Apabila aku sibuk, gunung memandangku
Apabila aku senggang, aku memandang gunung
Walau kelihatan sama, tapi tak sama
Karena kesibukan lebih rendah dari kesenggangan
Mitsuhiro menurunkan baris-baris sajak Tsai Wen, dalam novel Musashi, buku ke-4: Angin, karya Eiji Yoshikawa.
***
Dalam salah satu penerbangan Garuda yang saya tumpangi baru-baru ini, pramugari menyuguhi koran The Wall Street Journal (Friday-Sunday,
January 18-20, 2008). Satu tulisan pokok di halaman depan, judulnya
sangat menggelitik: “Can Asia escape drag of weak U.S.?” (oleh: Joanna
Slater & Antonio Regaland).
Begini paragraf pembukanya: “To escape woes in the U.S.,
investors have piled into shares in fast growing economies such as
China, India and Brazil. Now it looks like these markets might not offer
a hoped-for refuge.” Wow, betapa merananya jika para “pengungsi
modal” ini kehabisan tempat mengungsi! Di pelataran dunia yang makin
mendatar, tak ada lagi tempat lari atau sembunyi. Transparansi bukan
lagi soal pilihan dan ignorance adalah proses pembekuan.
Beberapa bulan terakhir, prediksi ekonomi AS rada suram. Para investor mulai bertanya apakah emerging markets mampu melepas gerbongnya (decouple)
dari rangkaian kereta ekonomi AS. Dan setelah itu mampu tumbuh terus
sesuai harapan walaupun AS sebagai lokomotif ekonomi dunia melemah.
Yang jadi soal, meski emerging markets itu memang semakin berdaya-tahan-mandiri-lentur (resilient),
namun pasar modalnya malah makin terhubung-erat dengan ekonomi AS.
Kekhawatiran soal resesi AS cukup mencekam dunia. Di awal tahun ini
saja, benchmark indexes di pasar saham Korea, Turki dan Brasil turun rata-rata 7 %, bahkan lebih.
Memang telah cukup lama AS dan Eropa Barat menjadi model pembangunan,
disusul Jepang, kemudian Korea, Taiwan dan Singapura. Sekarang ada
China, India, dan negara jiran Malaysia.
***
Lewat buah pikir Rene Girard tentang mimesis, hasrat segitiga (buku Sindhunata, Kambing Hitam, Teori Rene Girard, 2006), kita sadar bahwa homo economicus
bukan cuma makhluk yang secara ekonomis bisa berhitung rasional, tapi
juga makhluk yang memperjuangkan kepentingannya karena meniru keinginan
dan hasrat sesamanya. Pada dasarnya, masyarakat sangatlah rawan dan
mudah pecah, serta gampang terbenam krisis. Maklum, menurut Girard,
dalam masyarakat ini bertakhta rivalitas tiada habis, yang setiap saat
bisa menyulut kekerasan.
Mimesis adalah teori hasrat segitiga (triangular desire).
Masyarakat Adil Makmur (MAM) seperti diimpikan Bung Karno dalam banyak
pidatonya telah merasuk ke sanubari bangsa sebagai gambaran ideal. Kita
sebagai subjek punya gagasan ideal tentang MAM, inilah objek pemikiran
kita. Namun karena objek pikiran ini abstrak luar biasa, maka kita perlu
mediator sebagai perantara.
Kita sejak kecil menyerap nilai-nilai ideal, misalnya kepahlawanan (heroism). Namun karena konsep kepahlawanan sebagai obyek pikiran rada susah dicerna, maka kita butuh mediator yang berupa tokoh-tokoh (heroes).
Pangeran Diponegoro, Gajah Mada, sampai Batman, Superman dan Spiderman,
merekalah personifikasi sekaligus mediator kita untuk sampai ke
gambaran ideal konsep kepahlawanan.
Maka, hubungan kita dengan para tokoh tadi pada dasarnya adalah pola imitatio, peniruan. Seperti si kecil Joni yang ngotot
sama ibunya minta dibelikan kostum Spiderman, yang lalu sepanjang mal
berlagak laksana Spiderman betulan, bangga dan merasa gagah, meski
sesungguhnya cuma imitatio dari sang mediator.
Kita sebagai subjek punya gambaran ideal MAM
sebagai objek, dan AS adalah mediatornya. Dalam perjalanan waktu, bukan
lagi subjek, tetapi malahan mediatorlah yang menentukan objek bagi
subjek. Dan objek, yang tadinya dihasratkan oleh subjek, terjadi dan ada
karena penentuan dan pilihan mediator. Sampai di sini, hubungan
subjek-objek tidaklah dalam garis linear langsung, melainkan dalam
hubungan segitiga. Hubungan subjek-objek itu selalu harus lewat titik
ketiga, yakni mediator. Karena pada akhirnya mediatorlah yang kerap
menentukan dan memilihkan objek-objek bagi hasrat subjek, maka Rene
Girard sang filsuf, menyebut hubungan segitiga itu sebagai hasrat
segitiga (triangular desire).
***
The world is flat, Indonesia dan AS
ada dalam lingkungan yang semakin menyatu dan transparan. Gerak
rivalitas yang naluriah membuat situasinya bisa jadi makin kompleks.
Soalnya, bukan hanya karena mediator dan subjek yang saling berdekatan
dan bisa kontak langsung, tapi terlebih karena baik mediator maupun
subjek sama-sama mengingkari peniruannya, menjaga gengsi keaslian
dirinya, menyembunyikan imitasinya. Repotnya, justru karena saling jaga
gengsi inilah kebencian pun pecah. Dan rivalitas antar mereka tak
mungkin dihindari lagi. Hubungan “benci tapi rindu” ini memang repot.
Benci (karena gengsi dan iri) sekaligus rindu (karena kagum). Sangat
paradoksal.
Banyak soal yang perlu dicermati. Gunung memandangku, atau akulah yang memandang gunung. Kalau kita cuek, persoalan memandang kita. Kala kita peduli, kitalah yang memandang persoalan, dan mencari jalan keluar. (www.marketing.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar