Hhmmm… bicara mengenai brand positioning, jelas bukan hal baru bagi para marketer. Positioning merupakan kewajiban paling hakiki dalam menentukan strategi marketing sebuah merek. Di antara positioning terdapat segmentation dan target market. Tanpa positioning, merek akan lari ke sana-ke mari, ibarat sapi tanpa tali.
Mengingat pentingnya positioning, maka tak ada salahnya jika kita membahas kembali satu kata ini. Nah, agar tidak bertele-tele dan menjadi gampang ditelaah, sesuai harfiahnya positioning itu diartikan sebagai memosisikan, dan brand positioning berarti memosisikan merek. Merek yang marketer ciptakan ingin diposisikan di mana dan sebagai apa.
Karena itu, brand positioning bukan sekadar menempatkan merek Anda ada di mana. Tetapi, harus menjadi bidikan untuk meraih citra dan nilai yang tepat di hati konsumen. Sehingga, brand positioning bisa juga dinyatakan sebagai langkah memosisikan merek Anda di hati pelanggan. Brand positioning yang kuat adalah yang bisa melengketkan citra dan nilai-nilai merek di mata pelanggan.
Di situlah sering kali marketer masuk dalam perangkap kesalahan yang tak disangka-sangka sebelumnya. Perangkap pertama, gray positioning atau positioning abu abu. Disebut abu abu karena positioning yang ditetapkan marketer tidak jelas. Ambil contoh, Sampoerna pernah memosisikan mereknya “Kami Memang Beda”. Positioning yang dicengkeramkan terhadap merek tersebut tidak mantap, samar-samar. Akhirnya, Sampoerna pun mengoreksi merek tersebut dengan positioning baru sebagai rokok tanpa saus.
Perangkap kedua, brand awareness. Banyak perusahaan atau marketer terlalu bernafsu membangun brand awareness, padahal brand positioning-nya masih berada di gray positioning. Artinya, bagaimana kita bisa meyakinkan orang lain sedangkan kita sendiri tidak tahu siapa diri kita. Naasnya, marketer begitu gembira menggelontorkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas, untuk sesuatu yang tidak dimengerti benar apa yang mereka pasarkan sebenarnya.
Apabila Anda sering menonton televisi pada tahun 1970-an, pastilah TVRI sebagai satu-satunya channel yang mengudara saat itu, mungkin Anda pun pernah menikmati iklan antiseptik merek Durol. Lewat iklan yang gencar di eranya, merek itu lumayan terkenal. Tapi, karena positioning-nya tidak kuat, begitu kompetitor masuk, Durol malah tergeser dan dipaksa keluar dari “ring pertandingan”. Pada dasarnya, hal ini disebabkan karena marketer hanya memahami selling concept. Konsumen dianggap mau membeli produk tersebut apabila dikomunikasikan melalui iklan dengan gencar. Ingat, iklan memang punya kekuatan tersendiri, namun bukan segalanya.
Perangkap ketiga, strategi promosi. Marketer sering salah tafsir dalam mempromosikan atribut produk yang sebetulnya tak terlalu berarti bagi konsumen. Apa yang dijanjikan kepada konsumen melalui aktivitas promosi harus mencitrakan brand positioning, bukan “bumbu-bumbu” yang dibutuhkan konsumen di dalam memutuskan pembelian. Yang menggelikan pernah melanda Mazda MR. Karena ditempeli label MR yang berarti “Mobil Rakyat”, maksud hati ingin membidik pasar skala besar, justru mobil tersebut kurang diminati. Apa yang berkaitan dengan rakyat dianggap kurang bernilai.
Lihatlah pula Tara Nasiku, merek nasi instan yang ditawarkan oleh Unilever Indonesia beberapa tahun lalu. Merek itu akhirnya kandas dari pasar karena strategi promosinya lebih mengedepankan atribut produk yang dianggap kurang penting oleh konsumen. Ini memang termasuk perangkap yang lumayan “mematikan”.
Perangkap keempat, over differentiation invesment. Perangkap ini juga harus dipahami betul oleh para marketer agar tidak sampai mengguyur gula ke lautan. Toh, selain tak akan kembali, gula yang dibuang itu tidak akan mengubah air laut menjadi manis, dan siapa pun bisa melakukannya. Maksudnya, berhati-hatilah dengan besaran investasi yang dikucurkan dalam rangka membuat perbedaan produk, namun produk itu mudah ditiru.
Jika ini terjadi, kembali lagi ke persoalan awal, marketer belum memahami makna positioning. Sebab, tujuan ditetapkan brand positioning adalah untuk menempuh jalur yang tepat, berbeda, yang akhirnya mampu menggerus market share pesaing, atau bahkan melemparkan pesaing keluar dari pasar. Tetapi, berinvestasi sebesar-besarnya untuk produk yang mudah ditiru jelas sebuah perangkap yang “membunuh diri sendiri”.
Untuk hal ini, Anda mungkin masih ingat dengan Mie & Mie. Merek mi instan tersebut mematok target penjualan senilai Rp 7,5 miliar di awal peluncurannya dengan biaya iklan yang luar biasa besar, yaitu hampir Rp 20 miliar. Wah, itu sebuah keputusan yang sangat berani. Padahal, yang dikampanyekan Mie & Mie itu mudah ditiru oleh kompetitor, termasuk Indofood dengan Chatzmie-nya. Akhirnya, Mie&Mie terpental di pasaran dan mati sebelum mengenyam hasilnya.
Perangkap kelima, competitor oriented. Sebaiknya sebuah merek tidak hanya “melawan” pesaing secara terus-menerus yang justru akan membuat lupa diri, lupa membangun mereknya. Padahal, di balik konsentrasinya terhadap pesaing itu ada sesuatu yang lebih penting, yaitu berorientasi pada konsumen. Berorientasi ke konsumen ialah satu langkah untuk memperkuat nilai merek. Satu merek yang barangkali tepat disebut demikian ialah Yesco. Merek permen kopi itu bermaksud menjatuhkan Kopiko dengan menyebut “Kopi itu bulat, bukan persegi”, tanpa positioning yang tepat. Hasilnya, sungguh buruk.
Perangkap keenam, repositioning. Mentang-mentang hanya repositioning, jangan dikira ini suatu hal yang sederhana. Repositioning sama sulitnya dengan menentukan positioning, bahkan kadang kala bisa lebih sukar. Sebab, positioning menyangkut “nyawa” merek, asosiasi konsumen terhadap merek tersebut. Salah-salah dalam melakukan repositioning membawa dampak yang dapat mematikan merek itu sendiri.
Namun demikian, repositioning juga amat diperlukan apabila merek tersebut diasumsikan buruk di mata konsumen. Harley-Davidson, misalnya. Apa Anda kira citranya dulu sebaik sekarang? Seyogyanya merek itu identik dengan preman, pria berambut panjang. Kini, seperti yang Anda lihat, positioning-nya telah berubah menjadi merek prestisius, idaman banyak orang, hanya bisa dimiliki orang-orang kaya, dan menangguk untung cukup besar.
Jadi, karena positioning menjadi organ tubuh pemasaran paling krusial, tidak bisa tidak marketer harus tepat dalam menetapkannya. Sebagai marketer, jadilah penembak jitu: pas menyasar segmen, tak meleset membidik target market, dan jitu dalam menetapkan positioning merek yang dipasarkan. Hindari perangkap-perangkap berbahaya bagi merek Anda. “Satu kaki” terperangkap, maka seluruh “tubuh” merek Anda akan “berlumuran darah”. Ingat itu! (www.marketing.co.id)
Mengingat pentingnya positioning, maka tak ada salahnya jika kita membahas kembali satu kata ini. Nah, agar tidak bertele-tele dan menjadi gampang ditelaah, sesuai harfiahnya positioning itu diartikan sebagai memosisikan, dan brand positioning berarti memosisikan merek. Merek yang marketer ciptakan ingin diposisikan di mana dan sebagai apa.
Karena itu, brand positioning bukan sekadar menempatkan merek Anda ada di mana. Tetapi, harus menjadi bidikan untuk meraih citra dan nilai yang tepat di hati konsumen. Sehingga, brand positioning bisa juga dinyatakan sebagai langkah memosisikan merek Anda di hati pelanggan. Brand positioning yang kuat adalah yang bisa melengketkan citra dan nilai-nilai merek di mata pelanggan.
Di situlah sering kali marketer masuk dalam perangkap kesalahan yang tak disangka-sangka sebelumnya. Perangkap pertama, gray positioning atau positioning abu abu. Disebut abu abu karena positioning yang ditetapkan marketer tidak jelas. Ambil contoh, Sampoerna pernah memosisikan mereknya “Kami Memang Beda”. Positioning yang dicengkeramkan terhadap merek tersebut tidak mantap, samar-samar. Akhirnya, Sampoerna pun mengoreksi merek tersebut dengan positioning baru sebagai rokok tanpa saus.
Perangkap kedua, brand awareness. Banyak perusahaan atau marketer terlalu bernafsu membangun brand awareness, padahal brand positioning-nya masih berada di gray positioning. Artinya, bagaimana kita bisa meyakinkan orang lain sedangkan kita sendiri tidak tahu siapa diri kita. Naasnya, marketer begitu gembira menggelontorkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas, untuk sesuatu yang tidak dimengerti benar apa yang mereka pasarkan sebenarnya.
Apabila Anda sering menonton televisi pada tahun 1970-an, pastilah TVRI sebagai satu-satunya channel yang mengudara saat itu, mungkin Anda pun pernah menikmati iklan antiseptik merek Durol. Lewat iklan yang gencar di eranya, merek itu lumayan terkenal. Tapi, karena positioning-nya tidak kuat, begitu kompetitor masuk, Durol malah tergeser dan dipaksa keluar dari “ring pertandingan”. Pada dasarnya, hal ini disebabkan karena marketer hanya memahami selling concept. Konsumen dianggap mau membeli produk tersebut apabila dikomunikasikan melalui iklan dengan gencar. Ingat, iklan memang punya kekuatan tersendiri, namun bukan segalanya.
Perangkap ketiga, strategi promosi. Marketer sering salah tafsir dalam mempromosikan atribut produk yang sebetulnya tak terlalu berarti bagi konsumen. Apa yang dijanjikan kepada konsumen melalui aktivitas promosi harus mencitrakan brand positioning, bukan “bumbu-bumbu” yang dibutuhkan konsumen di dalam memutuskan pembelian. Yang menggelikan pernah melanda Mazda MR. Karena ditempeli label MR yang berarti “Mobil Rakyat”, maksud hati ingin membidik pasar skala besar, justru mobil tersebut kurang diminati. Apa yang berkaitan dengan rakyat dianggap kurang bernilai.
Lihatlah pula Tara Nasiku, merek nasi instan yang ditawarkan oleh Unilever Indonesia beberapa tahun lalu. Merek itu akhirnya kandas dari pasar karena strategi promosinya lebih mengedepankan atribut produk yang dianggap kurang penting oleh konsumen. Ini memang termasuk perangkap yang lumayan “mematikan”.
Perangkap keempat, over differentiation invesment. Perangkap ini juga harus dipahami betul oleh para marketer agar tidak sampai mengguyur gula ke lautan. Toh, selain tak akan kembali, gula yang dibuang itu tidak akan mengubah air laut menjadi manis, dan siapa pun bisa melakukannya. Maksudnya, berhati-hatilah dengan besaran investasi yang dikucurkan dalam rangka membuat perbedaan produk, namun produk itu mudah ditiru.
Jika ini terjadi, kembali lagi ke persoalan awal, marketer belum memahami makna positioning. Sebab, tujuan ditetapkan brand positioning adalah untuk menempuh jalur yang tepat, berbeda, yang akhirnya mampu menggerus market share pesaing, atau bahkan melemparkan pesaing keluar dari pasar. Tetapi, berinvestasi sebesar-besarnya untuk produk yang mudah ditiru jelas sebuah perangkap yang “membunuh diri sendiri”.
Untuk hal ini, Anda mungkin masih ingat dengan Mie & Mie. Merek mi instan tersebut mematok target penjualan senilai Rp 7,5 miliar di awal peluncurannya dengan biaya iklan yang luar biasa besar, yaitu hampir Rp 20 miliar. Wah, itu sebuah keputusan yang sangat berani. Padahal, yang dikampanyekan Mie & Mie itu mudah ditiru oleh kompetitor, termasuk Indofood dengan Chatzmie-nya. Akhirnya, Mie&Mie terpental di pasaran dan mati sebelum mengenyam hasilnya.
Perangkap kelima, competitor oriented. Sebaiknya sebuah merek tidak hanya “melawan” pesaing secara terus-menerus yang justru akan membuat lupa diri, lupa membangun mereknya. Padahal, di balik konsentrasinya terhadap pesaing itu ada sesuatu yang lebih penting, yaitu berorientasi pada konsumen. Berorientasi ke konsumen ialah satu langkah untuk memperkuat nilai merek. Satu merek yang barangkali tepat disebut demikian ialah Yesco. Merek permen kopi itu bermaksud menjatuhkan Kopiko dengan menyebut “Kopi itu bulat, bukan persegi”, tanpa positioning yang tepat. Hasilnya, sungguh buruk.
Perangkap keenam, repositioning. Mentang-mentang hanya repositioning, jangan dikira ini suatu hal yang sederhana. Repositioning sama sulitnya dengan menentukan positioning, bahkan kadang kala bisa lebih sukar. Sebab, positioning menyangkut “nyawa” merek, asosiasi konsumen terhadap merek tersebut. Salah-salah dalam melakukan repositioning membawa dampak yang dapat mematikan merek itu sendiri.
Namun demikian, repositioning juga amat diperlukan apabila merek tersebut diasumsikan buruk di mata konsumen. Harley-Davidson, misalnya. Apa Anda kira citranya dulu sebaik sekarang? Seyogyanya merek itu identik dengan preman, pria berambut panjang. Kini, seperti yang Anda lihat, positioning-nya telah berubah menjadi merek prestisius, idaman banyak orang, hanya bisa dimiliki orang-orang kaya, dan menangguk untung cukup besar.
Jadi, karena positioning menjadi organ tubuh pemasaran paling krusial, tidak bisa tidak marketer harus tepat dalam menetapkannya. Sebagai marketer, jadilah penembak jitu: pas menyasar segmen, tak meleset membidik target market, dan jitu dalam menetapkan positioning merek yang dipasarkan. Hindari perangkap-perangkap berbahaya bagi merek Anda. “Satu kaki” terperangkap, maka seluruh “tubuh” merek Anda akan “berlumuran darah”. Ingat itu! (www.marketing.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar