Indonesia semakin dianggap penting oleh perusahaan
teknologi kelas kakap dunia. Menurut data dari perusahaan riset IDC,
Indonesia memiliki lebih dari 30 juta pengguna Internet. Sementara
Nielsen mencatat penetrasi pengguna telepon seluler mencapai 78%.
Indonesia adalah pasar utama bagi situs media sosial seperti Facebook,
Twitter, dan YouTube. Bahkan, Google membuka kantor perwakilan di
Jakarta Maret tahun lalu.
Perusahaan start-up garasi yang berfokus pada isu teknologi
mencoba mencuri potensi besar di pasar domestik dengan meluncurkan
berbagai produk seperti portal e-commerce dan laman agregasi berita. WSJ melakukan survei informal atas perusahaan start-up
papan atas berdasarkan wawancara dengan pemerhati serta investor di
bidang teknologi. Sejumlah perusahaan dimasukkan ke dalam daftar karena
mampu menyiasati problem pendanaan. Sebagian perusahaan yang lain
memiliki potensi menarik pengguna serta penanam modal baru di masa
mendatang.
1. Kaskus
Ide di balik pendirian Kaskus amat sederhana: komunitas online
yang disesaki forum dan iklan baris. Diluncurkan oleh tiga mahasiswa
Indonesia yang tengah menimba ilmu di Amerika Serikat (AS) saat mereka
kangen rumah serta ingin menciptakan komunitas bagi pelajar Indonesia di
AS. Kaskus lolos dari bubble yang mendera bisnis dotcom serta gesekan dari berbagai pemain baru.
Kaskus termasuk satu dari 10 situs yang paling sering dikunjungi di
Indonesia dengan lebih dari dua juta anggota. Kaskus mampu membuat betah
pelanggannya dengan menawarkan forum jual-beli yang tercatat memiliki traffic
tertinggi di tanah air, bersaing dengan situs popular lainnya seperti
Facebook. Situs ini bekerja sama dengan Unicef dalam mengampanyekan
isu-isu anak seperti gizi, pendidikan, dan sosialisasi hak-hak anak.
Pada 2011, Kaskus bermitra dengan Global Digital Prima Venture, firma venture capital yang dikepalai bos Grup Djarum, miliuner Martin B. Hartono. Kaskus berencana memperluas pasar dengan meluncurkan KasPay atau sistem pembayaran online, serta plat form iklan KasAd.
2. Blibli
Diluncurkan pada 2011, Blibli tercatat sebagai situs e-commerce
termuda di Indonesia. Toko maya itu menjual segala jenis barang dari
BlackBerry hingga layanan TV berlangganan atau tiket konser dan sepeda
motor. Hiruk pikuk transaksi didalamnya cukup membuatnya dijuluki
Amazon.com versi Indonesia. Blibli lebih menitikberatkan kepada
hal-ihwal teknologi. Tak seperti banyak situs di Nusantara yang tak
dipersenjatai sistem pembayaran yang aman, Blibli menerima Visa atau
Mastercard dan dirancang mendapatkan persetujuan serta jaminan keamanan
dari VeriSign, perusaan autentifikasi layanan yang berbasis di AS.
Perusahaan start-up itu dimiliki oleh PT Global Digital
Niaga, anak perusahaan Grup Djarum dan Bank Central Asia (BCA), yang
memungkinkannya tak kehabisan dana. Alhasil, merek-merek ternama seperti
Cartier, Harley Davidson dan Phillips, kepincut. Demi memadukan media sosial dengan pengalaman belanja online,
situs itu menampilkan kolom “Our Experts” dengan para penulis yang
dilabeli “Miss Stylish” dan “Mr. Gadget.” Keduanya berfungsi sebagai
kurator yang memilih barang-barang sesuai dengan reaksi pasar menyangkut
tren terbaru, review telepon seluler, dan komputer. Situs itu
dikunjungi sekitar 30 ribu orang per hari dan memiliki keterikatan kuat
dengan perbankan serta perusahaan telekomunikasi. Keistimewaan situs ini
juga pada kecepatan pengiriman barang. Contoh:pengiriman barang perdana
iPhone 4S tiba satu jam setelah pemesanan.
3. Detik
Budiono Darsono dan Abdul Rahman, mantan wartawan majalah Tempo, mendirikan Detik, situs berita online
pertama di Indonesia, pada 1998. Perlahan setelah diperkenalkan, Detik
menduduki daftar 10 situs teratas yang paling sering didatangi setelah
Google, Facebook, Twitter, dan situs populer lainnya. Dua tahun lalu,
Detik mencetak penerimaan iklan sebesar US$14 juta. Setahun kemudian,
Detik dibeli oleh Grup Para, konglomerasi yang menjangkau bidang usaha
lain seperti hypermarket, perbankan, media, dan taman bermain
di bawah kepemimpinan Chairul Tanjung, salah satu orang terkaya
Indonesia. Akuisisi Detik senilai US$40 juta menjadi pembicaraan luas.
Dengan besarnya nilai pembelian, situs itu bisa memompa lebih banyak
uang demi menciptakan konten sendiri. Detik kini punya micro-site DetikTV, wadah bagi video berita.
4. Barito Labs & Ice House
Satya Witoelar, Fajar Budiprasetyo, dan Daniel Armanto sudah bukan nama asing di lanskap start-up
Indonesia. Mereka pendiri Koprol, aplikasi media sosial berbasis
lokasi, versi lokal FourSquare. Koprol mencetak berita setelah Yahoo Inc
membelinya pada 2010 dengan nilai yang tak disebutkan di muka umum.
Namun, pada Juni 2012, Yahoo menjual Koprol dan mengembalikan merek
dagang itu ke pendiri awalnya.
Satya, Fajar, dan Daniel tak berniat meninggalkan dunia start-up. Mereka kembali membeli Koprol di bawah bendera Barito Labs, start-up yang berfokus pada pembentukan dan pengembangan aplikasi mobile.
Trio ini juga mendirikan Ice House, sebuah start-up
pengembangan perangkat lunak dengan dukungan keuangan dari firma
investasi swasta, Pacific Technology Partners. Ice House bertujuan
menarik talenta terbaik di bidang teknik yang dimiliki Indonesia demi
memungkinkan desainer lain membangun kisah suksesnya.
5. Valadoo
Melonjaknya angka kelas menengah di tanah air memancing sebuah laman
perjalanan bernama Valadoo menawarkan anggotanya berbagai paket wisata
pilihan dengan tiket penerbangan dan hotel murah. Situs ini
memperkenalkan tujuan wisata yang tengah populer di Indonesia seperti
Solo, Raja Ampat, dan Bogor. Tujuh puluh lima persen tujuan wisata yang
ditawarkan berada di Indonesia. Selain itu Valadoo menawarkan paket
wisata ke lokasi favorit seperti Hong Kong dan Singapura.
Didirikan pada 2010 dengan bermodel pada Groupon, Valadoo menangkap
perhatian WeGo, perusahaan pencari perjalanan, yang menyuntikkan
modalnya dengan nominal rahasia pada Mei lalu. Iklan dan penjualan paket
menjadi penyumbang terbesar pemasukan perusahaan.
Traffic di situs itu meningkat nyaris 50% di paruh pertama
tahun ini, kata Valadoo, dengan lebih dari 160.000 pengunjung di kuartal
kedua 2012. Situs itu juga membukukan peningkatan penjualan 500% dalam
tiga bulan terakhir. Mereka akan memanfaatkan suntikan dana dari WeGo
untuk memperbanyak tawaran mereka, termasuk blog travel yang memberikan info mengenai tempat-tempat liburan akhir pekan.
6. Harpoen
Banyak raksasa Internet dunia berjuang keras menemukan cara mendulang
uang dari para pemakai Internet di tanah air. Harpoen—aplikasi iPhone
menjadikan Indonesia sebagai laboratorium percobaan sebelum akhirnya
mengglobal. Mereka memilih Asia Tenggara ketimbang Palo Alto,
California, untuk memantapkan produknya.
Dipelopori oleh seorang warga AS yang tinggal di Jakarta, aplikasi sosial berbasis lokasi
itu memberi ruang bagi para pengguna pengunjung bar, restoran, serta
lokasi lain untuk meninggalkan komentar, foto dan video di situs itu.
Pengguna lain pada gilirannya dapat mengetahui pengunjung sebelumnya
dari tempat-tempat itu serta menerima rekomendasi dari mereka. Penggila
Internet di Jakarta banyak memakai aplikasi itu untuk kepentingan apa
pun, dari mengeluhkan kemacetan hingga menyarankan makanan kaki lima
yang lezat. Desainernya kini berharap memperluas pasar ke Bandung,
Yogyakarta, Bali, dan kota Indonesia lain menyusul Singapura, New York,
Washington D.C., dan Buenos Aires dalam beberapa bulan mendatang.
Seperti Twitter dan Facebook, pendiri Harpoen berharap bisa menggaet
banyak pengguna, dan ujung-ujungnya mengeruk pendapatan dari iklan.
Aplikasi itu belum lagi menghasilkan duit. Namun, mereka akan segera
meluncurkan versi Android dari aplikasi itu.
Dibentuk tahun 2009, TeknoUp menemukan ceruknya dengan menampilkan
ulasan gadget dan berita teknologi bagi konsumen Indonesia. Menyasar
para pengguna awal BlackBerry model terbaru atau produk-produk Apple,
situs itu menjadi portal wajib bagi para pengguna untuk memperbaiki
kinerja telepon seluler, kamera, dan komputer. Saat ini mereka meraih
jutaan page views setiap bulannya.
Pada Maret 2011, TeknoUp menerima dana yang tak disebutkan jumlahnya dari venture capital Singapura, East Ventures. Tiga bulan kemudian mereka memutuskan memasuki lanskap e-commerce tanah air dengan membuka toko gadget online: TeknoUp Store.
Toko itu tak menerima pembayaran melalui MasterCard atau Visa dan tak
mendapatkan verifikasi VeriSign. Namun, situs itu mungkin mampu
merengkuh jutaan page views dalam beberapa bulan ke depan.
8. Urbanesia
Menyusul matinya majalah TimeOut pada 2011—setelah terbit selama tiga
tahun—sejumlah penduduk ibu kota agaknya merasakan haus informasi
panduan pusat perbelanjaan dan restoran baru serta info acara hiburan.
Urbanesia, didirikan pada awal 2011, menawarkan city guide yang tak biasa yang memungkinkan penggunanya merekomendasikan tempat nongkrong
favorit mereka serta layanan lain di seantero Jakarta. Lebih dari 250
ribu lokasi usaha terdaftar dalam situs itu, termasuk warung kaki lima,
butik milik desainer muda, serta usaha tak resmi lain.
Pada awal tahun ini, Urbanesia dikagetkan dengan keputusan PT Kompas
Cyber Media mengumumkan penanaman modal di situs itu dengan nilai yang
tak diungkap ke publik. Urbanesia dan Kompas akan mengintegrasikan
layanan mereka. Masuknya dana segar memungkinkan laman itu meluncurkan
versi beta terbaru situs direktori sosial serta aplikasi mobile Urbanesia.
9. Ngomik
Ngomik adalah start-up yang mengincar kegilaan Asia pada
komik serta telepon seluler. Bermitra dengan operator telekomunikasi
raksasa tanah air, Ngomik menyediakan komik dalam format yang cocok
untuk ponsel. Produknya beragam, dari karya anak bangsa hingga buatan
Jepang, dari sekitar 3.000 komikus yang terdaftar. Situs itu menuai
lebih dari tiga juta page views per bulan. Mereka mulai mengadakan sayembara komik online yang kadang didesain menerapkan utas iklan (advertising link-in) agar dana bisa terus masuk.
10. Dwarapala
Dwarapala—yang berarti penjaga pintu dalam bahasa Sansekerta—adalah start-up
yang baru muncul pada 2012. Dengan antarmuka yang memudahkan pengguna,
situs itu tak menyulitkan toko yang punya kehadiran fisik untuk memajang
barangnya secara online dengan menyediakan template. Pembelian domain tak lagi ruwet. Situs ini menawarkan panduan mengubah tampilan laman secara online. Fasilitas tracking
pun tersedia. Selain itu, mereka juga memberikan saran untuk
meningkatkan keterlibatan dengan pengguna, mendongkrak kunjungan, serta
optimisasi mesin pencari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar