Rabu, 04 Juni 2014

Globalisasi dan Hasrat Segitiga

Apabila aku sibuk, gunung memandangku
Apabila aku senggang, aku memandang gunung
Walau kelihatan sama, tapi tak sama
Karena kesibukan lebih rendah dari kesenggangan
Mitsuhiro menurunkan baris-baris sajak Tsai Wen, dalam novel Musashi, buku ke-4: Angin, karya Eiji Yoshikawa.
***
Dalam salah satu penerbangan Garuda yang saya tumpangi baru-baru ini, pramugari menyuguhi koran The Wall Street Journal (Friday-Sunday, January 18-20, 2008). Satu tulisan pokok di halaman depan, judulnya sangat menggelitik: “Can Asia escape drag of weak U.S.?” (oleh: Joanna Slater & Antonio Regaland).
Begini paragraf pembukanya: “To escape woes in the U.S., investors have piled into shares in fast growing economies such as China, India and Brazil. Now it looks like these markets might not offer a hoped-for refuge.” Wow, betapa merananya jika para “pengungsi modal” ini kehabisan tempat mengungsi! Di pelataran dunia yang makin mendatar, tak ada lagi tempat lari atau sembunyi. Transparansi bukan lagi soal pilihan dan ignorance adalah proses pembekuan.
Beberapa bulan terakhir, prediksi ekonomi AS rada suram. Para investor mulai bertanya apakah emerging markets mampu melepas gerbongnya (decouple) dari rangkaian kereta ekonomi AS. Dan setelah itu mampu tumbuh terus sesuai harapan walaupun AS sebagai lokomotif ekonomi dunia melemah.
Yang jadi soal, meski emerging markets itu memang semakin berdaya-tahan-mandiri-lentur (resilient), namun pasar modalnya malah makin terhubung-erat dengan ekonomi AS. Kekhawatiran soal resesi AS cukup mencekam dunia. Di awal tahun ini saja, benchmark indexes di pasar saham Korea, Turki  dan Brasil turun rata-rata 7 %, bahkan lebih.
Memang telah cukup lama AS dan Eropa Barat menjadi model pembangunan, disusul Jepang, kemudian Korea, Taiwan dan Singapura. Sekarang ada China, India, dan negara jiran Malaysia.
***
Lewat buah pikir Rene Girard tentang mimesis, hasrat segitiga (buku Sindhunata, Kambing Hitam, Teori Rene Girard, 2006), kita sadar bahwa homo economicus bukan cuma makhluk yang secara ekonomis bisa berhitung rasional, tapi juga makhluk yang memperjuangkan kepentingannya karena meniru keinginan dan hasrat sesamanya. Pada dasarnya, masyarakat sangatlah rawan dan mudah pecah, serta gampang terbenam krisis. Maklum, menurut Girard, dalam masyarakat ini bertakhta rivalitas tiada habis, yang setiap saat bisa menyulut kekerasan.
Mimesis adalah teori hasrat segitiga (triangular desire). Masyarakat Adil Makmur (MAM) seperti diimpikan Bung Karno dalam banyak pidatonya telah merasuk ke sanubari bangsa sebagai gambaran ideal. Kita sebagai subjek punya gagasan ideal tentang MAM, inilah objek pemikiran kita. Namun karena objek pikiran ini abstrak luar biasa, maka kita perlu mediator sebagai perantara.
Kita sejak kecil menyerap nilai-nilai ideal, misalnya kepahlawanan (heroism). Namun karena konsep kepahlawanan sebagai obyek pikiran rada susah dicerna, maka kita butuh mediator yang berupa tokoh-tokoh (heroes). Pangeran Diponegoro, Gajah Mada, sampai Batman, Superman dan Spiderman, merekalah personifikasi sekaligus mediator kita untuk sampai ke gambaran ideal konsep kepahlawanan.
Maka, hubungan kita dengan para tokoh tadi pada dasarnya adalah pola imitatio, peniruan. Seperti si kecil Joni yang ngotot sama ibunya minta dibelikan kostum Spiderman, yang lalu sepanjang mal berlagak laksana Spiderman betulan, bangga dan merasa gagah, meski sesungguhnya cuma imitatio dari sang mediator.
Kita sebagai subjek punya gambaran ideal MAM sebagai objek, dan AS adalah mediatornya. Dalam perjalanan waktu, bukan lagi subjek, tetapi malahan mediatorlah yang menentukan objek bagi subjek. Dan objek, yang tadinya dihasratkan oleh subjek, terjadi dan ada karena penentuan dan pilihan mediator. Sampai di sini, hubungan subjek-objek tidaklah dalam garis linear langsung, melainkan dalam hubungan segitiga. Hubungan subjek-objek itu selalu harus lewat titik ketiga, yakni mediator. Karena pada akhirnya mediatorlah yang kerap menentukan dan memilihkan objek-objek bagi hasrat subjek, maka Rene Girard sang filsuf, menyebut hubungan segitiga itu sebagai hasrat segitiga (triangular desire).
***
The world is flat, Indonesia dan AS ada dalam lingkungan yang semakin menyatu dan transparan. Gerak rivalitas yang naluriah membuat situasinya bisa jadi makin kompleks. Soalnya, bukan hanya karena mediator dan subjek yang saling berdekatan dan bisa kontak langsung, tapi terlebih karena baik mediator maupun subjek sama-sama mengingkari peniruannya, menjaga gengsi keaslian dirinya, menyembunyikan imitasinya. Repotnya, justru karena saling jaga gengsi inilah kebencian pun pecah. Dan rivalitas antar mereka tak mungkin dihindari lagi. Hubungan “benci tapi rindu” ini memang repot. Benci (karena gengsi dan iri) sekaligus rindu (karena kagum). Sangat paradoksal.
Banyak soal yang perlu dicermati. Gunung memandangku, atau akulah yang memandang gunung. Kalau kita cuek, persoalan memandang kita. Kala kita peduli, kitalah yang memandang persoalan, dan mencari jalan keluar. (www.marketing.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar