Jay Conrad Levinson meninggal pada 10 Oktober 2013 lalu di usianya yang ke-80.
Bagi yang belum mengenal pria ini, dia adalah “Bapak”-nya guerrilla marketing. Saya mendapatkan kabar ini dari kawan saya Hans Mandalas yang pernah mendatangkan beliau untuk memberikan seminar tentang guerrilla marketing di Indonesia.
Setelah saya cek di internet, ternyata benar sang guru ini sudah meninggalkan kita semua.
Seth Godin, pakar marketing, misalnya, dalam blognya menulis artikel pendek yang intinya mengucapkan terima kasih atas sumbangan Jay dalam modern marketing.
Pribadi Jay dianggap pribadi yang bersahabat, banyak senyum, senang mengajari orang, dan tidak pernah menyembunyikan sesuatu. Kepribadian itu juga yang saya tangkap ketika beliau datang ke Indonesia, dia hampir tidak pernah melepaskan senyum di wajahnya.
Jay memang pakar marketing yang cuma berkonsentrasi pada satu topik saja, yakni guerrilla marketing.
Di tahun 1980-an sampai 1990-an, konsep ini mulai mengemuka di dunia pemasaran. Konsep ini sebenarnya hanya pilihan dari berbagai strategi perang yang diterapkan di dunia pemasaran, seperti strategi offensive, defensive, flanking, dan guerrilla.
Di Indonesia, kalau mendengar kata gerilya maka identik dengan gaya perang almarhum Jenderal Sudirman di masa perang kemerdekaan dulu.
Jay memilih strategi guerrilla marketing ini sebagai cara pemasaran modern untuk mengalahkan cara-cara konvensional yang pernah dipakai.
Jika dilihat dari artinya, guerrilla marketing (orang sering menyalahartikan dengan gorila) adalah strategi marketing murah dengan cara-cara yang unconventional. Mengapa disebut gerilya, karena serangan yang dilakukan memang dengan cara gerilya: tidak tampak di permukaan, tiba-tiba menyerang dan kemudian menghilang.
Beriklan di media televisi, cetak, atau mass media lainnya adalah cara beriklan yang tampil di permukaan. Memperlihatkan keunggulan merek atau produk di hadapan publik dan tentu saja akan mudah terlihat oleh pesaing.
Strategi gerilya cocok bagi merek yang tergolong tidak memiliki bujet besar dalam beriklan. Termasuk juga pemain usaha kecil-menengah yang akan gemetaran tentunya jika berhadapan langsung dengan merek-merek raksasa.
Cara gerilya lebih pas karena lebih murah dan langsung ke individu. Contohnya seperti menyebarkan brosur, menyebarkan kartu nama, beriklan di sebuah film, beriklan di yellow pages, sampai menjadi pembicara seminar.
Di era internet sekarang ini cara yang bisa dilakukan misalnya melalui email dan media sosial. Anda bisa menemukan 200 senjata bergerilya ala Jay ini di situs gmarketing.com.
Jay sendiri mendefinisikan guerrilla marketing sebagai cara untuk mencapai target conventional dengan metode yang unconventional. Dengan pengertian ini, apa yang dibuat nyeleneh dan murah itu disebut sebagai guerrilla marketing.
Setelah meluncurkan buku Guerrilla Marketing, artikel-artikel Jay memang lebih fokus pada cara dan tips menjalankannya. Memang tidak ada sebuah konsep marketing yang ruwet untuk ide Jay ini. Yang ada hanya best practices dan pengalaman yang semakin memperkaya ide orang-orang marketing.
Guerrilla marketing memang bukan konsep yang harus diperdebatkan secara akademis di jurnal para doktor dan profesor. Mereka yang berorientasi pada konsep akan beranggapan bahwa guerrilla marketing adalah konsep tua yang tidak pas pada zaman sekarang. Pikiran ini juga muncul di benak saya ketika “orang tua” ini datang ke Indonesia sekitar empat tahun lalu.
Namun, akhirnya saya sadar bahwa tidaklah 100% tepat memperdebatkan konsep guerrilla marketing itu sendiri. Guerrilla marketing adalah sesuatu yang praktis, sehingga yang harus diperdebatkan adalah soal ide, kreativitas, dan kegilaan apa yang perlu dilakukan.
Jay kelihatannya cukup jeli melihat kelemahan ini hingga dia kemudian memperbarui bukunya dengan tambahan judul kecil: “cutting-edge strategies for the 21st century”.
Jay akhirnya tidak hanya sukses dengan bukunya yang terjual lebih dari 20 juta copy dan diterjemahkan ke dalam 62 bahasa. Jay juga sukses menanamkan attitude kepada orang-orang marketing tentang inovasi berpromosi dan bagaimana melawan conventional way promotion yang menghambur-hamburkan uang.
Generasi-generasi mendatang mungkin akan melupakan Jay dan bukunya Guerrilla Marketing. Namun, tanpa sadar ide dari Jay ini sebenarnya akan selalu hidup dan diwariskan oleh para merketer ke generasi-generasi selanjutnya.
Bagi yang belum mengenal pria ini, dia adalah “Bapak”-nya guerrilla marketing. Saya mendapatkan kabar ini dari kawan saya Hans Mandalas yang pernah mendatangkan beliau untuk memberikan seminar tentang guerrilla marketing di Indonesia.
Setelah saya cek di internet, ternyata benar sang guru ini sudah meninggalkan kita semua.
Seth Godin, pakar marketing, misalnya, dalam blognya menulis artikel pendek yang intinya mengucapkan terima kasih atas sumbangan Jay dalam modern marketing.
Pribadi Jay dianggap pribadi yang bersahabat, banyak senyum, senang mengajari orang, dan tidak pernah menyembunyikan sesuatu. Kepribadian itu juga yang saya tangkap ketika beliau datang ke Indonesia, dia hampir tidak pernah melepaskan senyum di wajahnya.
Jay memang pakar marketing yang cuma berkonsentrasi pada satu topik saja, yakni guerrilla marketing.
Di tahun 1980-an sampai 1990-an, konsep ini mulai mengemuka di dunia pemasaran. Konsep ini sebenarnya hanya pilihan dari berbagai strategi perang yang diterapkan di dunia pemasaran, seperti strategi offensive, defensive, flanking, dan guerrilla.
Di Indonesia, kalau mendengar kata gerilya maka identik dengan gaya perang almarhum Jenderal Sudirman di masa perang kemerdekaan dulu.
Jay memilih strategi guerrilla marketing ini sebagai cara pemasaran modern untuk mengalahkan cara-cara konvensional yang pernah dipakai.
Jika dilihat dari artinya, guerrilla marketing (orang sering menyalahartikan dengan gorila) adalah strategi marketing murah dengan cara-cara yang unconventional. Mengapa disebut gerilya, karena serangan yang dilakukan memang dengan cara gerilya: tidak tampak di permukaan, tiba-tiba menyerang dan kemudian menghilang.
Beriklan di media televisi, cetak, atau mass media lainnya adalah cara beriklan yang tampil di permukaan. Memperlihatkan keunggulan merek atau produk di hadapan publik dan tentu saja akan mudah terlihat oleh pesaing.
Strategi gerilya cocok bagi merek yang tergolong tidak memiliki bujet besar dalam beriklan. Termasuk juga pemain usaha kecil-menengah yang akan gemetaran tentunya jika berhadapan langsung dengan merek-merek raksasa.
Cara gerilya lebih pas karena lebih murah dan langsung ke individu. Contohnya seperti menyebarkan brosur, menyebarkan kartu nama, beriklan di sebuah film, beriklan di yellow pages, sampai menjadi pembicara seminar.
Di era internet sekarang ini cara yang bisa dilakukan misalnya melalui email dan media sosial. Anda bisa menemukan 200 senjata bergerilya ala Jay ini di situs gmarketing.com.
Jay sendiri mendefinisikan guerrilla marketing sebagai cara untuk mencapai target conventional dengan metode yang unconventional. Dengan pengertian ini, apa yang dibuat nyeleneh dan murah itu disebut sebagai guerrilla marketing.
Setelah meluncurkan buku Guerrilla Marketing, artikel-artikel Jay memang lebih fokus pada cara dan tips menjalankannya. Memang tidak ada sebuah konsep marketing yang ruwet untuk ide Jay ini. Yang ada hanya best practices dan pengalaman yang semakin memperkaya ide orang-orang marketing.
Guerrilla marketing memang bukan konsep yang harus diperdebatkan secara akademis di jurnal para doktor dan profesor. Mereka yang berorientasi pada konsep akan beranggapan bahwa guerrilla marketing adalah konsep tua yang tidak pas pada zaman sekarang. Pikiran ini juga muncul di benak saya ketika “orang tua” ini datang ke Indonesia sekitar empat tahun lalu.
Namun, akhirnya saya sadar bahwa tidaklah 100% tepat memperdebatkan konsep guerrilla marketing itu sendiri. Guerrilla marketing adalah sesuatu yang praktis, sehingga yang harus diperdebatkan adalah soal ide, kreativitas, dan kegilaan apa yang perlu dilakukan.
Jay kelihatannya cukup jeli melihat kelemahan ini hingga dia kemudian memperbarui bukunya dengan tambahan judul kecil: “cutting-edge strategies for the 21st century”.
Jay akhirnya tidak hanya sukses dengan bukunya yang terjual lebih dari 20 juta copy dan diterjemahkan ke dalam 62 bahasa. Jay juga sukses menanamkan attitude kepada orang-orang marketing tentang inovasi berpromosi dan bagaimana melawan conventional way promotion yang menghambur-hamburkan uang.
Generasi-generasi mendatang mungkin akan melupakan Jay dan bukunya Guerrilla Marketing. Namun, tanpa sadar ide dari Jay ini sebenarnya akan selalu hidup dan diwariskan oleh para merketer ke generasi-generasi selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar