Marketing.co.id – Ketika promosi gagal, yang kerap disalahkan adalah campaign yang kurang menarik, timing iklan yang tidak tepat, atau pemasangan di media yang salah. Padahal sejatinya tidak demikian. Lalu, salahnya di mana?
Kegagalan sebuah kegiatan promosi bisa disebabkan banyak faktor. Sering kali unsur marketing mix yang lain tidak mendukung. Contoh, karena pricing policy, atau produk belum beredar luas, atau mungkin place yang salah, dan sebagainya.
Sebagaimana dikatakan oleh Irfan Ramli, CEO Hakuhudo Indonesia, cara terbaik merumuskan strategi promosi adalah mencari tahu betul apa kebutuhan konsumen.
“Karena, kita harus tunduk pada konsumen,” ujarnya. Di Hakuhudo, prinsip yang utama dalam menjual kreativitas harus berbasis pada strategi. Dari mana strategi bisa dirancang, tentunya dari data. Setelah seluruh data terkumpul, dari situ akan terlihat kelebihan dan kekurangan klien.
Tantangan yang dihadapi dalam berpromosi saat ini ialah konsumen yang beragam. Pemetaan market, tidak cukup hanya dilihat dari satu sisi, seperti SES A, B, atau jenis kelamin, tetapi harus lebih spesifik.
Perilaku orang kaya di kota, belum tentu sama dengan yang di desa. Masing-masing harus mendapat penanganan yang customized.
Soal pemilihan media promosi, Irfan berujar, pihaknya selalu mengikuti perkembangan media yang ada, termasuk digital. Hanya saja, di Hakuhudo semua dipakai sesuai porsinya.
“Kami tidak ingin, lantaran tengah menjadi primadona, ikut-ikutan menawarkan digital digital kepada klien. Semua harus kembali berkaca pada karakteristik konsumennya,” jelas dia.
Sekalipun segmen menengah atas yang dibidik, tetapi bila lokasinya di daerah yang belum aware dengan digital, percuma saja mengeluarkan bujet untuk ke sana.
Irfan mengakui digitalisasi telah mengubah paradigma dalam berpromosi, termasuk IMC (Integrated Marketing Communication). “Tak bisa dibayangkan, bila saat ini ada digital magazine atau radio internet. Padahal dulu orang kalau mau bikin radio harus beli izin sampai miliaran, sekarang hanya dalam tempo singkat sudah jadi,” imbuh dia.
Dunia IMC yang dulu dikelilingi media konvensional, kini nampaknya harus berbenah. Perusahaan yang berminat terhadap digital marketing semakin banyak.
Bila saat ini anggaran untuk digital marketing baru 5%–10%, dalam lima tahun ke depan mungkin jumlahnya akan lebih dari itu. Tahun lalu, di Australia misalnya, bujet untuk digital marketing rata-rata sebesar 30%.
Seiring perkembangan channel digital, orang semakin jor-joran dalam berpromosi. Setiap dari mereka berpacu terus menunjukkan eksistensi mereknya. Namun, hal yang patut diwaspadai adalah perang promosi.
Cara yang tepat untuk menghadapi hal tersebut, jangan melawan secara frontal, tetapi cari sisi lain seperti menggunakan media yang berbeda, menonjolkan pesan yang berbicara tentang keunikan produk, dan lain-lain.
Salah satu contoh kasus yang layak diamati ialah pada iklan rokok. Lihat saja, meski mereka sama-sama berkompetisi, masing-masing memiliki cara yang berbeda dalam memengaruhi konsumen.
Pertempuran paling seru terlihat di produk telekomunikasi. Hampir setiap bulan, iklan mereka selalu berganti. Pesan yang dikomunikasikan mungkin sama, hanya formatnya yang diubah. Bila sudah begini, bujet harus siap meluber, dan mesti ekstra hati-hati dalam melangkah.
Clutter yang padat sering kali memaksa bujet promosi keluar lebih banyak, dibandingkan clutter yang masih renggang. Namun, bukan berarti bujet yang minim tidak bisa memecah clutter, semua tergantung kreativitas saja.
Untuk ke depan, Irfan menandaskan bahwa dirinya tidak berani menebak apa yang akan terjadi pada dunia promosi, sebab zaman berubah semakin cepat. Namun yang jelas, sekarang siapa pun wajib mempelajari digital dan menggali sebanyak-banyaknya potensi yang ada di dalamnya.
Bukan tidak mungkin nanti bila digital akan merasuk bukan saja dalam aktivitas promosi, tetapi di bauran pemasaran yang lain, atau malahan diganti dengan sesuatu yang lebih baru.
Fotografer : Asep Toni K.
Kegagalan sebuah kegiatan promosi bisa disebabkan banyak faktor. Sering kali unsur marketing mix yang lain tidak mendukung. Contoh, karena pricing policy, atau produk belum beredar luas, atau mungkin place yang salah, dan sebagainya.
Sebagaimana dikatakan oleh Irfan Ramli, CEO Hakuhudo Indonesia, cara terbaik merumuskan strategi promosi adalah mencari tahu betul apa kebutuhan konsumen.
“Karena, kita harus tunduk pada konsumen,” ujarnya. Di Hakuhudo, prinsip yang utama dalam menjual kreativitas harus berbasis pada strategi. Dari mana strategi bisa dirancang, tentunya dari data. Setelah seluruh data terkumpul, dari situ akan terlihat kelebihan dan kekurangan klien.
Tantangan yang dihadapi dalam berpromosi saat ini ialah konsumen yang beragam. Pemetaan market, tidak cukup hanya dilihat dari satu sisi, seperti SES A, B, atau jenis kelamin, tetapi harus lebih spesifik.
Perilaku orang kaya di kota, belum tentu sama dengan yang di desa. Masing-masing harus mendapat penanganan yang customized.
Soal pemilihan media promosi, Irfan berujar, pihaknya selalu mengikuti perkembangan media yang ada, termasuk digital. Hanya saja, di Hakuhudo semua dipakai sesuai porsinya.
“Kami tidak ingin, lantaran tengah menjadi primadona, ikut-ikutan menawarkan digital digital kepada klien. Semua harus kembali berkaca pada karakteristik konsumennya,” jelas dia.
Sekalipun segmen menengah atas yang dibidik, tetapi bila lokasinya di daerah yang belum aware dengan digital, percuma saja mengeluarkan bujet untuk ke sana.
Irfan mengakui digitalisasi telah mengubah paradigma dalam berpromosi, termasuk IMC (Integrated Marketing Communication). “Tak bisa dibayangkan, bila saat ini ada digital magazine atau radio internet. Padahal dulu orang kalau mau bikin radio harus beli izin sampai miliaran, sekarang hanya dalam tempo singkat sudah jadi,” imbuh dia.
Dunia IMC yang dulu dikelilingi media konvensional, kini nampaknya harus berbenah. Perusahaan yang berminat terhadap digital marketing semakin banyak.
Bila saat ini anggaran untuk digital marketing baru 5%–10%, dalam lima tahun ke depan mungkin jumlahnya akan lebih dari itu. Tahun lalu, di Australia misalnya, bujet untuk digital marketing rata-rata sebesar 30%.
Seiring perkembangan channel digital, orang semakin jor-joran dalam berpromosi. Setiap dari mereka berpacu terus menunjukkan eksistensi mereknya. Namun, hal yang patut diwaspadai adalah perang promosi.
Cara yang tepat untuk menghadapi hal tersebut, jangan melawan secara frontal, tetapi cari sisi lain seperti menggunakan media yang berbeda, menonjolkan pesan yang berbicara tentang keunikan produk, dan lain-lain.
Salah satu contoh kasus yang layak diamati ialah pada iklan rokok. Lihat saja, meski mereka sama-sama berkompetisi, masing-masing memiliki cara yang berbeda dalam memengaruhi konsumen.
Pertempuran paling seru terlihat di produk telekomunikasi. Hampir setiap bulan, iklan mereka selalu berganti. Pesan yang dikomunikasikan mungkin sama, hanya formatnya yang diubah. Bila sudah begini, bujet harus siap meluber, dan mesti ekstra hati-hati dalam melangkah.
Clutter yang padat sering kali memaksa bujet promosi keluar lebih banyak, dibandingkan clutter yang masih renggang. Namun, bukan berarti bujet yang minim tidak bisa memecah clutter, semua tergantung kreativitas saja.
Untuk ke depan, Irfan menandaskan bahwa dirinya tidak berani menebak apa yang akan terjadi pada dunia promosi, sebab zaman berubah semakin cepat. Namun yang jelas, sekarang siapa pun wajib mempelajari digital dan menggali sebanyak-banyaknya potensi yang ada di dalamnya.
Bukan tidak mungkin nanti bila digital akan merasuk bukan saja dalam aktivitas promosi, tetapi di bauran pemasaran yang lain, atau malahan diganti dengan sesuatu yang lebih baru.
Fotografer : Asep Toni K.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar