Bila ingin perusahaan anda terus eksis maka jangan berhenti untuk
berinovasi. Namun hal apa saja yang perlu disentuh oleh inovasi?
Berbicara tentang marketing innovation, atau inovasi
khususnya di marketing, maka pikiran orang biasanya langsung tertuju
kepada diferensiasi produk. Padahal kenyatannya tidak lah demikian.
Beberapa teori yang sempat dikemukakan oleh Peter Doyle&Susan
Bridgewater dalam bukunya yang berjudul “Innovation in Marketing”,
menunjukkan bahwa inovasi di marketing tidak terbatas pada produk saja
melainkan juga bagaimana mencari saluran yang baru, menemukan proses
marketing yang efektif, menciptakan segmen hingga kepada penciptaan
konsep yang sesuai dengan tuntutan pasar.
Dari penjelasan tersebut bisa dimengerti bahwa inovasi itu tidak
hanya wajib dilakukan pada satu elemen saja, melainkan di semua elemen
marketing. Inovasi bisa memberikan nilai lebih jika sang innovator mampu
menyediakan sesuatu yang berbeda dimomentum yang tepat.
Seperti yang dilakukan oleh Esia, masih ingat tarif murah telepon
Esia yang hanya seharga Rp 3000-an per jam serta program talk time nya
yang hanya Rp 100 per menit?. Gebrakan Esia yang berlangsung di
pertengahan tahun 2006 itu seolah menjungkirbalikan operator lain yang
waktu itu tengah bersaing di kisaran tarif Rp 1000-1500 per menit.
Meski hanya bermain di pasar CDMA, namun inovasi tersebut sempat
membuat pasar telekomunikasi geger. Buktinya banyak dari operator lain
yang kemudian mencari celah untuk meniru gebrakan Esia tersebut.
Ungkap Deputy President Director PT. Bakrie Telecom, Tbk, Erik Meijer
Destructive Innovation adalah kata kuncinya. Dalam berinovasi, Esia
selalu berusaha agar inovasi yang dibuat bisa mengganggu pasar secara
positif, atau istilahnya menjadi tren.
Dia berujar, destructive innovation bukan hanya sekadar strategi
marketing di Esia, namun telah menjadi acuan berpikir yang ditanam pada
setiap tim di berbagai divisi. “Di sini tidak hanya divisi marketing,
namun semua karyawan di level apapun wajib membuat inovasi dalam skala
besar maupun kecil. Ini sudah membudaya di Esia,” katanya.
Esia termasuk perusahaan yang menganut prinsip participate
management. “Sehingga dalam sehari-hari, kami selalu membiasakan diri
dengan sharing, bisa lewat bicara langsung, email dan lain-lain. Semua
serba transparan. Begitu juga untuk karyawan yang ingin menyampaikan
idenya, tidak peduli mereka berasal dari divisi manapun dan ditujukan
untuk divisi apapun, jika memang ide itu ternyata ‘klop’ maka karyawan
itu pantas mendapat reward,” jelas Erik.
Selain budaya destructive innovation, Erik juga tidak menolak untuk
mengatakan bahwa riset dan pengembangan (R&D) memiliki pengaruh yang
besar dalam setiap inovasi marketing yang ditelurkan.
“Kami sering memantau perkembangan pasar telekomunikasi luar negeri
untuk kemudian diteliti apakah bisa diterapkan di Indonesia atau tidak.
Tentunya ini didasari lewat kebutuhan konsumen dalam negeri yang sesuai
dengan segmentasi kami,” jelas dia.
Ditegaskan oleh Erik, berinovasi di Esia adalah suatu keharusan yang
wajib dipenuhi, karena tanpa inovasi sulit rasanya bagi perusahaan baru
seperti Esia untuk dapat mengejar para pesaing yang sudah lebih dahulu
berlari jauh.
Untuk itu Erik mengaku setiap tahun pihaknya selalu menggelontorkan
biaya sekitar 200 juta dolar yang digunakan untuk membiayai semua aspek
yang terkait dengan inovasi. Mulai dari R&D hingga teknologi.
Soal teknologi, diklaim olehnya bahwa Esia memiliki teknologi yang
canggih, bukan saja di Indonesia namun juga di dunia. “Sebab itu kami
mudah untuk mewujudkan apapun yang dianggap tidak mungkin oleh industri
namun menjadi mungkin oleh kami. Seperti misalnya nomor suka-suka yang
diluncurkan belum lama ini, inovasi tersebut merupakan yang pertama di
dunia, karena belum pernah ditemukan ada operator yang berani melakukan
hal ini di negara manapun” tegas dia.
Bila melihat inovasi di Esia, kita sering dihadapkan bahwa hanya
layanan dan tarif murah saja yang menjadi perhatian di perusahaan milik
Grup Bakrie ini. Namun tentu kenyataannya tidak demikian,karena dalam
banyak hal seperti produk pun disentuh, misalnya, dengan meluncurkan
handphone Esia Hidayah, handphone murah seharga Rp 299 ribu, handphone
tematik serta telepon non kabel pertama di Indonesia bernama Wifone.
Tanamkan Budaya Sumbang Ide
Lain ladang, lain ilalang kira-kira begitulah kata pepatah untuk menggambarkan suatu perbedaan yang dimiliki masing-masing tempat. Sama halnya dengan perusahaan, meski tujuannya sama namun untuk mencapainya, tentu masing-masing memiliki cara yang berbeda.
Lain ladang, lain ilalang kira-kira begitulah kata pepatah untuk menggambarkan suatu perbedaan yang dimiliki masing-masing tempat. Sama halnya dengan perusahaan, meski tujuannya sama namun untuk mencapainya, tentu masing-masing memiliki cara yang berbeda.
Seperti yang dilakukan oleh Agung Podomoro Group (APG). Perusahaan
properti ini memiliki cara tersendiri dalam berinovasi. Cara yang paling
sering ditunjukkan oleh APG, adalah keseringannya dalam membuat inovasi
yang berada di luar ekspektasi pasar. Bukan tanpa sebab kemampuan ini
bisa muncul. Semua itu berkat pembangunan budaya sumbang ide yang sejak
lama berlangsung di lingkungan kerja APG.
Menurut Indra Widjaja Antono, Marketing Director Agung Podomoro Group
(APG), di tempatnya bekerja sekarang, semua staf di divisi marketing
mulai dari level bawah hingga atas wajib menyumbang satu ide kepada
atasannya setiap hari. “Bila tidak ada hari ini maka dua hari ke depan
harus menyumbang dua ide untuk membayar hutang di hari sebelumnya,
begitu seterusnya,” ujar dia.
Menurutnya ini penting, karena dengan begitu karyawan menjadi
terbiasa untuk selalu berpikir kreatif dan berani menerima tantangan
setiap saat. “Setelah semua ide terkumpul, biasanya setiap bulan atau
tahun ada tim khusus yg akan meninjau semua ide tersebut, apakah ada ide
yang affordable untuk dipakai atau tidak sama sekali,” jelas dia.
Dengan demikian tutur Indra, tim nya tidak akan pernah mengalami
‘kosong ide’ ketika diminta untuk melakukan inovasi di bidang apapun.
Sedikit saran katanya, dalam merancang sebuah inovasi khususnya di
bidang Marketing maka hal pertama yang wajib diperhatikan adalah
dukungan dari aspek lingkungan terhadap inovasi kita. Kedua, segmentasi
inovasi harus jelas ditujukan kepada siapa. Ketiga, pandai melihat
momentum sehingga inovasi yang terlahir tidak menjadi sia-sia
Keempat, setelah melihat momentum maka kita wajib melihat aktivitas
yang dilakukan pesaing seperti apa. Dan kelima, pihak perusahaan harus
jeli melihat dan mengapresiasi sang innovator yang menyumbang ide-ide
brilian. Ini penting Agar sang innovator merasa di hargai dan di
motivasi untuk terus melakukan hal yang sama setiap waktunya.
Di APG sekecil apapun ide pasti akan dihargai. Bahkan sudah seperti
undang-undang dasar di sini bila ada ide dari setiap karyawan, maka
mereka wajib bukan hanya menyampaikan, namun juga harus mendalaminya.
“Ini yang kami sebut dengan continue improvement,” imbuh dia.
Karena selama mereka mau bersusah payah untuk mendalami ide yang
didapat meski kenyataannya nanti tidak dipakai, perusahaan akan terus
mendukung dan memotivasi si karyawan yang bersangkutan.
Menyinggung soal budget, yang sering dianggap sebagai penghambat
orang untuk berinovasi, Indra berkomentar bahwa itu tidak selalu benar.
Menurut dia tidak selamanya budget menjadi batu sandungan dalam
berinovasi. Sebab itu dirinya sering menyampaikan kepada para staff nya,
bahwa sebelum merancang inovasi, orang harus menentukan dengan jelas
dahulu segmentasi, momentum dan target yang disasar.
Begitu juga dengan jumlah biaya yang dibutuhkan. Misalnya kalau
inovasi tersebut ditujukan hanya untuk menjaga loyalitas dari komunitas
orang yang tinggal di apartemen APG, maka tidak perlu mengglontorkan
biaya yang jor-joran. “Terkecuali bila itu menyangkut campaign atau
launching produk baru” imbuh dia.
Ini artinya si inovator harus jeli melihat kesesuaian antara budget dengan inovasi yang hendak diusungnya.
Lanjut Indra, inovasi bisa berhasil bila mampu menggabungkan beberapa
strategi menjadi satu. Ramuan yang pas sering dipakai oleh APG adalah
memadukan strategi Blue Ocean dengan keempat faktor penentu Inovasi
sepeti yang telah dijelaskan di atas.
“Tidak dipungkiri kami sering memakai strategi blue ocean untuk
menggempur pesaing-pesaing kami. Seperti konsep Back to Teh City yang
ditelurkan oleh APG sekarang. Namun, tidak semua hal kami kenakan Blue
Ocean saja karena semua harus disesuaikan dengan kondisinya, karena itu
memadukan keempat factor penentu inovasi dengan blue Ocean adalah
jawaban yang pas menurut kami dalam merangsek pasar,” tutur dia.
Selain paduan blue ocean dengan keempat faktor inovasi, hal lain yang
harus dipelajari oleh para pelaku industri adalah memperhatikan semua
elemen yang terkait di bidang marketing. Sering dijumpai bahwa inovasi
di bidang properti itu kelihatannya hanya mampu bermain di sisi harga
dan produk saja, namun di APG tidaklah demikian. Hal lain seperti
campaign misalnya juga menjadi bagian yang terus mendapatkan sentuhan.
Seperti kegiatan membangun brand awareness yang dilakukan APG lewat
lewat tayangan interaktif di Metro TV yang disiarkan setiap Sabtu pagi.
“Bukan tanpa alasan APG membuat acara interaktif di media televisi” ujar
Indra. Menurutnya ini semata-mata bertujuan agar brand equity APG terus
menancap kuat sehingga kelak di pikiran setiap orang tertanam bahwa
untuk membeli properti pilihannya pasti ke APG.
Media televisi merupakan media yang dinilai pas untuk membangun brand
awareness orang terhadap APG. Karena TV bisa memvisualisasikan produk
secara lengkap dan jelas mulai dari desain, suasana tinggal hingga
harga. “Selain itu TV juga menyediakan fasilitas yang memungkinkan kami
bisa langsung berinteraktif kepada calon konsumen,” jelas Indra.
Interaktif itu penting, karena properti adalah produk yang humanis,
sehingga sentuhan yang diberikan harus lebih daripada produk lainnya.
“Disamping itu kami juga sudah mensurvei bahwa orang Indonesia itu masih
lemah untuk menjabarkan isi dari sebuah tulisan, artinya apa? orang
Indonesia cenderung sulit memahami sebuah produk hanya dari iklan yang
berisi ulasan saja tanpa ada unsur visualisasinya. Mereka lebih paham
lewat visualisasi dan gerak apalagi ditambah interaktif langsung,” jelas
dia..
Selain tayangan televisi, APG juga melakukan campaign lewat iklan di
Bioskop. “Ini sudah berlangsung sejak tiga bulan lalu,” ungkap Indra.
Bioskop dipilih, karena merupakan tempat dimana orang biasa
bersantai.Dengan kondisi tersebut diharapkan komunikasi iklan yang
disampaikan mampu meyakinkan dan bisa cepat dicerna.
Ia mengungkapkan selain Bisokop, APG akan melakukan campign lewat
edukasi di komunitas-komunitas seperti komunitas sepeda, senam dan
lain-lain. Edukasinya berupa pagelaran even bersepeda bersama di
lingkungan Podomoro City,senam dan sebagainya.
“Lewat kegiatan ini kami berharap orang menjadi sadar bahwa banyak
hal menyenangkan yang bisa dilakukan dengan hidup dilingkungan apartemen
APG,” kata dia.
Melihat dari beberapa konsep properti yang diusung APG memang patut
perusahaan ini diacungi jempol. Bayangkan disaat para pengembang lain
sibuk membangun properti di pinggiran kota, APG malah melawan arus
dengan mengusung konsep “Back to Teh City“. Bahkan tren apartemen bagi
kaum mahasiswa yang sedang marak di industri properti kini, oleh banyak
pihak diyakini APG lah yang pertama kali menghembuskannya lewat Kalibata
Residence dan Mediterania.
Untuk hal ini Indra menjelaskan, bahwa itu hanya kebetulan saja
terjadi, namun pada prinsipnya dalam berinovasi APG senantiasa berusaha
menyajikan sesuatu yang berbeda dari para pesaingnya. Berbeda disini,
maksudnya bahwa setiap strategi yang dijalankan APG, diusahakan agar
tidak terbaca oleh para pesaing dan selalu melebihi ekspektasi orang.
Misalnya seperti apartemen bagi mahasiswa, dengan harga 180 juta-an
kala itu, APG berani menyediakan fasilitas apartemen seharga 500 juta ke
atas. Seperti kolam renang Olympic, dan gym, fasilitas wi fi
Berinovasi Tanpa Takut Salah
Bila Esia sukses dengan destructive innovation nya, juga APG yang menanamkan budaya sumbang ide. Maka di Garuda Food beda lagi. Di perusahaan berlogo burung garuda ini senantiasa menanamkan budaya berinovasi tanpa merasa takut untuk berbuat salah kepada karyawannya. “Sejauh inovasi dilakukan sesuai dengan proses dan prosedur yang tepat,” ujar Head of Corporate Marketing PT Garudafood Putra Putri Jaya, Budiman
Bila Esia sukses dengan destructive innovation nya, juga APG yang menanamkan budaya sumbang ide. Maka di Garuda Food beda lagi. Di perusahaan berlogo burung garuda ini senantiasa menanamkan budaya berinovasi tanpa merasa takut untuk berbuat salah kepada karyawannya. “Sejauh inovasi dilakukan sesuai dengan proses dan prosedur yang tepat,” ujar Head of Corporate Marketing PT Garudafood Putra Putri Jaya, Budiman
Menurut dia inovasi di tempatnya termasuk hal yang kritikal mengingat
persaingan ketat yang berlangsung di industri consumer goods sekarang.
Tambahan lawan yang dihadapi umumnya para pemain-pemain lama yang besar.
“Untuk itu kami selalu berusaha untuk menjadi pemimpin dalam inovasi.
Karena tanpa semangat ini kami pasti sudah jauh tertinggal oleh
lawan-lawan kami yang sudah lebih dahulu menjadi besar serta terjun ke
bisnis ini,” urai dia.
Harus diakui memang bahwa dengan semangat itu Garudafood sudah
menjadi pemain yang terus diperhitungkan di kelas consumer goods hingga
sekarang. Salah satu inovasi teranyarnya ialah lewat minuman teh rasa
buah, Mountea.
Mountea merupakan minuman baru yang berhasil merangsek pasar minuman
teh dengan pangsa pasar yang mencapai 70 persen lebih sejak mulai
diluncurkan. Gara-gara Mountea juga, telisik punya telisik para pemain
minuman teh yang sudah lama eksis sempat gerah melihat kehadiran Mountea
di pasar.
Kesuksesan Mountea kala itu bukan hanya dari segi diferensiasi produk
yang menawarkan rasa berbeda dari minuman teh lainnya, namun juga
kekuatan distribusi dan inovasi dalam campaign turut memegang andil
besar dalam membesarkan merek minuman cup ini.
Hal ini diamini oleh Budiman dengan mengatakan bahwa inovasi
Garudafood tidak terbatas pada produk saja. Melainkan seluruh elemen
marketing mix, termasuk proses dan strategi, serta engineering. Karena
bila sebuah perusahaan sukses berinovasi diproses dan teknologi, maka
akan ada inovasi produk yang baru dan berkualitas pula.
(Majalah MARKETING/Andri Darmawan)
(Majalah MARKETING/Andri Darmawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar