Gaya pemasaran Jepang sebenarnya sudah mengalami proses
perubahan, sejalan dengan konsep kaizen mereka yang selalu melakukan
perbaikan. Dulu mereka berfokus pada me-too product. Kini keunggulan
mereka tidak hanya di teknologi, tetapi juga value terhadap konsumen.
Tak heran, produk-produk mereka memiliki resale value yang tinggi.
Fokus perusahaan Jepang pada dekade tahun 1955 sampai 1965 adalah
pengembangan produk yang dikendalikan oleh perkembangan teknologi.
Perhatian utama perusahaan Jepang pada waktu itu terfokus pada ekspansi
bagian R & D (riset dan pengembangan) untuk menyusul teknologi Barat
yang pada waktu itu memimpin 5 sampai 8 tahun lebih maju. Banyak
perusahaan Jepang pada waktu itu mengirimkan tim investigasi ke pasar
Amerika dan Eropa dan melakukan duplikasi produk me-too. Mereka lakukan
ini untuk memenuhi kebutuhan pasar di Indonesia, dan sekaligus mencuri
pangsa pasar negara Barat. Jika posisi pemimpin pasar telah diraih, maka
perusahaan Jepang dapat memiliki keunggulan bersaing di pasar untuk
beberapa tahun ke depan.
Selama periode tersebut, bidang pengembangan produk perusahaan Jepang
hanya mengikuti langkah-langkah yang dilakukan negara-negara Barat.
Bahkan, perusahaan Jepang saat itu tidak melakukan studi dan riset
pengembangan produk khusus untuk pasar di Indonesia. Pada awal era ini,
teori dan teknik marketing sebenarnya mulai diperkenalkan dan
disosialisasikan pada perusahaan Jepang. Mereka mulai mempelajari dan
mengadopsi teknik dan metode riset pemasaran, promosi penjualan, dan
perencanaan produk. Namun, divisi pemasaran pada waktu itu masih
menekankan pada aktivitas menjual (selling oriented). Pokoknya pemasar
harus dapat menjual produk yang telah dikembangkan oleh bagian riset di
laboratorium dan produksi di pabrik.
Pada perkembangan selanjutnya, perusahaan Jepang mulai memperkenalkan
dan menerapkan metode baru dalam melakukan riset pasar. Mereka mulai
melakukan perencanaan dan pengembangan produk, serta aktivitas promosi
penjualan dengan benar. Banyak perusahaan Jepang melakukan modernisasi
dan perbaikan secara internal (continuous process improvement), tapi
sayangnya saat itu aspek distribusi belum disentuh secara optimal.
Dekade tahun 1965 sampai 1975 merupakan era “marketing gimmick”. Era
pemasaran ini terjadi pada masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dimana
terjadi demam pembelian (buying fever). Di Indonesia, produksi Jepang
mulai menjejali pasar. Di samping itu, terjadi perkembangan yang pesat
di modern retail outlets, baik yang bersifat independent maupun chain
stores. Belanja konsumen didorong dengan kegiatan periklanan dan sales
promotion, serta visual merchandising. Produk yang dipromosikan bisa
sangat populer dengan aktivitas TV commercial yang gencar.
Dalam hal bersaing, pada periode ini perusahaan Jepang berusaha keras
untuk menjadi cost leader. Mereka berfokus untuk menekan biaya tanpa
mengurangi spesifikasi yang dibutuhkan konsumen.
Lewat era itu, perusahaan Jepang semakin memperbaiki gaya pemasaran
mereka. Perusahaan Jepang saat ini sudah menerapkan total marketing
system. Produk yang dihasilkan perusahaan Jepang yang berhasil di pasar
tidak lagi ditentukan oleh ide para insinyur atau dengan melakukan
me-too products, atau strategi periklanan yang menarik. Tapi, lebih
ditentukan oleh penampilan produk, keunggulan nilai produk (functional
value & emotional value) yang dimiliki, serta misi sosial (social
mission) yang dijalankan perusahaan.
Produk-produk perusahaan Jepang yang diciptakan saat ini didapat
dengan terus menggali pengetahuan akan konsumen lewat consumer insight.
Mereka kini memiliki keharusan untuk menciptakan produk yang benar-benar
bermanfaat bagi masyarakat. Selain itu, produk tersebut harus
diciptakan dengan dukungan penuh dari teknologi kreatif dan kompetensi
perusahaan. Tidak hanya itu, produk yang diciptakan juga harus memiliki
struktur biaya yang kompetitif, melalui tes konsumen pada setiap fase
pengembangan produk, dan tentunya memiliki keunikan yang harus
dikomunikasikan pada setiap tahap saluran distribusi.
Toyota Kijang adalah contohnya. Inovasi yang berkelanjutan merupakan
pendorong utama Toyota Kijang menjadi market leader di pasar otomotif
Indonesia. Inovasi ini tentunya ditunjang dengan desain dan teknologi.
Di samping itu, dalam aktivitas promosi Kijang selalu konsisten
memosisikan diri sebagai family car. Keunggulan lainnya adalah faktor
distribusi dan service yang prima. Tidak kalah pentingnya adalah Toyota
Kijang memiliki nilai jual kembali (resale value) yang tinggi. Seperti
kita ketahui, banyak juga perusahaan otomotif Jepang lainnya yang
sukses, seperti Honda, Yamaha, Suzuki, Daihatsu, yang memiliki kemiripan
dengan Toyota. Maklum, mereka menjalankan gaya pemasaran yang mirip.
(Rudi Jusuf Setiono, trainer dan kontributor Majalah MARKETING)
(Rudi Jusuf Setiono, trainer dan kontributor Majalah MARKETING)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar