www.marketing.co.id – Bila
kita melihat berbagai karya tulis, buku, bahkan program internal
perusahaan, terdapat banyak sekali kiat dan strategi untuk meningkatkan
penjualan dan menambah pangsa pasar yang difokuskan kepada kepuasan
pelanggan (customer satisfaction). Hal tersebut memang mutlak
dilakukan oleh semua industri, terlebih-lebih industri yang bergerak di
bidang jasa. Tak heran dalam publikasinya, baik secara internal maupun
eksternal, perusahaan-perusahaan besar mencanangkan bahwa mereka
betul-betul berperan aktif dalam memuaskan pelanggannya.
Sekarang muncul pertanyaan ”iseng”: apakah cukup di dalam meningkatkan penjualan dan loyalitas para pelanggan, hanya konsumen akhir saja yang dipuaskan?
Bagi perusahaan yang bergerak di bidang distribusi, tentunya tidaklah cukup cuma dengan memenangkan pertempuran, mendapatkan penjualan optimal, dan meningkatkan pangsa pasar. Sebab, ada pihak lain lagi—yang terkait secara langsung dan sangat erat—yang perlu juga mendapatkan porsi harus dipuaskan. Yang pertama adalah para perantara: pedagang besar, pengecer, agen, dan lain-lain (hal ini pernah kita bahas). Yang kedua, dan tidak kalah pentingnya, strategi meningkatkan penjualan haruslah melibatkan secara langsung peningkatan produktivitas jajaran penjualnya!
Empat Strategi
Pada dasarnya setiap manusia ingin mendapatkan kepuasan dalam kegiatan sehari-harinya. Apakah itu aktivitas sosial, belajar, berkeluarga, begitu juga dalam bekerja atau menjalankan profesinya. Ada 4 (empat) strategi yang harus diperhatikan perusahaan dalam membuat kebijakan agar produktivitas jajaran penjual (sales force) bisa terjaga dan bahkan ditingkatkan terus-menerus.
Pertama, kepuasan atas pencapaian insentif. Hal ini sangat penting. Sebuah skema insentif haruslah benar-benar efektif, memotivasi, dan wajar. Maksud efektif di sini adalah skema yang dibuat perlu disesuaikan dengan sasaran yang ingin dicapai perusahaan. Umumnya, perusahaan memiliki beragam objektif seperti: meningkatkan penjualan, meningkatkan jumlah pelanggan, menambah rasio pelanggan terdaftar yang aktif, meningkatkan waktu kunjungan efektif, meningkatkan tagihan, meningkatkan penjualan produk baru, meningkatkan pemerataan distribusi produk tertentu, memperbaiki rasio produk fast moving vs medium moving vs slow moving, menambah frekuensi order, memperbaiki pacing penjualan mingguan agar tidak membengkak di minggu akhir, dan lain-lain.
Dengan demikian, sasaran yang ingin dicapai oleh perusahaan merupakan suatu pilihan. Makanya, strategi maupun skema yang dibuat perlu disesuaikan dengan sasaran yang ingin diraih. Belum lagi jika kita memasukkan faktor waktu yang ingin dicapai: apakah mingguan, bulanan, triwulan, semester atau tahunan. Atau jika mempertimbangkan antara rasio gaji tetap dengan insentif minimum dan rasio ketercapaian.
Kedua, kepuasan atas perhatian dan penghargaan manajemen. Di samping faktor pertama tadi, yang perlu dikaji juga adalah kepuasan akan penghargaan. Ini merupakan morale booster yang efektif. Penjual diberikan apresiasi bila melampaui target yang tinggi, mendapat ucapan terima kasih kala mencapai target; diberikan bantuan dan pengarahan saat menghadapi kesulitan; serta mengadakan pertemuan pribadi dengan pihak keluarga (anak/suami/istri), ada saat kebersamaan, dan tidak selalu formal.
Ketiga, kepuasan atas pengembangan karier. Sangat disayangkan, masih banyak perusahaan melihat salesman sebagai “jabatan abadi”. Pihak manajemen kurang memperhatikan pengembangan karier, kurang memberikan anggaran yang cukup untuk pelatihan para ujung tombak ini. Ironisnya, masih juga muncul paradigma: “kalau dibikin pintar, nanti keluar; capek-capek ditraining dan buang biaya, tapi akhirnya dibajak pesaing”.
Perlu disadari bahwa pelatihan tidak kelihatan hasilnya secara instan. Pelatihan adalah investasi, seperti halnya kita membeli gedung, kendaraan, komputer, dan itu semua adalah aset perusahaan. Jadi bisa dikatakan, pelatihan merupakan proses jalur karier yang harus dipersiapkan secara komprehensif, terencana, dan membutuhkan biaya. Di sinilah pentingnya peran bagian pengembangan SDM.
Keempat, kepuasan atas perhatian dan relasi pelanggan. Selain ketiga faktor di atas, kita perlu juga memperhatikan hal ini: bagaimana seorang pimpinan sering-sering ”turba”, mengunjungi pelanggan secara teratur, meningkatkan hubungan—baik dalam rangka relasi bisnis maupun hubungan pribadi—dengan jajaran penjualnya. Jadi tidak hanya selalu bicara “target-target dan target” tanpa mengenal pelanggannya lebih dalam, tanpa punya hubungan kontak langsung, tanpa memahami kesulitan dan keterbatasan yang ada, atau tanpa memberikan contoh aktual di lapangan.
Nah, kalau keempat hal ini benar-benar dipahami dan dapat dilaksanakan secara konsisten, niscaya mencapai target penjualan bukanlah sesuatu yang sulit! Kesimpulannya, strategi untuk meningkatkan penjualan dan meningkatkan loyalitas pelanggan mensyaratkan tiga kepentingan yang harus sama-sama dipuaskan, yaitu: kepuasan pelanggan/konsumen akhir, kepuasan para perantara/pedagang, dan kepuasan jajaran penjualnya. Semoga berhasil!
(Mindiarto Djugorahardjo)
Sekarang muncul pertanyaan ”iseng”: apakah cukup di dalam meningkatkan penjualan dan loyalitas para pelanggan, hanya konsumen akhir saja yang dipuaskan?
Bagi perusahaan yang bergerak di bidang distribusi, tentunya tidaklah cukup cuma dengan memenangkan pertempuran, mendapatkan penjualan optimal, dan meningkatkan pangsa pasar. Sebab, ada pihak lain lagi—yang terkait secara langsung dan sangat erat—yang perlu juga mendapatkan porsi harus dipuaskan. Yang pertama adalah para perantara: pedagang besar, pengecer, agen, dan lain-lain (hal ini pernah kita bahas). Yang kedua, dan tidak kalah pentingnya, strategi meningkatkan penjualan haruslah melibatkan secara langsung peningkatan produktivitas jajaran penjualnya!
Empat Strategi
Pada dasarnya setiap manusia ingin mendapatkan kepuasan dalam kegiatan sehari-harinya. Apakah itu aktivitas sosial, belajar, berkeluarga, begitu juga dalam bekerja atau menjalankan profesinya. Ada 4 (empat) strategi yang harus diperhatikan perusahaan dalam membuat kebijakan agar produktivitas jajaran penjual (sales force) bisa terjaga dan bahkan ditingkatkan terus-menerus.
Pertama, kepuasan atas pencapaian insentif. Hal ini sangat penting. Sebuah skema insentif haruslah benar-benar efektif, memotivasi, dan wajar. Maksud efektif di sini adalah skema yang dibuat perlu disesuaikan dengan sasaran yang ingin dicapai perusahaan. Umumnya, perusahaan memiliki beragam objektif seperti: meningkatkan penjualan, meningkatkan jumlah pelanggan, menambah rasio pelanggan terdaftar yang aktif, meningkatkan waktu kunjungan efektif, meningkatkan tagihan, meningkatkan penjualan produk baru, meningkatkan pemerataan distribusi produk tertentu, memperbaiki rasio produk fast moving vs medium moving vs slow moving, menambah frekuensi order, memperbaiki pacing penjualan mingguan agar tidak membengkak di minggu akhir, dan lain-lain.
Dengan demikian, sasaran yang ingin dicapai oleh perusahaan merupakan suatu pilihan. Makanya, strategi maupun skema yang dibuat perlu disesuaikan dengan sasaran yang ingin diraih. Belum lagi jika kita memasukkan faktor waktu yang ingin dicapai: apakah mingguan, bulanan, triwulan, semester atau tahunan. Atau jika mempertimbangkan antara rasio gaji tetap dengan insentif minimum dan rasio ketercapaian.
Kedua, kepuasan atas perhatian dan penghargaan manajemen. Di samping faktor pertama tadi, yang perlu dikaji juga adalah kepuasan akan penghargaan. Ini merupakan morale booster yang efektif. Penjual diberikan apresiasi bila melampaui target yang tinggi, mendapat ucapan terima kasih kala mencapai target; diberikan bantuan dan pengarahan saat menghadapi kesulitan; serta mengadakan pertemuan pribadi dengan pihak keluarga (anak/suami/istri), ada saat kebersamaan, dan tidak selalu formal.
Ketiga, kepuasan atas pengembangan karier. Sangat disayangkan, masih banyak perusahaan melihat salesman sebagai “jabatan abadi”. Pihak manajemen kurang memperhatikan pengembangan karier, kurang memberikan anggaran yang cukup untuk pelatihan para ujung tombak ini. Ironisnya, masih juga muncul paradigma: “kalau dibikin pintar, nanti keluar; capek-capek ditraining dan buang biaya, tapi akhirnya dibajak pesaing”.
Perlu disadari bahwa pelatihan tidak kelihatan hasilnya secara instan. Pelatihan adalah investasi, seperti halnya kita membeli gedung, kendaraan, komputer, dan itu semua adalah aset perusahaan. Jadi bisa dikatakan, pelatihan merupakan proses jalur karier yang harus dipersiapkan secara komprehensif, terencana, dan membutuhkan biaya. Di sinilah pentingnya peran bagian pengembangan SDM.
Keempat, kepuasan atas perhatian dan relasi pelanggan. Selain ketiga faktor di atas, kita perlu juga memperhatikan hal ini: bagaimana seorang pimpinan sering-sering ”turba”, mengunjungi pelanggan secara teratur, meningkatkan hubungan—baik dalam rangka relasi bisnis maupun hubungan pribadi—dengan jajaran penjualnya. Jadi tidak hanya selalu bicara “target-target dan target” tanpa mengenal pelanggannya lebih dalam, tanpa punya hubungan kontak langsung, tanpa memahami kesulitan dan keterbatasan yang ada, atau tanpa memberikan contoh aktual di lapangan.
Nah, kalau keempat hal ini benar-benar dipahami dan dapat dilaksanakan secara konsisten, niscaya mencapai target penjualan bukanlah sesuatu yang sulit! Kesimpulannya, strategi untuk meningkatkan penjualan dan meningkatkan loyalitas pelanggan mensyaratkan tiga kepentingan yang harus sama-sama dipuaskan, yaitu: kepuasan pelanggan/konsumen akhir, kepuasan para perantara/pedagang, dan kepuasan jajaran penjualnya. Semoga berhasil!
(Mindiarto Djugorahardjo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar