Sejatinya ada berbagai macam teori belajar yang telah
dirumuskan dan di kemukakan oleh para pakar, baik berdasarkan pada ilmu
jiwa daya, tanggapan, asosiasi, trial & error, Medan,
Gestalt, Behaviorist dan lain sebagainya. Berikut akan diurai beberapa
diantaranya saja, yang berdasarkan pada kebutuhan kita…
1. Teori Gestalt
Teori belajar Gestalt (Gestalt Teory)
lahir di Jerman pada tahun 1912 yang dipelopori oleh Max Wertheimer.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh Kohler dan Kofka dari Jerman, yang
sekarang sudah tenar di dunia. Max Wertheimer meneliti tentang
pengamatan dan problem solving. Dari pengamatannya itu, ia
menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah. Menurutnya, peserta
didik seharusnya belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis.
Penelitian Max Wertheimer ini kemudian diikuti oleh tokoh lainnya, Wolf Kohler yang meneliti tentang insight. Pandangan Kohler ini bertentangan dengan pandangan Thorndike mengenai belajar, yang menganggap belajar sebagai proses trial and error. Kohler menyatakan bahwa belajar dan mencapai hasil belajar adalah suatu proses yang didasarkan pada insight.
Setelah Kohler, Kurt Kofka pun ikut meneruskan teori belajar Gestalt
ini. Kofka menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan.
Begitulah akhirnya teori belajar Gestalt ini mengalami perkembangan dan
penyempurnaan.
Gestalt dalam bahasa Jerman berarti whole configuration
atau bentuk yang utuh, pola kesatuan dan keseluruhan. Maka kemudian
artinya, Gestalt adalah ‘keseluruhan lebih berarti daripada
bagian-bagian.’ Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau
peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang
terorganisasikan. Dalam belajar, seseorang atau peserta didik harus
mampu menangkap makna dari hubungan antara bagian –materi- yang satu
dengan bagian yang lainnya. Penangkapan makna hubungan inilah yang
kemudian disebut dengan insight atau memahami, mengerti. Menurut pandangan Gestalt, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan-hubungan antara bagian dan keseluruhan.
Menurut
teori ini, yang penting dalam belajar adalah adanya penyesuaian pertama
yaitu memperoleh respons yang tepat untuk memecahkan problem yang
dihadapi. Belajar, yang penting bukan mengulangi hal-hal yang harus
dipelajari, melainkan mengerti atau memperoleh insight (pemahaman, wawasan). Sifat-sifat belajar dengan insight adalah:
a. insight tergantung dari kemampuan dasar
b. insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan
c. insight hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa. Sehingga segala aspek yang perlu, dapat diamati.
d. insight adalah hal yang perlu dicari, tidak bisa jatuh dari langit
e. belajar dengan Insight dapat diulangi
f. insight sekali didapat, bisa digunakan untuk menghadapi situasi-situasi yang baru.
Teori belajar Gestalt menekankan pemahaman (insight)
dan pengamatan sebagai suatu alternatif. Berkat pengalaman, seseorang
yang belajar atau peserta didik akan mampu mencapai pengamatan yang
benar-obyektif sebelum kemudian mencapai pengertian. Dalam teori Gestalt
ditegaskan bahwa belajar itu pada hakikatnya merupakan penyesuaian
terhadap lingkungan, yakni untuk memperoleh respon yang tepat. Dan,
penemuan respon yang tepat bergantung pada strukturalisasi bahan yang
tersedia di depan peserta didik atau seseorang yang belajar. Maka
kemudian, mudah atau sulitnya masalah tergantung pada pengamatan.
Berdasarkan hasil penelitian, insight memegang peranan penting, maka insight pun memiliki tempat yang penting dalam teori belajar Gestalt.
Menurut teori Gestalt, terdapat beberapa prinsip dalam belajar yang di antaranya adalah:
a. Belajar berdasarkan keseluruhan
Upaya
menghubungkan suatu pelajaran dengan pelajaran yang lain sangat
dianjurkan. Betapapun, mata pelajaran yang bulat akan lebih mudah
dimengerti daripada bagian-bagiannya.
b. Belajar adalah suatu proses perkembangan
Manusia
sebagai suatu organisme yang berkembang, kesediaan mempelajari sesuatu
tidak hanya ditentukan oleh kematangan jiwa batiniah, melainkan juga
perkembangan karena lingkungan dan pengalaman.
c. Terjadi transfer
Pada
prinsipnya, yang terpenting dalam belajar adalah penyesuaian pertama,
yaitu memperoleh pemahaman, wawasan, kemampuan dan tanggapan yang tepat.
Jika suatu kemampuan telah benar-benar dikuasai, maka dapat ditransfer
atau dipindahkan untuk menguasai kemampuan yang lain. Dengan kata lain,
kemampuan atau pemahaman itu dapat digunakan untuk mempelajari hal-hal
lain. Belajar matematika misalnya, jika benar-benar telah dikuasai maka
bisa digunakan dalam masalah jual beli, penghitungan bisnis. Demikian
pula halnya dengan penguasaan tata bahasa Indonesia, dapat ditransfer
atau digunakan untuk mempelajari grammar bahasa Inggris.
d. Peserta didik sebagai organisme keseluruhan
Sejatinya
peserta didik itu tidak hanya belajar intelektualnya saja, tapi juga
emosional dan jasmaniahnya. Dalam pembelajaran modern, selain mengajar
guru juga dituntut untuk mendidik (membentuk pribadi para peserta
didik).
e. Belajar harus dengan insight
Insight adalah saat dalam belajar di mana seseorang dapat memperoleh pengertian, pemahaman (insight) tentang sangkut paut dan hubungan-hubungan tertentu dalam unsur yang mengandung suatu problem.
Misalnya, peristiwa banjir yang melanda suatu daerah. Peristiwa itu
tidak dipandang berdiri sendiri, tetapi ada faktor lainnya yang
menyebabkan terjadinya banjir. Artinya, peristiwa banjir berhubungan
dengan faktor-faktor lainnya.
f. Belajar lebih berhasil jika berhubungan dengan minat, keinginan dan tujuan
Keberhasilan
belajar atau proses pembelajaran akan lebih terasa dan nyata jika
belajar dan materi yang dipelajari itu berhubungan dengan apa yang
diperlukan seseorang atau peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
g. Belajar adalah reorganisasi pengalaman
Belajar
itu timbul jika seseorang menemui suatu kondisi atau soal baru dalam
kehidupannya. Dalam menghadapi hal itu, ia akan menggunakan semua
pengalaman yang telah dimilikinya. Seseorang mengalami reorganisasi
pengalamannya. Misalnya, seseorang terkena api, kejadian ini akan
menjadi pengalaman baginya. Seseorang akan merasa panas kena api.
Kulitnya mengelupas akibat terbakar. Seseorang tersebut belajar dari
pengalamannya bahwa kena api itu panas dan api bisa membakar kulit
manusia. Karena pengalamannya itu, seseorang tersebut tidak akan
mengulangi lagi untuk bermain-main dengan api.
h. Belajar berlangsung terus menerus
Kegiatan
belajar tidak hanya berlangsung di sebuah lembaga pendidikan formal
saja. Belajar adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus dan
berkesinambungan. Tidak hanya di sekolah atau lembaga pendidikan non
formal lainnya. Belajar juga terjadi di luar sekolah, di lingkungan
masyarakat dan jalur kehidupan seseorang. Peserta didik atau seseorang
yang belajar dapat memperoleh pengetahuan/pengalamannya sendiri-sendiri
di rumah atau di masyarakat. Pihak lain harus ikut membantunya. Pihak
sekolah harus bekerja sama dengan orang tua di rumah dan di masyarakat
dalam kehidupan sosial yang lebih luas, agar semua turut serta membantu
perkembangan anak secara harmonis.
2. Teori R. Gagne
Teori
ini didasari oleh asumsi bahwa belajar adalah proses yang sangat
penting dalam perkembangan. Dan, perkembangan merupakan hasil kumulatif
dari pembelajaran. Menurut Gagne, bahwa dalam pembelajaran terjadi
proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan
keluaran dalam bentuk hasil belajar.
Terkait dengan belajar, Robert Gagne mendefinisikan:
a. belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan dan tingkah laku
b. belajar adalah pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi
Gagne
mengemukakan bahwa belajar merupakan perubahan yang terjadi dalam
kemampuan manusia secara terus menerus, yang bukan hanya disebabkan oleh
proses pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus
bersama dengan isi ingatan memengaruhi seseorang atau peserta didik
sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu setelah ia mengalami situasi tadi.
Robert
Gagne memiliki keyakinan bahwa belajar dipengaruhi oleh dua faktor yang
saling berinteraksi, yaitu faktor dalam diri (internal) dan faktor di
luar diri (eksternal). Dalam proses belajar dan atau penerimaan
informasi, terjadi interaksi antara kondisi-kondisi internal dan
kondisi-kondisi eksternal seseorang. Kondisi internal adalah keadaan
dalam diri seseorang yang diperlukan selama proses belajar untuk
mencapai hasil belajar yang signifikan. Sedangkan kondisi eksternal
yaitu rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi seseorang dalam
proses pembelajaran.
Komponen dalam belajar
menurut Gagne adalah (S) Stimulus dan (R) Respon. S adalah situasi yang
memberi stimulus dan R adalah respon atas stimulus tersebut. Stimulus
merupakan input yang berada di luar individu, sedangkan respon adalah
outputnya, yang juga berada di luar individu sebagai hasil belajar yang
bisa diamati.
Teori belajar R Gagne ini
mengemukakan bahwa dalam belajar terdapat tiga tahap, yaitu (1)
persiapan untuk belajar dengan melakukan tindakan mengarahkan perhatian,
pengharapan dan mendapatkan kembali informasi, (2) pemerolehan dan
unjuk perbuatan atau performansi (3) alih belajar, yaitu pengisyaratan
untuk membangkitkan dan memberlakukan secara umum.
Menurut Robert Gagne, segala sesuatu yang dipelajari manusia dapat dibagi menjadi lima kategori yang disebut the domains of learning. Lima kategori atau domains of learning tersebut di antaranya adalah :
a. keterampilan motoris ( motor skill )
keterampilan
motoris ini tentunya membutuhkan suatu koordinasi dari berbagai gerak
badan. Yang termasuk kategori keterampilan motoris misalnya berolahraga
atau main tenis, melempar bola, mengemudi mobil, menulis, mengetik dan
lain sebagainya
b. kemampuan intelektual
kemampuan
intelektual merupakan cara seseorang mendefinisikan segala hal terkait
interaksinya dengan dunia luar. Dalam kegiatan memahami dan
mendefinisikan ini biasanya individu menggunakan berbagai macam simbol.
Dan, yang termasuk dalam kategori kemampuan intelektual misalnya
membedakan huruf “m” dan “n”, menyebutkan tanaman-tanaman yang sejenis
dan lain-lain
c. informasi verbal
dalam
kehidupan, seseorang bisa belajar –mendapatkan informasi- dengan
berbagai cara, salah satunya adalah informasi verbal. Melalui informasi
verbal, seseorang mengalami penerimaan informasi –proses belajar- untuk
kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran berupa hasil belajar.
Untuk dapat menjelaskan sesuatu hal, seseorang tentunya memerlukan
inteligensi. Sehingga dengan otomatis, dalam menerima dan mencerna
segala hal yang dipelajari, yang berupa informasi verbal ini, seorang
individu tentunya sangat memerlukan inteligensi.
d. strategi kognitif
strategi kognitif merupakan organisasi keterampilan yang internal ( internal organized skill
) yang memerlukan kemampuan mengingat dan berpikir. Kemampuan ini
berbeda dengan kemampuan intelektual, karena ditujukan ke dunia luar dan
tidak bisa dipelajari hanya dengan berbuat satu kali. Hal ini
memerlukan perbaikan secara terus-menerus.
e. sikap
sikap
tidak dapat dipelajari dengan ulangan-ulangan, tidak tergantung ataupun
dipengaruhi oleh hubungan verbal seperti halnya domain yang lain. Sikap
sangat penting dalam proses belajar. Tanpa sikap, seorang individu tak
bisa berhasil dengan baik dalam belajarnya.
3. Teori Behaviorisme
Teori
belajar behaviorisme ini menekankan pada perubahan tingkah laku.
Menurut teori ini, belajar adalah perubahan tingkah laku yang dapat
diamati, diukur dan dinilai secara konkret, yang merupakan akibat dari
interaksi seseorang dengan lingkungan dan berdasarkan pengalamannya.
Belajar
merupakan akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Teori ini mengemukakan bahwa, yang terpenting
dalam belajar adalah ‘input’ yang berupa stimulus dan ‘output’ yang
berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada peserta didik, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting
untuk diperhatikan, karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur.
Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu, apa yang
diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh peserta didik
(respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat
terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku dari peserta didik atau
seseorang yang belajar.
Faktor lain yang dianggap penting oleh teori behaviorisme adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement), maka respon akan semakin kuat. Pun demikian halnya jika penguatan dikurangi atau bahkan dihilangkan (negative reinforcement), maka respon juga semakin kuat.
Ada
beberapa tokoh dalam teori behaviorisme ini. Dan, beberapa tokoh kunci
di antaranya adalah Thorndike, Ivan Pavlov, Skinner. Berikut akan
tergambar sekilas pemikiran dari para tokoh tersebut.
1. Thorndike
Tokoh
yang sangat terkenal mengembangkan teori behaviorisme adalah Thorndike.
Dengan eksperimennya, ‘belajar pada binatang’ –juga berlaku bagi
manusia- yang kemudian disebut dengan “trial and error’, Thorndike pun menghasilkan teori koneksionisme.
Thorndike
melakukan percobaan penelitian pada seekor kucing yang dibuat lapar dan
dimasukkan ke dalam kandang. Kandang itu diberi pintu yang dapat
terbuka jika suatu pasak di pintu itu tersentuh. Dan, di luar kandang
diletakkan sepiring makanan. Thorndike meneliti reaksi kucing tersebut.
Mulanya, kucing itu bergerak kesana-kemari, mencoba-coba jalan untuk
keluar melalui berbagai jeruji kandang. Lama-kelaman akhirnya secara
kebetulan, tersentuhlah pasak pintu oleh salah satu kaki si kucing.
Pintu kandang terbuka dan kucing akhirnya keluar menuju makanan.
Percobaan itu diulang lagi. Tingkah laku kucing itu pun tetap sama
seperti percobaan pertama. Hanya saja, waktu yang dibutuhkan untuk
bergerak-gerak hingga akhirnya pintu kandang terbuka pun semakin
singkat. Setelah dilakukan percobaan berulang-ulang, akhirnya kucing
itupun tak perlu mencoba-coba cara membuka pintu kandang. Akan tetapi,
kucing langsung menyentuh pasak pintu dan terus keluar mendapatkan
makanan.
Thorndike pun menyimpulkan bahwa belajar itu melalui proses:
1. trial and error (mencoba-coba dan mengalami kegagalan)
2. law of effect;
artinya bahwa segala tingkah laku yang berakibat pada situasi yang
memuaskan (cocok dengan tuntutan keadaan) akan diingat dan dipelajari
dengan sebaik-baiknya. Sedangkan segala tingkah laku yang berakibat
tidak menyenangkan akan dihilangkan atau dilupakan.
Thorndike
melihat bahwa organisme –termasuk juga manusia— sebagai mekanismus;
hanya bergerak atau bertindak jika ada perangsang yang mempengaruhi
dirinya. Menurut Thorndike, terjadinya otomatisme dalam belajar
disebabkan adanya law of effect itu. Karena adanya law of effect, terjadilah hubungan (conection) atau asosiasi antara tingkah laku atau reaksi yang dapat mendatangkan sesuatu dengan hasilnya (effect). Karena adanya koneksi antara reaksi dengan hasilnya itu maka pemikiran dan teori Thorndike disebut juga koneksionisme.
Melalui
penelitiannya yang melahirkan teori koneksionisme itulah, Thorndike
menyatakan bahwa belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi
antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa
yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan,
atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang
dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan dan tindakan. Jadi
perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkret,
yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkret yaitu yang tidak dapat
diamati. Meskipun teori behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran,
tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang
tidak dapat diamati.
Berdasarkan penelitiannya
itu pula Thorndike mengemukakan bahwa ada tiga hukum belajar, yaitu: (1)
hukum efek; Hukum ini menyebutkan bahwa keadaan memuaskan menyusul
respon memperkuat pautan antara stimulus dan tingkah laku. Sedangkan
keadaan yang menjengkelkan memperlemah pautan itu.
(2)
hukum latihan; Hukum ini menjelaskan bahwa pengalaman yang
diulang-ulang akan memperbesar peluang timbulnya respon (tanggapan) yang
benar.
(3) hukum kesiapan; Hukum ini melukiskan
syarat-syarat yang menentukan keadaan yang disebut ‘memuaskan’ atau
‘menjengkelkan’ tersebut. Singkatnya, pelaksanaan tindakan sebagai
respon terhadap suatu impuls yang kuat menimbulkan kepuasan, sedangkan
menghalang-halangi pelaksanaan tindakan atau memaksanya, menimbulkan
kejengkelan.
2. Ivan Pavlov
Setelah
Thorndike, muncul kemudian Ivan Pavlov yang melanjutkan teori
behaviorisme dengan penelitiannya terhadap binatang. Penelitian Ivan
Pavlov ini dilakukan pada seekor anjing, dengan asumsinya bahwa manusia
pun akan mengalami hal yang serupa.
Anjing akan
mengeluarkan air liur setiap kali melihat atau mencium bau makanan.
Maka, Ivan Pavlov mencoba membunyikan bel setiap kali akan menunjukkan
makanan terhadap anjing. Suatu ketika, Pavlov membunyikan bel tanpa
memperlihatkan makanan pada anjing. Setelah dibunyikan bel, ternyata
anjing mengeluarkan air liurnya, meskipun makanan tidak ada. Hal ini
otomatis menunjukkan bahwa perilaku individu dapat dikendalikan.
Artinya,
belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu
perilaku atau respon terhadap sesuatu. Dengan berdasarkan percobaan dan
penelitian ini pun akhirnya Ivan Pavlov menyerukan suatu teori conditioning,--yang merupakan kelanjutan dari koneksionisme dari Thorndike— yang masih dalam rumpun teori belajar behaviorisme.
3. Skinner
Masih
kelanjutan Ivan Pavlov dalam teori belajar behaviorisme, tokoh Skinner
pun juga mencoba melengkapi hasil penelitian dan percobaan dari tokoh
sebelumnya. Skinner mencetuskan sebuah gagasan yang disebutnya dengan ‘operant conditioning’. Menurut tokoh ini, timbulnya tingkah laku itu lantaran adanya hubungan antara stimulus dengan respon.
Seseorang
yang belajar dan/atau peserta didik yang dengan giat belajar serta
dapat menyelesaikan soal-soal dalam ujian, maka guru memberikan
penghargaan terhadap peserta didik tersebut berupa nilai yang tinggi,
pujian atau bahkan hadiah. Berkat pemberian penghargaan ini, maka
peserta didik akan belajar lebih giat dan bersemangat lagi. Hal ini
menunjukkan bahwa, penguatan yang bersifat positif akan lebih baik,
karena memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi peserta didik,
sehingga ia ingin mengulang kembali respon yang ia berikan. Jadi, respon
diperkuat dengan pemberian penghargaan berupa nilai yang tinggi dari
kemampuannya menyelesaikan soal. Pemberian nilai adalah penerapan dari
teori penguatan yang disebut ‘operant conditioning’, yang digagas oleh Skinner dan masih dalam rumpun teori belajar behaviorisme.
Pada dasarnya, yang dimaksud dengan operant
adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului
oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer
itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan
timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan
sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
Dalam teori behaviorisme ini, Skinner mencetuskan hukum belajar berupa:
a. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction
yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses
conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku
tersebut akan menurun bahkan musnah.
2. Teori Kognitivisme
Teori
belajar kognitivisme adalah teori yang menekankan pada proses
pengolahan informasi. Menuruit teori ini, belajar adalah proses
interaksi antara individu dengan lingkungannya, dan hal ini berlangsung
terus-menerus.
Perspektif yang dimiliki teori
kognitivisme adalah, bahwa seseorang yang sedang belajar atau peserta
didik memproses informasi atau bahan pelajaran dengan cara menerima,
mengorganisir, menyimpan dan kemudian menemukan hubungan antara
pengetahuan yang baru diperoleh dengan pengetahuannya yang telah ada.
Dengan demikian, teori belajar kognitivisme ini lebih menekankan pada
bagaimana informasi diproses.
Dalam teori
kognitivisme ini terdapat beberapa prinsip belajar yang senyatanya telah
dan masih dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dan pembelajaran.
Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Peserta
didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran
tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu;
2.
Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit.
Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu
tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana;
3.
Belajar dengan memahami lebih baik daripada menghafal tanpa pengertian.
Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui peserta
didik sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan antara
pengetahuan yang baru dengan apa yang telah diketahui sebelumnya;
4.
Adanya perbedaan individu pada peserta didik harus diperhatikan karena
faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar mereka. Perbedaan ini
meliputi kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan sukses dan
lain-lain
Ada beberapa tokoh yang mengembangkan teori belajar kognitivisme ini, di antaranya adalah Vytgosky, Bandura, Jean Piaget.
1. Vytgosky
Vytgosky
adalah salah satu tokoh yang mengembangkan teori belajar kognitivisme.
Vygotsky membedakan secara fundamental antara kegiatan berbasis
stimulus-respons, alat dan bahasa. Ia juga berpendapat bahwa ada
perbedaan antara konsep dan bahasa ketika seseorang masih belia, tetapi
sejalan dengan perjalanan waktu, keduanya akan menyatu. Bahasa
mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa. Dari awal
risetnya tentang aturan dan perilaku tentang perkembangan penggunaan
alat dan penggunaan tanda, Vygotsky berpaling ke proses simbolik dalam
bahasa. Ia fokus pada struktur semantik dari kata-kata dan cara,
bagaimana arti kata-kata berubah dari emosional ke konkret sebelum
menjadi lebih abstrak. Karya-karya Vygotsky antara 1920-1930 memberikan
penekanan bagaimana interaksi anak-anak dengan orang dewasa
berkontribusi dalam pengembangan berbagai keterampilan.
Menurut
Vygotsky, orang dewasa yang sensitif akan peduli terhadap kesiapan anak
untuk tantangan baru, sehingga mereka dapat menyusun kegiatan yang
cocok untuk mengembangkan kegiatan baru.
Vygotsky
menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran.
Lingkungan sekitar peserta didik meliputi orang-orang, kebudayaan,
termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan
bagian dari lingkungan. Dan, pemerolehan pengetahuan seorang peserta
didik bermula dari lingkup sosial, antar orang, serta kemudian pada
lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi.
2. Albert Bandura
Selain
Vygotsky, tokoh yang juga mengembangkan teori belajar kognitivisme
adalah Albert Bandura. Menurut Bandura, lingkungan memang membentuk
perilaku dan sebaliknya, perilaku pun membentuk lingkungan. Konsep ini
disebutnya dengan determinisme respirokal, yakni proses yang mana dunia
dan perilaku seseorang saling mempengaruhi. Masih menurut Bandura,
kepribadian merupakan hasil dari interaksi tiga hal; lingkungan,
perilaku dan proses psikologi seseorang. Proses psikologi ini sendiri
berisi kemampuan untuk menselaraskan berbagai citra atau image dalam
pikiran dan bahasa.
Didalam teorinya, Bandura
menyebutkan bahwa ada dua hal penting yang sangat mempengaruhi perilaku
manusia yakni ‘pembelajaran observasional’ atau yang lebih dikenal
dengan teori pembelajaran sosial dan ‘regulasi diri’. Beberapa tahapan
yang terjadi dalam pembelajaran observasional atau pembelajaran sosial
adalah: (1) atensi atau perhatian, (2) retensi atau ingatan, (3)
reproduksi, (4) motivasi.
Sedangkan ‘regulasi
diri’ atau kemampuan mengontrol perilaku sendiri adalah salah satu dari
sekian penggerak utama kepribadian manusia. Tiga tahap yang terjadi
dalam proses regulasi diri yaitu:
i) pengamatan diri, yakni melihat diri sendiri serta perilakunya dan terus mengawasi
ii) penilaian, yakni membandingkan apa yang dilihat pada diri dan perilaku dengan standar ukuran tertentu
iii)
respon diri, yakni proses memberi imbalan pada diri sendiri setelah
berhasil melakukan penilaian sebagai respon terhadap diri sendiri
3. Jean Piaget
Piaget
membedakan dua pengertian tentang belajar, yakni belajar dalam arti
sempit dan belajar dalam arti luas. Menurut Jean Piaget, belajar dalam
arti sempit adalah belajar yang hanya menekankan pada perolehan
informasi baru dan pertambahan. Belajar dalam arti ini disebut dengan
figuratif, suatu bentuk belajar yang pasif. Misalnya, anak yang belajar
nama-nama ibu kota suatu negara, atau kegiatan anak yang menghafal
angka. Sedangkan belajar dalam arti luas, atau yang disebut juga dengan
operatif, adalah belajar untuk memperoleh dan menemukan struktur
pemikiran yang lebih umum, yang dapat digunakan pada bermacam-macam
situasi. Dalam keadaan belajar seperti ini, individu aktif
mengkonstruksi struktur dari yang dipelajari. Misalnya, dalam menghafal
nama-nama ibu kota negara, seorang anak juga mengerti hubungan antara
kota-kota dan negara. Dalam hal ini, seorang individu atau peserta didik
mengetahui suatu struktur yang lebih luas, yang tidak hanya terbatas
pada situasi tertentu, sehingga pengertian itui dapat digunakan dalam
situasi yang lain.
Dalam hal belajar, Jean
Piaget menekankan pada kegiatan seseorang yang belajar atau peserta
didik yang aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan. Hanya dengan
keaktifan mengolah bahan, bertanya serta mengolah bahan secara kritis,
seorang peserta didik akan dapat menguasai bahan yang dipelajari dengan
baik. Dengan demikian, kegiatan yang aktif dalam proses pembelajaran itu
sangat diutamakan. Bahkan, kegiatan peserta didik dalam mengolah bahan,
mengerjakan soal, membuat kesimpulan dan merumuskan suatu kesimpulan
dengan kata-katanya sendiri adalah kegiatan yang sangat dibutuhkan agar
peserta didik sungguh membangun pengetahuannya. Tugas guru atau
pembimbing adalah menyediakan alat-alat dan mendorong agar peserta didik
menjadi aktif.
Pendapat dan berbagai prinsip
yang dikemukakan Piaget ini kemudian melahirkan sebuah teori baru lagi
dalam belajar, yakni teori konstruktivisme.
5. Teori Konstruktivisme
Teori
konstruktivisme ini merupakan kelanjutan dari teori kognitivisme yang
pernah dikembangkan oleh Jean Piaget. Melalui berbagai analisa, riset
dan pendapatnya dalam teori kognitivisme, Piaget pun sejatinya
melahirkan sebuah teori konstruktivisme.
Teori
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. Berbeda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat
belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan
respon, konstruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia
membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada
pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya.
Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru. Apa yang dilalui dalam
kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman
demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan
menjadi lebih dinamis.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
a. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
b. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
c.
Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri
melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan
pembelajaran terbaru.
d. Unsur terpenting dalam
teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif
dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah
ada.
e. Ketidakseimbangan merupakan faktor
motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang
pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten dengan pengetahuan
ilmiah.
f. Bahan pelajaran yang disediakan perlu
memiliki keterkaitan dengan pengalaman peserta didik. Hal ini
dimaksudkan untuk menarik minat peserta didik dalam belajar.
*******
Bibliographical;
Djamarah, Saiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwanto, M. Ngalim. 1996. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sagala, Saiful. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Slameto. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta:Rineka Cipta.
Suparno, Paul. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piageat. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar