Investasi di sektor kehutanan tidak selalu identik dengan modal
besar. Kini masyarakat awam bisa berinvestasi mulai dengan Rp 7,5 juta
saja.
Tidak percaya? Buktinya ada pada 1500 investor yang sudah
bergelut menekuni usahatani jati unggul dengan pola bagi hasil. Sejak
tahun 2007, ribuan orang telah berinvestasi pada 946.355 pohon tanaman
Jati Utama Nasional (JUN). Berbeda seperti jati lainnya yang berpuluh
tahun baru panen, JUN hanya butuh 5 tahun untuk panen.
Jati
umumnya baru bisa dipanen lebih dari 50 tahun, ujar Direktur Utama Usaha
Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN) Hariyono
Soeroso.
Cara berinvestasi JUN relatif mudah. Secara umum, ada
lima pihak yang terlibat dalam investasi ini. Pertama, yaitu investor.
Tahun ini, satu pohon JUN dihargai Rp 70 ribu. Sedangkan tahun depan,
harganya naik menjadi Rp 75 ribu per pohon. Minimal investasi sebanyak
100 pohon atau senilai Rp 7 juta selama lima tahun. Nantinya, investor
mendapatkan jatah sebanyak 40 persen dari nilai pohon yang telah
dipanen. Pada panen perdana tahun 2012 lalu, investor mendapatkan
keuntungan sekitar 30 persen per tahun, katanya.
Pihak kedua yakni
pemilik lahan. Hasil yang didapatkan pihak ini sebesar 10 persen dari
nilai tanaman yang ditanam. Lalu ada pihak petani penggarap yang
mendapatkan bagian 25 persen dari hasil tanaman ditambah upah. Upahnya
sendiri sekitar 14 ribu rupiah per pohon selama 4 tahun. Upah ini
dibayarkan secara bertahap. Pemilik lahan juga bisa merangkap sebagai
petani penggarap dan mendapatkan 35 persen hasil tanam, ujarnya.
Pihak
selanjutnya yakni kepala desa yang diberikan 10 persen hasil panen.
Tugas pihak ini yaitu untuk mengawasi keabsahan lahan. Lebih rinci pihak
ini mendapatkan keuntungan Rp 500 per pohon per tahun. Biasanya upah
ini dibagikan ketika hari raya tiba. Terakhir, sebanyak 15 persen
dialokasikan untuk KPWN sebagai tenaga profesional. Nanti KPWN yang
mengembangkan bibit serta memasarkan hasil panen, ujarnya.
Jenis
investasi ini dibuat melihat bahwa banyak lahan di pedesaan dibiarkan
terlantar tanpa pengelolaan. Di sisi lain, di kota besar banyak
masyarakat pemilik dana yang masih bingung dimana menempatkan kelebihan
dana yang ada. Pola bagi hasil pun dipilih karena dianggap telah
terbukti efektif dalam mengelola lahan pertanian. Semua pihak juga
terikat dengan hukum terkait persoalan administrasi.
Tenaga Ahli
UBH-KPWN, Suhariyanto mengatakan pola bagi hasil ini juga memberi
mafnaat sosial. Dengan pola ini, struktur masyarakat tidak rusak, justru
diperkuat. Masyarakat mempunyai rasa kepemilikan yang tinggi apabila
mendapatkan manfaat secara ekonomi, katanya kepada ROL.
Investasi
ini juga menguntungkan ditinjau dari aspek lingkungan. Tanah di sekitar
pohon jati bertambah subur, sehingga menghasilkan nilai tambah lain.
Semakin banyak masyarakat mengadopsi investasi seperti ini, diharapkan
ekonomi kerakyatan pun bertambah kokoh. (bn/republika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar