Senin, 07 Januari 2013

Ragam Teori Belajar dari para pakar

Sejatinya ada berbagai macam teori belajar yang telah dirumuskan dan di kemukakan oleh para pakar, baik berdasarkan pada ilmu jiwa daya, tanggapan, asosiasi, trial & error, Medan, Gestalt, Behaviorist dan lain sebagainya. Berikut akan diurai beberapa diantaranya saja, yang berdasarkan pada kebutuhan kita…
edu2
1. Teori Gestalt
Teori belajar Gestalt (Gestalt Teory) lahir di Jerman pada tahun 1912 yang dipelopori oleh Max Wertheimer. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Kohler dan Kofka dari Jerman, yang sekarang sudah tenar di dunia. Max Wertheimer meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Dari pengamatannya itu, ia menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah. Menurutnya, peserta didik seharusnya belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis.

Penelitian Max Wertheimer ini kemudian diikuti oleh tokoh lainnya, Wolf Kohler yang meneliti tentang insight. Pandangan Kohler ini bertentangan dengan pandangan Thorndike mengenai belajar, yang menganggap belajar sebagai proses trial and error. Kohler menyatakan bahwa belajar dan mencapai hasil belajar adalah suatu proses yang didasarkan pada insight. Setelah Kohler, Kurt Kofka pun ikut meneruskan teori belajar Gestalt ini. Kofka menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan. Begitulah akhirnya teori belajar Gestalt ini mengalami perkembangan dan penyempurnaan.

Gestalt dalam bahasa Jerman berarti whole configuration atau bentuk yang utuh, pola kesatuan dan keseluruhan. Maka kemudian artinya, Gestalt adalah ‘keseluruhan lebih berarti daripada bagian-bagian.’ Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Dalam belajar, seseorang atau peserta didik harus mampu menangkap makna dari hubungan antara bagian –materi- yang satu dengan bagian yang lainnya. Penangkapan makna hubungan inilah yang kemudian disebut dengan insight atau memahami, mengerti. Menurut pandangan Gestalt, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan-hubungan antara bagian dan keseluruhan.

Menurut teori ini, yang penting dalam belajar adalah adanya penyesuaian pertama yaitu memperoleh respons yang tepat untuk memecahkan problem yang dihadapi. Belajar, yang penting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, melainkan mengerti atau memperoleh insight (pemahaman, wawasan). Sifat-sifat belajar dengan insight adalah:
a. insight tergantung dari kemampuan dasar
b. insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan
c. insight hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa. Sehingga segala aspek yang perlu, dapat diamati.
d. insight adalah hal yang perlu dicari, tidak bisa jatuh dari langit
e. belajar dengan Insight dapat diulangi
f. insight sekali didapat, bisa digunakan untuk menghadapi situasi-situasi yang baru.

Teori belajar Gestalt menekankan pemahaman (insight) dan pengamatan sebagai suatu alternatif. Berkat pengalaman, seseorang yang belajar atau peserta didik akan mampu mencapai pengamatan yang benar-obyektif sebelum kemudian mencapai pengertian. Dalam teori Gestalt ditegaskan bahwa belajar itu pada hakikatnya merupakan penyesuaian terhadap lingkungan, yakni untuk memperoleh respon yang tepat. Dan, penemuan respon yang tepat bergantung pada strukturalisasi bahan yang tersedia di depan peserta didik atau seseorang yang belajar. Maka kemudian, mudah atau sulitnya masalah tergantung pada pengamatan. Berdasarkan hasil penelitian, insight memegang peranan penting, maka insight pun memiliki tempat yang penting dalam teori belajar Gestalt.

Menurut teori Gestalt, terdapat beberapa prinsip dalam belajar yang di antaranya adalah:
a. Belajar berdasarkan keseluruhan
Upaya menghubungkan suatu pelajaran dengan pelajaran yang lain sangat dianjurkan. Betapapun, mata pelajaran yang bulat akan lebih mudah dimengerti daripada bagian-bagiannya.
b. Belajar adalah suatu proses perkembangan
Manusia sebagai suatu organisme yang berkembang, kesediaan mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan jiwa batiniah, melainkan juga perkembangan karena lingkungan dan pengalaman.
c. Terjadi transfer
Pada prinsipnya, yang terpenting dalam belajar adalah penyesuaian pertama, yaitu memperoleh pemahaman, wawasan, kemampuan dan tanggapan yang tepat. Jika suatu kemampuan telah benar-benar dikuasai, maka dapat ditransfer atau dipindahkan untuk menguasai kemampuan yang lain. Dengan kata lain, kemampuan atau pemahaman itu dapat digunakan untuk mempelajari hal-hal lain. Belajar matematika misalnya, jika benar-benar telah dikuasai maka bisa digunakan dalam masalah jual beli, penghitungan bisnis. Demikian pula halnya dengan penguasaan tata bahasa Indonesia, dapat ditransfer atau digunakan untuk mempelajari grammar bahasa Inggris.
d. Peserta didik sebagai organisme keseluruhan
Sejatinya peserta didik itu tidak hanya belajar intelektualnya saja, tapi juga emosional dan jasmaniahnya. Dalam pembelajaran modern, selain mengajar guru juga dituntut untuk mendidik (membentuk pribadi para peserta didik).
e. Belajar harus dengan insight
Insight adalah saat dalam belajar di mana seseorang dapat memperoleh pengertian, pemahaman (insight) tentang sangkut paut dan hubungan-hubungan tertentu dalam unsur yang mengandung suatu problem. Misalnya, peristiwa banjir yang melanda suatu daerah. Peristiwa itu tidak dipandang berdiri sendiri, tetapi ada faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya banjir. Artinya, peristiwa banjir berhubungan dengan faktor-faktor lainnya.
f. Belajar lebih berhasil jika berhubungan dengan minat, keinginan dan tujuan
Keberhasilan belajar atau proses pembelajaran akan lebih terasa dan nyata jika belajar dan materi yang dipelajari itu berhubungan dengan apa yang diperlukan seseorang atau peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
g. Belajar adalah reorganisasi pengalaman
Belajar itu timbul jika seseorang menemui suatu kondisi atau soal baru dalam kehidupannya. Dalam menghadapi hal itu, ia akan menggunakan semua pengalaman yang telah dimilikinya. Seseorang mengalami reorganisasi pengalamannya. Misalnya, seseorang terkena api, kejadian ini akan menjadi pengalaman baginya. Seseorang akan merasa panas kena api. Kulitnya mengelupas akibat terbakar. Seseorang tersebut belajar dari pengalamannya bahwa kena api itu panas dan api bisa membakar kulit manusia. Karena pengalamannya itu, seseorang tersebut tidak akan mengulangi lagi untuk bermain-main dengan api.
h. Belajar berlangsung terus menerus
Kegiatan belajar tidak hanya berlangsung di sebuah lembaga pendidikan formal saja. Belajar adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Tidak hanya di sekolah atau lembaga pendidikan non formal lainnya. Belajar juga terjadi di luar sekolah, di lingkungan masyarakat dan jalur kehidupan seseorang. Peserta didik atau seseorang yang belajar dapat memperoleh pengetahuan/pengalamannya sendiri-sendiri di rumah atau di masyarakat. Pihak lain harus ikut membantunya. Pihak sekolah harus bekerja sama dengan orang tua di rumah dan di masyarakat dalam kehidupan sosial yang lebih luas, agar semua turut serta membantu perkembangan anak secara harmonis.
2. Teori R. Gagne
Teori ini didasari oleh asumsi bahwa belajar adalah proses yang sangat penting dalam perkembangan. Dan, perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne, bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar.
Terkait dengan belajar, Robert Gagne mendefinisikan:
a. belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan dan tingkah laku
b. belajar adalah pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi

Gagne mengemukakan bahwa belajar merupakan perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia secara terus menerus, yang bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan memengaruhi seseorang atau peserta didik sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu setelah ia mengalami situasi tadi.

Robert Gagne memiliki keyakinan bahwa belajar dipengaruhi oleh dua faktor yang saling berinteraksi, yaitu faktor dalam diri (internal) dan faktor di luar diri (eksternal). Dalam proses belajar dan atau penerimaan informasi, terjadi interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal seseorang. Kondisi internal adalah keadaan dalam diri seseorang yang diperlukan selama proses belajar untuk mencapai hasil belajar yang signifikan. Sedangkan kondisi eksternal yaitu rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi seseorang dalam proses pembelajaran.

Komponen dalam belajar menurut Gagne adalah (S) Stimulus dan (R) Respon. S adalah situasi yang memberi stimulus dan R adalah respon atas stimulus tersebut. Stimulus merupakan input yang berada di luar individu, sedangkan respon adalah outputnya, yang juga berada di luar individu sebagai hasil belajar yang bisa diamati.

Teori belajar R Gagne ini mengemukakan bahwa dalam belajar terdapat tiga tahap, yaitu (1) persiapan untuk belajar dengan melakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan dan mendapatkan kembali informasi, (2) pemerolehan dan unjuk perbuatan atau performansi (3) alih belajar, yaitu pengisyaratan untuk membangkitkan dan memberlakukan secara umum.
Menurut Robert Gagne, segala sesuatu yang dipelajari manusia dapat dibagi menjadi lima kategori yang disebut the domains of learning. Lima kategori atau domains of learning tersebut di antaranya adalah :
a. keterampilan motoris ( motor skill )
keterampilan motoris ini tentunya membutuhkan suatu koordinasi dari berbagai gerak badan. Yang termasuk kategori keterampilan motoris misalnya berolahraga atau main tenis, melempar bola, mengemudi mobil, menulis, mengetik dan lain sebagainya
b. kemampuan intelektual
kemampuan intelektual merupakan cara seseorang mendefinisikan segala hal terkait interaksinya dengan dunia luar. Dalam kegiatan memahami dan mendefinisikan ini biasanya individu menggunakan berbagai macam simbol. Dan, yang termasuk dalam kategori kemampuan intelektual misalnya membedakan huruf “m” dan “n”, menyebutkan tanaman-tanaman yang sejenis dan lain-lain
c. informasi verbal
dalam kehidupan, seseorang bisa belajar –mendapatkan informasi- dengan berbagai cara, salah satunya adalah informasi verbal. Melalui informasi verbal, seseorang mengalami penerimaan informasi –proses belajar- untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran berupa hasil belajar. Untuk dapat menjelaskan sesuatu hal, seseorang tentunya memerlukan inteligensi. Sehingga dengan otomatis, dalam menerima dan mencerna segala hal yang dipelajari, yang berupa informasi verbal ini, seorang individu tentunya sangat memerlukan inteligensi.
d. strategi kognitif
strategi kognitif merupakan organisasi keterampilan yang internal ( internal organized skill ) yang memerlukan kemampuan mengingat dan berpikir. Kemampuan ini berbeda dengan kemampuan intelektual, karena ditujukan ke dunia luar dan tidak bisa dipelajari hanya dengan berbuat satu kali. Hal ini memerlukan perbaikan secara terus-menerus.
e. sikap
sikap tidak dapat dipelajari dengan ulangan-ulangan, tidak tergantung ataupun dipengaruhi oleh hubungan verbal seperti halnya domain yang lain. Sikap sangat penting dalam proses belajar. Tanpa sikap, seorang individu tak bisa berhasil dengan baik dalam belajarnya.
3. Teori Behaviorisme
Teori belajar behaviorisme ini menekankan pada perubahan tingkah laku. Menurut teori ini, belajar adalah perubahan tingkah laku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret, yang merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan lingkungan dan berdasarkan pengalamannya.

Belajar merupakan akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Teori ini mengemukakan bahwa, yang terpenting dalam belajar adalah ‘input’ yang berupa stimulus dan ‘output’ yang berupa respon.

Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada peserta didik, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan, karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu, apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh peserta didik (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku dari peserta didik atau seseorang yang belajar.

Faktor lain yang dianggap penting oleh teori behaviorisme adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement), maka respon akan semakin kuat. Pun demikian halnya jika penguatan dikurangi atau bahkan dihilangkan (negative reinforcement), maka respon juga semakin kuat.

Ada beberapa tokoh dalam teori behaviorisme ini. Dan, beberapa tokoh kunci di antaranya adalah Thorndike, Ivan Pavlov, Skinner. Berikut akan tergambar sekilas pemikiran dari para tokoh tersebut.

1. Thorndike
Tokoh yang sangat terkenal mengembangkan teori behaviorisme adalah Thorndike. Dengan eksperimennya, ‘belajar pada binatang’ –juga berlaku bagi manusia- yang kemudian disebut dengan “trial and error’, Thorndike pun menghasilkan teori koneksionisme.

Thorndike melakukan percobaan penelitian pada seekor kucing yang dibuat lapar dan dimasukkan ke dalam kandang. Kandang itu diberi pintu yang dapat terbuka jika suatu pasak di pintu itu tersentuh. Dan, di luar kandang diletakkan sepiring makanan. Thorndike meneliti reaksi kucing tersebut. Mulanya, kucing itu bergerak kesana-kemari, mencoba-coba jalan untuk keluar melalui berbagai jeruji kandang. Lama-kelaman akhirnya secara kebetulan, tersentuhlah pasak pintu oleh salah satu kaki si kucing. Pintu kandang terbuka dan kucing akhirnya keluar menuju makanan. Percobaan itu diulang lagi. Tingkah laku kucing itu pun tetap sama seperti percobaan pertama. Hanya saja, waktu yang dibutuhkan untuk bergerak-gerak hingga akhirnya pintu kandang terbuka pun semakin singkat. Setelah dilakukan percobaan berulang-ulang, akhirnya kucing itupun tak perlu mencoba-coba cara membuka pintu kandang. Akan tetapi, kucing langsung menyentuh pasak pintu dan terus keluar mendapatkan makanan.
Thorndike pun menyimpulkan bahwa belajar itu melalui proses:
1. trial and error (mencoba-coba dan mengalami kegagalan)
2. law of effect; artinya bahwa segala tingkah laku yang berakibat pada situasi yang memuaskan (cocok dengan tuntutan keadaan) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya. Sedangkan segala tingkah laku yang berakibat tidak menyenangkan akan dihilangkan atau dilupakan.

Thorndike melihat bahwa organisme –termasuk juga manusia— sebagai mekanismus; hanya bergerak atau bertindak jika ada perangsang yang mempengaruhi dirinya. Menurut Thorndike, terjadinya otomatisme dalam belajar disebabkan adanya law of effect itu. Karena adanya law of effect, terjadilah hubungan (conection) atau asosiasi antara tingkah laku atau reaksi yang dapat mendatangkan sesuatu dengan hasilnya (effect). Karena adanya koneksi antara reaksi dengan hasilnya itu maka pemikiran dan teori Thorndike disebut juga koneksionisme.
Melalui penelitiannya yang melahirkan teori koneksionisme itulah, Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan dan tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkret, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkret yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun teori behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.
Berdasarkan penelitiannya itu pula Thorndike mengemukakan bahwa ada tiga hukum belajar, yaitu: (1) hukum efek; Hukum ini menyebutkan bahwa keadaan memuaskan menyusul respon memperkuat pautan antara stimulus dan tingkah laku. Sedangkan keadaan yang menjengkelkan memperlemah pautan itu.
(2) hukum latihan; Hukum ini menjelaskan bahwa pengalaman yang diulang-ulang akan memperbesar peluang timbulnya respon (tanggapan) yang benar.
(3) hukum kesiapan; Hukum ini melukiskan syarat-syarat yang menentukan keadaan yang disebut ‘memuaskan’ atau ‘menjengkelkan’ tersebut. Singkatnya, pelaksanaan tindakan sebagai respon terhadap suatu impuls yang kuat menimbulkan kepuasan, sedangkan menghalang-halangi pelaksanaan tindakan atau memaksanya, menimbulkan kejengkelan.

2. Ivan Pavlov
Setelah Thorndike, muncul kemudian Ivan Pavlov yang melanjutkan teori behaviorisme dengan penelitiannya terhadap binatang. Penelitian Ivan Pavlov ini dilakukan pada seekor anjing, dengan asumsinya bahwa manusia pun akan mengalami hal yang serupa.

Anjing akan mengeluarkan air liur setiap kali melihat atau mencium bau makanan. Maka, Ivan Pavlov mencoba membunyikan bel setiap kali akan menunjukkan makanan terhadap anjing. Suatu ketika, Pavlov membunyikan bel tanpa memperlihatkan makanan pada anjing. Setelah dibunyikan bel, ternyata anjing mengeluarkan air liurnya, meskipun makanan tidak ada. Hal ini otomatis menunjukkan bahwa perilaku individu dapat dikendalikan.

Artinya, belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu. Dengan berdasarkan percobaan dan penelitian ini pun akhirnya Ivan Pavlov menyerukan suatu teori conditioning,--yang merupakan kelanjutan dari koneksionisme dari Thorndike— yang masih dalam rumpun teori belajar behaviorisme.

3. Skinner
Masih kelanjutan Ivan Pavlov dalam teori belajar behaviorisme, tokoh Skinner pun juga mencoba melengkapi hasil penelitian dan percobaan dari tokoh sebelumnya. Skinner mencetuskan sebuah gagasan yang disebutnya dengan ‘operant conditioning’. Menurut tokoh ini, timbulnya tingkah laku itu lantaran adanya hubungan antara stimulus dengan respon.

Seseorang yang belajar dan/atau peserta didik yang dengan giat belajar serta dapat menyelesaikan soal-soal dalam ujian, maka guru memberikan penghargaan terhadap peserta didik tersebut berupa nilai yang tinggi, pujian atau bahkan hadiah. Berkat pemberian penghargaan ini, maka peserta didik akan belajar lebih giat dan bersemangat lagi. Hal ini menunjukkan bahwa, penguatan yang bersifat positif akan lebih baik, karena memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi peserta didik, sehingga ia ingin mengulang kembali respon yang ia berikan. Jadi, respon diperkuat dengan pemberian penghargaan berupa nilai yang tinggi dari kemampuannya menyelesaikan soal. Pemberian nilai adalah penerapan dari teori penguatan yang disebut ‘operant conditioning’, yang digagas oleh Skinner dan masih dalam rumpun teori belajar behaviorisme.

Pada dasarnya, yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

Dalam teori behaviorisme ini, Skinner mencetuskan hukum belajar berupa:
a. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
2. Teori Kognitivisme
Teori belajar kognitivisme adalah teori yang menekankan pada proses pengolahan informasi. Menuruit teori ini, belajar adalah proses interaksi antara individu dengan lingkungannya, dan hal ini berlangsung terus-menerus.
Perspektif yang dimiliki teori kognitivisme adalah, bahwa seseorang yang sedang belajar atau peserta didik memproses informasi atau bahan pelajaran dengan cara menerima, mengorganisir, menyimpan dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru diperoleh dengan pengetahuannya yang telah ada. Dengan demikian, teori belajar kognitivisme ini lebih menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Dalam teori kognitivisme ini terdapat beberapa prinsip belajar yang senyatanya telah dan masih dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dan pembelajaran. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu;
2. Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana;
3. Belajar dengan memahami lebih baik daripada menghafal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui peserta didik sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan apa yang telah diketahui sebelumnya;
4. Adanya perbedaan individu pada peserta didik harus diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar mereka. Perbedaan ini meliputi kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan sukses dan lain-lain
Ada beberapa tokoh yang mengembangkan teori belajar kognitivisme ini, di antaranya adalah Vytgosky, Bandura, Jean Piaget.

1. Vytgosky
Vytgosky adalah salah satu tokoh yang mengembangkan teori belajar kognitivisme. Vygotsky membedakan secara fundamental antara kegiatan berbasis stimulus-respons, alat dan bahasa. Ia juga berpendapat bahwa ada perbedaan antara konsep dan bahasa ketika seseorang masih belia, tetapi sejalan dengan perjalanan waktu, keduanya akan menyatu. Bahasa mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa. Dari awal risetnya tentang aturan dan perilaku tentang perkembangan penggunaan alat dan penggunaan tanda, Vygotsky berpaling ke proses simbolik dalam bahasa. Ia fokus pada struktur semantik dari kata-kata dan cara, bagaimana arti kata-kata berubah dari emosional ke konkret sebelum menjadi lebih abstrak. Karya-karya Vygotsky antara 1920-1930 memberikan penekanan bagaimana interaksi anak-anak dengan orang dewasa berkontribusi dalam pengembangan berbagai keterampilan.

Menurut Vygotsky, orang dewasa yang sensitif akan peduli terhadap kesiapan anak untuk tantangan baru, sehingga mereka dapat menyusun kegiatan yang cocok untuk mengembangkan kegiatan baru.

Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar peserta didik meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari lingkungan. Dan, pemerolehan pengetahuan seorang peserta didik bermula dari lingkup sosial, antar orang, serta kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi.

2. Albert Bandura
Selain Vygotsky, tokoh yang juga mengembangkan teori belajar kognitivisme adalah Albert Bandura. Menurut Bandura, lingkungan memang membentuk perilaku dan sebaliknya, perilaku pun membentuk lingkungan. Konsep ini disebutnya dengan determinisme respirokal, yakni proses yang mana dunia dan perilaku seseorang saling mempengaruhi. Masih menurut Bandura, kepribadian merupakan hasil dari interaksi tiga hal; lingkungan, perilaku dan proses psikologi seseorang. Proses psikologi ini sendiri berisi kemampuan untuk menselaraskan berbagai citra atau image dalam pikiran dan bahasa.
Didalam teorinya, Bandura menyebutkan bahwa ada dua hal penting yang sangat mempengaruhi perilaku manusia yakni ‘pembelajaran observasional’ atau yang lebih dikenal dengan teori pembelajaran sosial dan ‘regulasi diri’. Beberapa tahapan yang terjadi dalam pembelajaran observasional atau pembelajaran sosial adalah: (1) atensi atau perhatian, (2) retensi atau ingatan, (3) reproduksi, (4) motivasi.
Sedangkan ‘regulasi diri’ atau kemampuan mengontrol perilaku sendiri adalah salah satu dari sekian penggerak utama kepribadian manusia. Tiga tahap yang terjadi dalam proses regulasi diri yaitu:
i) pengamatan diri, yakni melihat diri sendiri serta perilakunya dan terus mengawasi
ii) penilaian, yakni membandingkan apa yang dilihat pada diri dan perilaku dengan standar ukuran tertentu
iii) respon diri, yakni proses memberi imbalan pada diri sendiri setelah berhasil melakukan penilaian sebagai respon terhadap diri sendiri
3. Jean Piaget
Piaget membedakan dua pengertian tentang belajar, yakni belajar dalam arti sempit dan belajar dalam arti luas. Menurut Jean Piaget, belajar dalam arti sempit adalah belajar yang hanya menekankan pada perolehan informasi baru dan pertambahan. Belajar dalam arti ini disebut dengan figuratif, suatu bentuk belajar yang pasif. Misalnya, anak yang belajar nama-nama ibu kota suatu negara, atau kegiatan anak yang menghafal angka. Sedangkan belajar dalam arti luas, atau yang disebut juga dengan operatif, adalah belajar untuk memperoleh dan menemukan struktur pemikiran yang lebih umum, yang dapat digunakan pada bermacam-macam situasi. Dalam keadaan belajar seperti ini, individu aktif mengkonstruksi struktur dari yang dipelajari. Misalnya, dalam menghafal nama-nama ibu kota negara, seorang anak juga mengerti hubungan antara kota-kota dan negara. Dalam hal ini, seorang individu atau peserta didik mengetahui suatu struktur yang lebih luas, yang tidak hanya terbatas pada situasi tertentu, sehingga pengertian itui dapat digunakan dalam situasi yang lain.
Dalam hal belajar, Jean Piaget menekankan pada kegiatan seseorang yang belajar atau peserta didik yang aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan. Hanya dengan keaktifan mengolah bahan, bertanya serta mengolah bahan secara kritis, seorang peserta didik akan dapat menguasai bahan yang dipelajari dengan baik. Dengan demikian, kegiatan yang aktif dalam proses pembelajaran itu sangat diutamakan. Bahkan, kegiatan peserta didik dalam mengolah bahan, mengerjakan soal, membuat kesimpulan dan merumuskan suatu kesimpulan dengan kata-katanya sendiri adalah kegiatan yang sangat dibutuhkan agar peserta didik sungguh membangun pengetahuannya. Tugas guru atau pembimbing adalah menyediakan alat-alat dan mendorong agar peserta didik menjadi aktif.
Pendapat dan berbagai prinsip yang dikemukakan Piaget ini kemudian melahirkan sebuah teori baru lagi dalam belajar, yakni teori konstruktivisme.
5. Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme ini merupakan kelanjutan dari teori kognitivisme yang pernah dikembangkan oleh Jean Piaget. Melalui berbagai analisa, riset dan pendapatnya dalam teori kognitivisme, Piaget pun sejatinya melahirkan sebuah teori konstruktivisme.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Berbeda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, konstruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya.
Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru. Apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
a. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
b. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
c. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
d. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
e. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten dengan pengetahuan ilmiah.
f. Bahan pelajaran yang disediakan perlu memiliki keterkaitan dengan pengalaman peserta didik. Hal ini dimaksudkan untuk menarik minat peserta didik dalam belajar.
*******
Bibliographical;
Djamarah, Saiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwanto, M. Ngalim. 1996. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sagala, Saiful. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Slameto. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta:Rineka Cipta.
Suparno, Paul. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piageat. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar