Marketing.co.id - Salah satu keputusan yang paling sulit bagi para CMO, marketing, product manager, atau brand manager adalah menentukan bujet promosi yang dianggap paling ideal. Maklum, jumlahnya sering kali besar bagi perusahaan.
Tidak jarang, jumlahnya bisa melebihi total profit yang diperoleh
perusahaan dalam satu tahun. Jadi, dari jumlahnya saja, kita tahu bahwa
menetapkan bujet promosi adalah keputusan yang paling berisiko bagi
perusahaan dan tentunya bagi para marketer.
Risiko ini bukan hanya dari besarnya uang, tetapi juga kenyataan
bahwa efektivitas dari promosi ini sering kali tidak jelas atau tidak
diketahui secara pasti. Kita tahu bahwa promosi akan menciptakan awareness.
Kita tahu bahwa promosi akan menciptakan citra yang positif. Kita tahu
bahwa promosi juga mendorong konsumen untuk membeli. Kita tahu bahwa
promosi akan membuat konsumen loyal pada merek kita.
Tetapi, apakah promosi akan memberikan return on investment
yang baik? Jangan-jangan, 50% dari uang yang ditaburkan untuk promosi,
hilang percuma! Jangan-jangan, promosi yang selama ini dikeluarkan,
tidak berdampak terhadap penjualan. Inilah kekhawatiran yang biasanya
dipikirkan oleh CEO, CMO, dan CFO.
Lalu, bagaimana marketer dapat menetapkan bujet promosi yang tepat?
Inilah sebuah pemahaman yang harus dikuasai oleh perusahaan. Perusahaan
bukan hanya tahu konsepnya, tetapi terus-menerus belajar dari hasil
pengukuran efektivitas promosi yang akan dilakukan atau yang sudah
dilakukan.
Secara umum, ada dua cara perusahaan untuk menentukan bujet promosi. Pertama adalah top-down, dan yang kedua adalah bottom-up. Cara yang pertama relatif sangat mudah dan cukup banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan kecil dan menengah.
Pemilik perusahaan atau pimpinan perusahaan biasanya sudah memiliki
alokasi bujet atau menetapkan batas tertinggi yang boleh dikeluarkan.
Mereka adalah pihak yang paling berpengaruh dalam menentukan bujet
promosi.
Sebaliknya, untuk pendekatan bottom-up, proses penentuan bujet
promosi dimulai dengan tujuan yang ingin dicapai. Bujet promosi
kemudian ditentukan besarannya untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Top-Down Approach
Paling tidak, terdapat empat cara yang termasuk dalam pendekatan top-down. Pertama adalah affordable method.
Inilah proses penentuan bujet promosi yang paling primitif dan paling
tidak peduli dengan kondisi pasar dan tujuan yang ingin dicapai. Mereka
menetapkan bujet promosi berdasarkan cash flow yang mereka miliki atau sejumlah uang yang mereka anggap sebagai pengeluaran untuk promosi.
Misalnya, CMO menetapkan bahwa bujet promosi untuk tahun ini adalah
Rp1 miliar, dan bagian promosi diharapkan membuat perencanaan dan
implementasi dengan dana yang sudah ditetapkan. Walau terlihat sangat
konvensional dan tidak memenuhi kaidah yang benar, kenyataannya memang
banyak juga perusahaan yang melakukan seperti ini. Biasanya, hasil juga
tidak akan memuaskan.
Cara kedua adalah menetapkan bujet promosi sebesar persentase dari
penjualan. Beberapa perusahaan sudah memiliki standar. Misalnya, mereka
ingin mengucurkan dana sebesar 5% dari penjualan.
Dengan demikian, bujet promosi akan bergerak naik dan turun, sesuai
besarnya penjualan. Inilah metode yang paling banyak digunakan oleh
perusahaan-perusahaan di Indonesia. Apakah ini metode yang baik?
Memang, bila dibanding dengan metode pertama, cara kedua memberi
peluang efektivitas yang lebih menjanjikan. Tetapi, tetap saja tidak
akan optimal. Maklum, logika prosesnya terbalik. Dalam konteks ini,
penjualan justru menentukan besarnya iklan. Padahal, seharusnya besar
bujet iklan yang akan menentukan besarnya penjualan.
Competitive Parity
Pendekatan ketiga yang masih termasuk dalam top-down adalah competitive parity.
Besar bujet promosi ditentukan oleh besarnya bujet promosi dari para
pesaing. Cara ketiga ini sudah mulai lebih kompleks dan mempertimbangkan
faktor lingkungan bisnis, terutama para pesaing.
Jadi, dalam menentukan bujet promosi, mereka memerhatikan share of voice.
Bila perusahaan A memiliki bujet promosi sebesar Rp10 miliar per tahun
dan kemudian total pesaing mengeluarkan bujet sebesar Rp40 miliar, maka share of voice adalah 20% atau Rp10 miliar dibagi dengan Rp50 miliar dari bujet promosi perusahaan A dan perusahaan-perusahaan pesaing.
Asumsi dari pendekatan ini adalah bahwa promosi sangat menentukan pangsa pasar. Jadi, share of voice akan menentukan besarnya pangsa pasar di kemudian hari.
Misalnya,
perusahaan A memiliki pangsa pasar 20% dan dia ingin mempertahankan
pangsa pasarnya, maka perusahaan akan menetapkan bujet promosi dengan share of voice
sebesar 20%. Tetapi, bila perusahaan ingin pangsa pasarnya harus naik
dari 20%, bujet promosi pun dibuat lebih tinggi sehingga total share of voice-nya lebih dari 20%.
Sebaliknya, bisa juga perusahaan diserang oleh pesaing dan menyadari
bahwa posisinya akan sulit untuk bertahan. Bila demikian, maka
perusahaan akan mengurangi bujet promosi dan kemudian mencari
segmen-segmen baru yang relatif bisa dijangkau dengan biaya promosi yang
lebih murah.
Pendekatan ini sudah mempertimbangkan strategi, pasar, dan tujuan
perusahaan secara umum. Dibandingkan dua metode sebelumnya, jelas metode
ini memberi peluang yang lebih baik dalam mencapai efektivitas promosi.
Hanya saja, perusahaan bisa terjebak dalam situasi perang promosi.
Bila terdapat 2 atau 3 perusahaan yang juga mempunyai pendekatan sama
dan kemudian masing-masing ingin meningkatkan share of voice, yang akan terjadi adalah perang promosi.
Walau bujet promosi dinaikkan, share of voice dari perusahaan
atau merek yang dipromosikan tidak akan mengalami kenaikan. Semua
perusahaan atau merek yang berpromosi akhirnya mengalami penurunan
efektivitas promosi yang bersamaan.
Qualitative Judgment
Masih termasuk dalam top-down approach adalah metode qualitative judgment. Top management atau CMO dengan pengalamannya kemudian mencoba menentukan bujet promosi dengan berbagai pertanyaan yang biasa dikenal sebagai “Five Question Method”. Pertanyaan ini adalah antara besarnya bujet promosi dan penjualan yang akan terjadi.
Kelima pertanyaan tersebut adalah:
- Bagaimana tingkat penjualan bila perusahaan sama sekali tidak promosi?
- Bagaimana tingkat penjualan bila perusahaan hanya menggunakan 50% dari bujet promosi?
- Berapakah tingkat penjualan bila perusahaan meneruskan bujet promosi yang sudah mereka keluarkan selama ini?
- Berapakah tingkat penjualan bila bujet promosi dinaikkan sebesar 50%?
- Berapa tingkat penjualan bila perusahaan mengeluarkan bujet promosi sebesar mungkin?
Jawaban dari kelima pertanyaan tersebut akhirnya menghasilkan sebuah
kurva antara bujet promosi dan dampak penjualan. Dalam hal ini, CMO
perlu mempertimbangkan banyak faktor untuk benar-benar mampu melakukan
estimasi tingkat penjualan dari berbagai besaran bujet promosi.
Siapa yang menjadi target pasar; di manakah sebaran konsumen;
bagaimana kualitas produk; bagaimanakah sistem distribusi; dan berbagai
faktor lainnya. Hanya CMO atau manajer pemasaran yang sudah sangat
berpengalaman menguasai industri dengan mengenal konsumen dan strategi
para pesaingnya yang akan mampu melakukan hal ini dengan tingkat akurasi
yang dapat diterima.
Cara penetapan bujet ini membutuhkan kreativitas yang tinggi. Proses
pengabulan keputusan yang tidak sistematis membuat perusahaan tidak akan
mampu mengajarkan kepada para marketer muda yang ada di
perusahaan. Mereka harus belajar sendiri dan membutuhkan waktu puluhan
tahun untuk mencapai level seperti ini. Metode yang baik, tetapi tidak
akan menciptakan proses sistematis.
Metode terbaik adalah bottom-up. Inilah proses yang dimulai
dengan penetapan tujuan dari komunikasi. Setelah itu, pembuatan strategi
untuk mencapai tujuan, dan kemudian penetapan jumlah bujet yang
dibutuhkan. Inilah proses yang konseptual dan sistematis. Dalam proses
komunikasi, menentukan bujet promosi adalah “M” ke-5.
“M” pertama adalah market atau siapa yang menjadi target pasarnya. M kedua adalah mission atau tujuan yang ingin dicapai. M ketiga adalah message atau strategi positioning dan pesan yang ingin disampaikan kepada konsumen. Setelah itu, marketer akan menentukan M4, yaitu media yang akan mereka gunakan. M5 adalah money atau bujet, dan M6 ditutup dengan measurement.
Melihat proses komunikasi ini, semestinya penentuan bujet adalah sebuah keputusan yang harus berorientasi pada tujuan dan goal dari komunikasi. Tujuan ini juga akan tergantung dari perilaku konsumen serta media yang digunakan.
Sebuah proses yang sistematis dan memberi peluang terciptanya efektivitas yang lebih baik. Saya ingin men-sharing pendekatan bottom-up yang juga dikenal dengan task-objective oriented di edisi berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar