Selasa, 18 Juni 2013

Harry sanusi dari distributor hingga memiliki pabrik

Awalnya, Harry Sanusi berbisnis distribusi. Ketika kepepet karena haknya sebagai agen dicabut, Harry banting setir menjadi produsen consumer goods. Berkat pengalaman mengenal pasar, Harry jeli membuat produk yang mudah dijual.

Bagi pelaku industri fast moving consumer goods (FMCG), Indonesia adalah pasar yang menjanjikan. Jumlah penduduknya lebih dari 240 juta jiwa, daya beli memadai, dan perilaku konsumtif yang besar merupakan kue empuk bagi mereka. Jangan heran jika raksasa FMCG dunia seperti Unilever dan P&G getol menawarkan produk mereka. Pebisnis lokal juga ikut unjuk gigi, seperti yang dilakukan Kino Corporation. “Tahun lalu, omzet kami sekitar Rp 2,1 triliun,” tutur Harry Sanusi, pendiri sekaligus CEO Kino Corporation.

Hasil penjualan itu datang dari sekitar 500 item produk Kino dengan 16 merek – baik food maupun non-food. Barangkali Anda familiar dengan produk Kino, misalnya Ovale, Eskulin, Sleek, Master, Cap Kaki Tiga, atau minuman kaleng Cap Panda. Pada awal menggeluti bisnis consumer goods sampai beberapa tahun belakangan, Harry-lah yang memimpin divisi pengembangan produk. “Sekarang sudah tidak bisa, apalagi saya sudah tambah tua, kurang mengerti kebutuhan kalangan muda,” gelak Harry, 46 tahun, yang mendelegasikan urusan inovasi produk pada profesional di Kino Corporation.
Harry mengenang bahwa saat-saat paling produktif baginya adalah ketika berusia 33–36 tahun, alias sepuluh tahun silam. “Dalam setahun kami bisa mengeluarkan banyak sekali produk baru,” kata ayah empat anak ini. Ia mendapat ide produk baru dari mana-mana, tapi terutama dari perjalanan ke mancanegara.

Namun, langkah besar Harry terjadi pada 1998, atau tujuh tahun setelah ia memulai bisnis. Awalnya, pada 1991, Sinde Budi Sentosa, pemegang lisensi Cap Kaki Tiga, mencari distributor produk bagi Pontianak dan menawarkannya kepada Ali Sanusi, ayah Harry, yang memiliki usaha toko obat. Ali menghubungi anaknya yang tengah belajar farmasi di Universitas Indonesia dan memberikan pilihan: apakah ingin melanjutkan kuliah atau berbisnis. Harry mengambil pilihan kedua.

Dengan modal Rp 300 juta, Harry mendirikan Duta Lestari Sentratama untuk menyebarkan Cap Kaki Tiga dibantu dua karyawan. Bisnis distribusi Harry terus berkembang, bahkan sampai ke Pulau Jawa dan tidak sebatas mengangkut Cap Kaki Tiga saja.

Namun, pengembangan bisnis distribusi ini ternyata tidak berkenan bagi Sinde Budi, sehingga mereka mencabut hak distribusi Duta Lestari, enam tahun kemudian.


Mendominasi pasar

Pencabutan itu menjadi pukulan besar bagi Duta – omzetnya anjlok hingga tinggal 10%. Harry pun berupaya menyelamatkan bisnisnya dengan mencari produk lain untuk didistribusikan. Ia juga mencari klien sampai ke Pakistan. Di sana, Harry ditawari menjadi distributor jeruk kino. “Saya kan distributor obat, masa diminta mengangkut jeruk?” kata dia. Sampai pulang ke Indonesia, ia tetap menjawab: tidak. “Tapi, namanya saya bawa ke sini,” kata Harry sambil tertawa.

Tahun 1998, Harry berketetapan menjadi produsen consumer goods untuk ekspansi. “Kita sudah tahu pasar, dan kita tahu kebutuhannya apa. Jadi, tinggal ditarik ke belakang saja,” kenangnya. Buat beberapa kalangan, langkah Harry ini terbalik, tapi ia tetap yakin.

Harry memutuskan membuat permen lunak sebagai produk pertama Kino. Soalnya, konsumen permen relatif tidak loyal dan mudah diterima pasar. “Awalnya salah-salah juga. Saya beli mesin yang spesifikasinya terlalu besar,” kata Harry. Ia belajar bahwa kunci bisnis FMCG adalah merumuskan produk, menetapkan harga, melakukan promosi, dan membentuk jaringan distribusi. “Selama ini, pengalaman saya cuma bagian distribusi saja,” sambungnya.

Permen kopi Kino menjadi awal kreativitas Harry. Sejak itu, ia seperti tak bisa berhenti. Harry berusaha konsisten berorientasi konsumen. Beberapa produknya relatif baru bagi pasar lokal, seperti pembersih wajah 2 in 1 Ovale dan vitamin rambut Ellips. “Vitamin rambut itu bisa berhasil karena orang Indonesia tidak terbiasa memakai conditioner,” ujarnya.

Harry menciptakan pasar di segmen anak-anak dengan MasterKids. Ia mengemas produk sampo, pasta gigi, dan kolonye dalam botol bergambar karakter Superman, Batman, dan Ben 10. Berkat pendekatannya pada pemilik lisensi karakter, Harry bisa menjual varian ini dengan harga terjangkau. “Orang tua senang karena harganya murah dan anaknya pun suka,” kata dia. Dengan cara yang jeli begini, Harry terus mengembangkan produknya.

Kini, Harry mengomandani produksi dari lima pabriknya dan memimpin 7.000 karyawan.  Tahun ini, Harry menargetkan penjualan senilai Rp 3 triliun. Ia masih punya mimpi yang belum tercapai, yaitu menempatkan perusahaannya untuk mendominasi pasar serta bekerja sama dengan pihak lain demi jadi penguasa pasar. “Saya berharap, fondasi untuk hal itu terjadi pada tahun 2015, ketika Kino go public,” jelas Harry yang gemar mengoleksi lukisan ini.    
Sumber:kontan online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar