posisi Endeecom masih berada di papan bawah. Ini saja katanya sudah membuat bangga, dan itu artinya waktu buat Endeecom untuk merangkak menjadi agency papan tengah.
Fotografer: Lia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar