Selasa, 08 Januari 2013

Marketing Innovation: Selimuti Inovasi Pada Semua Elemen

Bila ingin perusahaan anda terus eksis maka jangan berhenti untuk berinovasi. Namun hal apa saja yang perlu disentuh oleh inovasi?
Berbicara tentang marketing innovation,  atau inovasi khususnya di marketing, maka pikiran orang biasanya langsung tertuju kepada diferensiasi produk. Padahal kenyatannya tidak lah demikian. Beberapa teori yang sempat dikemukakan oleh Peter Doyle&Susan Bridgewater dalam bukunya yang berjudul “Innovation in Marketing”, menunjukkan bahwa inovasi di marketing tidak terbatas pada produk saja melainkan juga bagaimana mencari saluran yang baru, menemukan proses marketing yang efektif, menciptakan segmen hingga kepada penciptaan konsep yang sesuai dengan tuntutan pasar.

Dari penjelasan tersebut bisa dimengerti bahwa inovasi itu tidak hanya wajib dilakukan pada satu elemen saja, melainkan di semua elemen marketing. Inovasi bisa memberikan nilai lebih jika sang innovator mampu menyediakan sesuatu yang berbeda dimomentum yang tepat.

Seperti yang dilakukan oleh Esia, masih ingat tarif murah telepon Esia yang hanya seharga Rp 3000-an per jam serta program talk time nya yang hanya Rp 100 per menit?. Gebrakan Esia yang berlangsung di pertengahan tahun 2006 itu seolah menjungkirbalikan operator lain yang waktu itu tengah bersaing di kisaran tarif Rp 1000-1500 per menit.

Meski hanya bermain di pasar CDMA, namun inovasi tersebut sempat membuat pasar telekomunikasi geger. Buktinya banyak dari operator lain yang kemudian mencari celah untuk meniru gebrakan Esia tersebut.

Ungkap Deputy President Director PT. Bakrie Telecom, Tbk, Erik Meijer Destructive Innovation adalah kata kuncinya. Dalam berinovasi, Esia selalu berusaha agar inovasi yang dibuat bisa mengganggu pasar secara positif, atau istilahnya menjadi tren.

Dia berujar, destructive innovation bukan hanya sekadar strategi marketing di Esia, namun telah menjadi acuan berpikir yang ditanam pada setiap tim di berbagai divisi. “Di sini tidak hanya divisi marketing, namun semua karyawan di level apapun wajib membuat inovasi dalam skala besar maupun kecil. Ini sudah membudaya di Esia,” katanya.

Esia termasuk perusahaan yang menganut prinsip participate management. “Sehingga dalam sehari-hari, kami selalu membiasakan diri dengan sharing, bisa lewat bicara langsung, email dan lain-lain. Semua serba transparan. Begitu juga untuk karyawan yang ingin menyampaikan idenya, tidak peduli mereka berasal dari divisi manapun dan ditujukan untuk divisi apapun, jika memang ide itu ternyata ‘klop’ maka karyawan itu pantas mendapat reward,” jelas Erik.
Selain budaya destructive innovation, Erik juga tidak menolak untuk mengatakan bahwa riset dan pengembangan (R&D) memiliki pengaruh yang besar dalam setiap inovasi marketing yang ditelurkan.

“Kami sering memantau perkembangan pasar telekomunikasi luar negeri untuk kemudian diteliti apakah bisa diterapkan di Indonesia atau tidak. Tentunya ini didasari lewat kebutuhan konsumen dalam negeri yang sesuai dengan segmentasi kami,” jelas dia.

Ditegaskan oleh Erik, berinovasi di Esia adalah suatu keharusan yang wajib dipenuhi, karena tanpa inovasi sulit rasanya bagi perusahaan baru seperti Esia untuk dapat mengejar para pesaing yang sudah lebih dahulu berlari jauh.

Untuk itu Erik mengaku setiap tahun pihaknya selalu menggelontorkan biaya sekitar 200 juta dolar yang digunakan untuk membiayai semua aspek yang terkait dengan inovasi. Mulai dari R&D hingga teknologi.

Soal teknologi, diklaim olehnya bahwa Esia memiliki teknologi yang canggih, bukan saja di Indonesia namun juga di dunia. “Sebab itu kami mudah untuk mewujudkan apapun yang dianggap tidak mungkin oleh industri namun menjadi mungkin oleh kami. Seperti misalnya nomor suka-suka yang diluncurkan belum lama ini, inovasi tersebut merupakan yang pertama di dunia, karena belum pernah ditemukan ada operator yang berani melakukan hal ini di negara manapun” tegas dia.

Bila melihat inovasi di Esia, kita sering dihadapkan bahwa hanya layanan dan tarif murah saja yang menjadi perhatian di perusahaan milik Grup Bakrie ini. Namun tentu kenyataannya tidak demikian,karena dalam banyak hal seperti produk pun disentuh, misalnya, dengan meluncurkan handphone Esia Hidayah, handphone murah seharga Rp 299 ribu, handphone tematik serta telepon non kabel pertama di Indonesia bernama Wifone.

Tanamkan Budaya Sumbang Ide
Lain ladang, lain ilalang kira-kira begitulah kata pepatah untuk menggambarkan suatu perbedaan yang dimiliki masing-masing tempat. Sama halnya dengan perusahaan, meski tujuannya sama namun untuk mencapainya, tentu masing-masing memiliki cara yang berbeda.
Seperti yang dilakukan oleh Agung Podomoro Group (APG). Perusahaan properti ini memiliki cara tersendiri dalam berinovasi. Cara yang paling sering ditunjukkan oleh APG, adalah keseringannya dalam membuat inovasi yang berada di luar ekspektasi pasar. Bukan tanpa sebab kemampuan ini bisa muncul. Semua itu berkat pembangunan budaya sumbang ide yang sejak lama berlangsung di lingkungan kerja APG.

Menurut Indra Widjaja Antono, Marketing Director Agung Podomoro Group (APG), di tempatnya bekerja sekarang, semua staf di divisi marketing mulai dari level bawah hingga atas wajib menyumbang satu ide kepada atasannya setiap hari. “Bila tidak ada hari ini maka dua hari ke depan harus menyumbang dua ide untuk membayar hutang di hari sebelumnya, begitu seterusnya,” ujar dia.

Menurutnya ini penting, karena dengan begitu karyawan menjadi terbiasa untuk selalu berpikir kreatif dan berani menerima tantangan setiap saat. “Setelah semua ide terkumpul, biasanya setiap bulan atau tahun ada tim khusus yg akan meninjau semua ide tersebut, apakah ada ide yang affordable untuk dipakai atau tidak sama sekali,” jelas dia.

Dengan demikian tutur Indra, tim nya tidak akan pernah mengalami ‘kosong ide’ ketika diminta untuk melakukan inovasi di bidang apapun. Sedikit saran katanya, dalam merancang sebuah inovasi khususnya di bidang Marketing maka hal pertama yang wajib diperhatikan adalah dukungan dari aspek lingkungan terhadap inovasi kita. Kedua, segmentasi inovasi harus jelas ditujukan kepada siapa. Ketiga, pandai melihat momentum sehingga inovasi yang terlahir tidak menjadi sia-sia

Keempat, setelah melihat momentum maka kita wajib melihat aktivitas yang dilakukan pesaing seperti apa. Dan kelima, pihak perusahaan harus jeli melihat dan mengapresiasi sang innovator yang menyumbang ide-ide brilian. Ini penting Agar sang innovator merasa di hargai dan di motivasi untuk terus melakukan hal yang sama setiap waktunya.

Di APG sekecil apapun ide pasti akan dihargai. Bahkan sudah seperti undang-undang dasar di sini bila ada ide dari setiap karyawan, maka mereka wajib bukan hanya menyampaikan, namun juga harus mendalaminya. “Ini yang kami sebut dengan continue improvement,” imbuh dia.

Karena selama mereka mau bersusah payah untuk mendalami ide yang didapat meski kenyataannya nanti tidak dipakai, perusahaan akan terus mendukung dan memotivasi si karyawan yang bersangkutan.

Menyinggung soal budget, yang sering dianggap sebagai penghambat orang untuk berinovasi, Indra berkomentar bahwa itu tidak selalu benar. Menurut dia tidak selamanya budget menjadi batu sandungan dalam berinovasi. Sebab itu dirinya sering menyampaikan kepada para staff nya, bahwa sebelum merancang inovasi, orang harus menentukan dengan jelas dahulu segmentasi, momentum dan target yang disasar.

Begitu juga dengan jumlah biaya yang dibutuhkan. Misalnya kalau inovasi tersebut ditujukan hanya untuk menjaga loyalitas dari komunitas orang yang tinggal di apartemen APG, maka tidak perlu mengglontorkan biaya yang jor-joran. “Terkecuali bila itu menyangkut campaign atau launching produk baru” imbuh dia.
Ini artinya si inovator harus jeli melihat kesesuaian antara budget dengan inovasi yang hendak diusungnya.

Lanjut Indra, inovasi bisa berhasil bila mampu menggabungkan beberapa strategi menjadi satu. Ramuan yang pas sering dipakai oleh APG adalah memadukan strategi Blue Ocean dengan keempat faktor penentu Inovasi sepeti yang telah dijelaskan di atas.

“Tidak dipungkiri kami sering memakai strategi blue ocean untuk menggempur pesaing-pesaing kami. Seperti konsep Back to Teh City yang ditelurkan oleh APG sekarang. Namun, tidak semua hal kami kenakan Blue Ocean saja karena semua harus disesuaikan dengan kondisinya, karena itu memadukan keempat factor penentu inovasi dengan blue Ocean adalah jawaban yang pas menurut kami dalam merangsek pasar,” tutur dia.

Selain paduan blue ocean dengan keempat faktor inovasi, hal lain yang harus dipelajari oleh para pelaku industri adalah memperhatikan semua elemen yang terkait di bidang marketing. Sering dijumpai bahwa inovasi di bidang properti itu kelihatannya hanya mampu bermain di sisi harga dan produk saja, namun di APG tidaklah demikian. Hal lain seperti campaign misalnya juga menjadi bagian yang terus mendapatkan sentuhan.

Seperti kegiatan membangun brand awareness yang dilakukan APG lewat lewat tayangan interaktif di Metro TV yang disiarkan setiap Sabtu pagi. “Bukan tanpa alasan APG membuat acara interaktif di media televisi” ujar Indra. Menurutnya ini semata-mata bertujuan agar brand equity APG terus menancap kuat sehingga kelak di pikiran setiap orang tertanam bahwa untuk membeli properti pilihannya pasti ke APG.

Media televisi merupakan media yang dinilai pas untuk membangun brand awareness orang terhadap APG. Karena TV bisa memvisualisasikan produk secara lengkap dan jelas mulai dari desain, suasana tinggal hingga harga. “Selain itu TV juga menyediakan fasilitas yang memungkinkan kami bisa langsung berinteraktif kepada calon konsumen,” jelas Indra.

Interaktif itu penting, karena properti adalah produk yang humanis, sehingga sentuhan yang diberikan harus lebih daripada produk lainnya. “Disamping itu kami juga sudah mensurvei bahwa orang Indonesia itu masih lemah untuk menjabarkan isi dari sebuah tulisan, artinya apa? orang Indonesia cenderung sulit memahami sebuah produk hanya dari iklan yang berisi ulasan saja tanpa ada unsur visualisasinya. Mereka lebih paham lewat visualisasi dan gerak apalagi ditambah interaktif langsung,” jelas dia..

Selain tayangan televisi, APG juga melakukan campaign lewat iklan di Bioskop. “Ini sudah berlangsung sejak tiga bulan lalu,” ungkap Indra. Bioskop dipilih, karena merupakan tempat dimana orang biasa bersantai.Dengan kondisi tersebut diharapkan komunikasi iklan yang disampaikan mampu meyakinkan dan bisa cepat dicerna.
Ia mengungkapkan selain Bisokop, APG akan melakukan campign lewat edukasi di komunitas-komunitas seperti komunitas sepeda, senam dan lain-lain. Edukasinya berupa pagelaran even bersepeda bersama di lingkungan Podomoro City,senam dan sebagainya.
“Lewat kegiatan ini kami berharap orang menjadi sadar bahwa banyak hal menyenangkan yang bisa dilakukan dengan hidup dilingkungan apartemen APG,” kata dia.
Melihat dari beberapa konsep properti yang diusung APG memang patut perusahaan ini diacungi jempol. Bayangkan disaat para pengembang lain sibuk membangun properti di pinggiran kota, APG malah melawan arus dengan mengusung konsep “Back to Teh City“. Bahkan tren apartemen bagi kaum mahasiswa yang sedang marak di industri properti kini, oleh banyak pihak diyakini APG lah yang pertama kali menghembuskannya lewat Kalibata Residence dan Mediterania.

Untuk hal ini Indra menjelaskan, bahwa itu hanya kebetulan saja terjadi, namun pada prinsipnya dalam berinovasi APG senantiasa berusaha menyajikan sesuatu yang berbeda dari para pesaingnya. Berbeda disini, maksudnya bahwa setiap strategi yang dijalankan APG, diusahakan agar tidak terbaca oleh para pesaing dan selalu melebihi ekspektasi orang.
Misalnya seperti apartemen bagi mahasiswa, dengan harga 180 juta-an kala itu, APG berani menyediakan fasilitas apartemen seharga 500 juta ke atas. Seperti kolam renang Olympic, dan gym, fasilitas wi fi

Berinovasi Tanpa Takut Salah
Bila Esia sukses dengan destructive innovation nya, juga APG yang menanamkan budaya sumbang ide. Maka di Garuda Food beda lagi. Di perusahaan berlogo burung garuda ini senantiasa menanamkan budaya berinovasi tanpa merasa takut untuk berbuat salah kepada karyawannya. “Sejauh inovasi dilakukan sesuai dengan proses dan prosedur yang tepat,” ujar Head of Corporate Marketing PT Garudafood Putra Putri Jaya, Budiman

Menurut dia inovasi di tempatnya termasuk hal yang kritikal mengingat persaingan ketat yang berlangsung di industri consumer goods sekarang. Tambahan lawan yang dihadapi umumnya para pemain-pemain lama yang besar.

“Untuk itu kami selalu berusaha untuk menjadi pemimpin dalam inovasi. Karena tanpa semangat ini kami pasti sudah jauh tertinggal oleh lawan-lawan kami yang sudah lebih dahulu menjadi besar serta terjun ke bisnis ini,” urai dia.
Harus diakui memang bahwa dengan semangat itu Garudafood sudah menjadi pemain yang terus diperhitungkan di kelas consumer goods hingga sekarang. Salah satu inovasi teranyarnya ialah lewat minuman teh rasa buah, Mountea.
Mountea merupakan minuman baru yang berhasil merangsek pasar minuman teh dengan pangsa pasar yang mencapai 70 persen lebih sejak mulai diluncurkan. Gara-gara Mountea juga, telisik punya telisik para pemain minuman teh yang sudah lama eksis sempat gerah melihat kehadiran Mountea di pasar.
Kesuksesan Mountea kala itu bukan hanya dari segi diferensiasi produk yang menawarkan rasa berbeda dari minuman teh lainnya, namun juga kekuatan distribusi dan inovasi dalam campaign turut memegang andil besar dalam membesarkan merek minuman cup ini.
Hal ini diamini oleh Budiman dengan mengatakan bahwa inovasi Garudafood tidak terbatas pada produk saja. Melainkan seluruh elemen marketing mix, termasuk proses dan strategi, serta engineering. Karena bila sebuah perusahaan sukses berinovasi diproses dan teknologi, maka akan ada inovasi produk yang baru dan berkualitas pula.
(Majalah MARKETING/Andri Darmawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar