Marketing.co.id - Advertising belumlah mati. Yang harus Anda ubah adalah gaya berpromosi lama menjadi baru. Apa saja yang harus Anda perhatikan?
Satu pertanyaan yang ingin dihindari dalam rapat direksi oleh
Joe—sebut saja begitu, seorang manajer promosi, adalah seberapa efektif
promosi yang baru saja dilakukan. Pertanyaan itu bukannya tidak penting.
Justru ini merupakan pertanyaan paling penting namun juga bikin pusing
untuk dijawab.
Efektivitas sebuah promosi selalu saja menjadi misteri bagi para
marketer sejak dulu. Kesuksesan sering kali tidak bisa diukur dengan
cepat, sehingga bagi pihak lain yang berpikir soal return on investment, hal ini sering kali tidak dirasakan dengan cepat.
Promosi adalah bagian dari marketing mix (4P) yang paling kompleks. Istilah promosi dimaknai dalam arti luas sebagai marketing communication.
Komunikasi ini menjadi bagian penting bagi para marketer karena tanpa
adanya komunikasi, produk tidak bisa dikenal, dipercaya, dan dibeli oleh
konsumen.
Oleh karena itu, promosi harus bisa meraih awareness, trust, buying habit, sampai consumer loyalty. Sayangnya memang banyak pemilik merek yang hanya berpikir bagaimana promosi ini bisa menciptakan pembelian.
Efektivitas promosi menyangkut bagaimana perilaku konsumen mengalami
perubahan. Cara mengonsumsi media misalnya, dalam dekade terakhir ini
mengalami perubahan.
Konsumen yang semakin mobile, penetrasi internet yang tinggi, dan konsumen yang digital minded akan selalu menimbulkan pertanyaan: apakah media konvensional masih bisa diandalkan dewasa ini?
Salah satu perubahan karakter dalam dunia media sekarang dan masa mendatang adalah perubahan dari karakter paid media menjadi owned media dan kemudian earned media.
Dalam media konvensional, para marketer masih melakukan pembelian media. Mereka membeli ruang atau space pada media seperti kolom dalam koran, slot iklan di televisi, dan lain-lain.
Pada paid media, marketer mengembangkan sendiri media mereka.
Media paling konvensional dalam hal ini adalah brosur. Brosur adalah
media yang kita buat sendiri dan didistribusikan sendiri oleh kita.
Desain, oplah, dan targetnya ditentukan oleh kita. Ini berbeda dengan paid media dimana kita menggantungkan diri pada pemilik media lain.
Makin Personal
Perkembangan internet dan seluler membuat owned media berubah dalam bentuk elektronik. Media jenis ini tergolong sangat murah. Para marketer bisa membuat website, blog, akun Twitter, dan text message yang kontennya bisa berubah-ubah tanpa mengeluarkan lagi biaya cetak. Distribusinya juga bisa massive maupun personal.
Owned media yang dilengkapi dengan kemampuan viral dari internet dan mobile membuat pemilik merek dapat mengkapitalisasinya dalam bentuk word of mouth promotion.
Kehadiran media sosial seperti Facebook dan Twitter memampukan para pemilik merek melakukan ini. Pada saat itu owned media sudah menjadi earned media, dimana media yang dimiliki sudah mampu menghasilkan sesuatu.
Namun,
dengan pertambahan media-media baru, ujung-ujungnya justru menciptakan
kebingungan. Memilih media yang tepat kini semakin sulit, apakah harus
tetap berfokus pada media mainstream ataukah masuk ke media-media alternatif?
Percaya Media Konvensional
Kebanyakan perusahaan besar masih percaya kekuatan televisi dan media cetak. Sifatnya yang masih mass (memiliki jutaan pemirsa) dan kebiasaan konsumen yang dianggap belum berubah masih menjadi alasan mereka.
Ketakutan terbesar menggunakan new media adalah sasarannya
yang terlalu sempit. Memang ada jutaan manusia yang ada di internet,
namun tantangannya, terlalu banyak fragmentasi sehingga memilih media
yang tepat juga tidak mudah.
Perusahaan seperti Unilever masuk ke new media untuk menjalin
komunikasi dan berinteraksi dengan konsumen. Diharapkan, konsumen akan
lebih dekat lagi dengan merek dan menjadi loyal.
Meskipun demikian, Unilever tidak sepenuhnya langsung bergeser ke new media. Unilever tetap memanfaatkan semua media komunikasi yang ada saat ini, mulai dari televisi, radio, print ad, dan media promosi lain.
Hal lain adalah kemampuan menggali database yang masih teramat lemah di Indonesia. Apalagi new media membutuhkan kekuatan database.
Kelemahan para marketer kita adalah kurangnya menggali data secara
detail, sehingga ujung-ujungnya komunikasi yang dilakukan kembali ke
“asal tembak”.
Bujet Bergeser?
Dari sisi bujet, pertanyaan yang selalu muncul adalah seberapa besar alokasi bujet untuk media konvensional dan new media.
Sebagai gambaran saja, menurut survei Gartner, tahun lalu alokasi untuk
media digital di Amerika Serikat mencapai 25% dari total bujet promosi
perusahaan.
Jika total bujet perusahaan rata-rata 10% dari revenue perusahaan, maka untuk digital campaign
sekitar 2,5%. Di Indonesia diperkirakan angkanya jauh di bawah itu.
Namun, tren dunia menunjukkan peningkatan bisa yang mencapai 10% dalam
setahun.
Lalu, apakah kehadiran new media membuat perusahaan melakukan
pemangkasan bujet promosi secara besar-besaran? Di Amerika Serikat,
bujet yang dikeluarkan tetap saja meningkat.
Berdasarkan trend watching, persentase bujet promosi dari total revenue perusahaan di AS tahun 2013 diperkirakan justru meningkat sebesar 6%, sekalipun terjadi kelesuan ekonomi.
Di Indonesia, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Majalah MARKETING,
kenyataannya tidak ada keinginan dari para marketer untuk mengurangi
bujet promosi pada tahun ini. Lebih dari 85% bahkan mengatakan akan
meningkatkan bujet promosi.
Alasannya, selain inflasi, juga persaingan antarmerek. Memang pasar
di Indonesia bertumbuh luar biasa pesat, namun itu bukan berarti
marketer harus ongkang-ongkang kaki. Justru pasar yang semakin
menggiurkan menciptakan banyak kompetitor baru.
Yang paling dirasakan memang terjadinya shifting dari alokasi bujet yang ada. Saat ini marketer cenderung mencari hal-hal baru yang berkaitan langsung dengan penjualan.
Generasi-generasi baru marketer akan makin kritis terhadap
efektivitas promosi yang cenderung akan memilih bentuk promosi yang
langsung berdampak pada penjualan.
Bentuk promosi yang kerap dilakukan adalah melalui event dan sales promotion. Tak mengherankan kegiatan pameran menjadi ajang yang cukup diminati sekarang ini. Demikian pula ajang sales promotion tetap menjadi kegiatan yang aktif dilakukan, seperti diskon, kupon, loyalty program, dan lain-lain.
Namun, tetap saja semua komponen media harus dijalankan meski perusahaan banyak melakukan sales promotion ataupun direct selling. Integrasi media menjadi salah satu hal yang harus dipikirkan oleh para marketer.
Kini bukan lagi zamannya berpikir media-media dalam bentuk parsial.
Semua harus terintegrasi dengan baik dan mampu menyematkan pesan-pesan
yang konsisten.
Customer service, frontliner, dan karyawan juga harus dilibatkan dan dianggap sebagai salah satu channel komunikasi dalam promosi. Sering kali banyak key message yang hilang akibat departemen promosi, pelayanan, dan sales berjalan sendiri-sendiri.
Gaya promosi lama yang cenderung mendikte dan satu arah lambat laun
juga makin tidak mengena di konsumen. Alasannya, konsumen makin banyak
menerima informasi dari berbagai sumber. Mereka bisa mendapatkan
referensi dan menilai dengan cepat segala sesuatu dari promosi tersebut.
Media sosial juga memberi ruang bagi konsumen untuk mengkritisi berbagai promosi yang dilakukan. Makanya fungsi marketing public relations (MPR) juga perlu ada untuk menjaga segala efek yang timbul dari promosi.
Hal lain yang tak kalah penting adalah pengukuran. Karena efek
promosi sering kali tidak langsung mengena, marketer harus
memformulasikan metode pengukuran dengan baik.
Memang ada banyak hal yang sering kali sulit diukur dalam promosi,
seperti dampak iklan terhadap penjualan atau seberapa besar loyalitas
konsumen meningkat gara-gara kegiatan promosi tertentu.
Namun, tetap saja pengukuran tidak boleh dilupakan. Paling tidak ada
KPI yang dijadikan target dan bagaimana mengukur pencapaian KPI
tersebut.
Memang, untuk mengantisipasi perubahan perilaku konsumen terhadap
promosi bukanlah perkara mudah. Oleh karena itu, marketer harus
melakukan riset-riset terkait consumer behaviour, sehingga dapat dianalisis seberapa besar pergeseran perilaku konsumen dengan adanya new media maupun faktor-faktor lain.
Yang jelas, jika terjadi perubahan, Anda
pun harus mau ikut berubah. Masalah promosi soalnya bisa menjadi masalah
hidup-mati merek Anda. (Redaksi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar